Tazeen Fasih (2008) dalam Linking Education Policy to Labor Market Outcomes menyebut bahwa kualitas yang baik di level usia dini, diimbangi dengan perhatian terhadap kesehatan anak sangat penting dalam pembangunan pendidikan. Menurutnya pengembangan ketrampilan kognitif dan sosial sejak dini semakin baik bagi jangka panjang bagi keterampilan yang akan dibutuhkan di pasar kerja.
Paparan dari Fasih tersebut memang sangat menyoroti pendidikan dari aspek yang sangat pragmatis. Yaitu korelasi dunia pendidikan dengan dunia kerja. Pendidikan yang diarahkan sebagai bagian dari ‘pabrik’ penyiap tenaga kerja masa depan.
Potret Pendidikan
Jika lebih cermat, mereka yang mudah masuk ke pasar kerja adalah mereka dengan persiapan matang sejak dini. Mereka merupakan anak-anak yang berasal dari keluarga menengah atas. Kesiapan mereka dalam investasi pendidikan sejak dini dengan imbangan perhatian terhadap kesehatan akan memudahkan mereka memasuki dunia sekolah dan kemudian dunia kerja.
Situasi kontradiktif terjadi di kalangan anak-anak keluarga miskin. Keluarga miskin tidak memiliki kemampuan memadai untuk berinvestasi bagi pendidikan anak-anak. Mereka juga tidak memiliki keleluasaan dalam memilih sekolah bagi anak-anak mereka. Bahkan ada anak-anak keluarga miskin yang harus putus sekolah karena tidak memiliki biaya. Di banyak tempat, banyak anak-anak yang harus bekerja membantu orangtua demi kelangsungan ekonomi.
Di sisi lain, kurikulum, buku teks, sumber daya guru tidak berpihak pada mereka yang miskin. Catatan menarik misalnya disampaikan oleh Abhijit Banerjee dan Esther Duflo (2012) dalam Poor Economics: A Radical Rethinking of the Way to Fight Global Poverty. Menurut mereka, di banyak negara berkembang, baik kurikulum dan pembelajaran di sekolah disusun untuk kelompok elit dibanding untuk kelompok masyarakat biasa.
Anak-anak kelompok kaya pergi ke sekolah tidak hanya mendapatkan pengajaran yang lebih baik. Tetapi juga mendapatkan perlakuan yang baik dari para guru sehingga mereka dapat mencapai potensi mereka. Sementara anak-anak dari kelompok miskin harus membuktikan bahwa mereka adalah sosok-sosok luar biasa dan memiliki potensi, jika tidak ingin drop out dari sekolah dan kemudian kesulitan mendapatkan pekerjaan.
Penuh bias
Dalam banyak laporan internasional yang dirilis OECD, UNESCO, The Economist, World Economic Forum, dan laporan pendidikan internasional memiliki kesamaan ketika bicara kemampuan atau keterampilan masa depan dibutuhkan oleh anak-anak di masa depan. Antara lain berpikir kritis, literasi digital, kolaborasi, penguasaan bahasa asing, kreativitas dan lainnya.
Hal tersebut tentu bisa dicapai jika pendidikan bermutu dan merata dapat diakses oleh semua kalangan. Jika tidak, jelas model tersebut hanya dapat digapai oleh kelas sosial ekonomi mampu.
Maka, jika kita selalu mengukur pendidikan di Indonesia dengan berbagai indikator yang dirilis berbagai lembaga tersebut, tentu saja negeri ini tidak dalam posisi yang baik-baik saja. Ketimpangan antar wilayah begitu beragam, mutu sekolah tak merata.
Indonesia harus punya trek lari yang disusun sendiri dengan mendasarkan pada beragam potensi yang ada di seluruh wilayah. Jika semua hendak memasuki kancah pendidikan yang di titik beratkan pada narasi 4.0 yang canggih, jelas sekolah-sekolah yang marjinal ada di urutan buncit. Pendidikan akhirnya tidak menjadi laku yang memanusiakan para peserta didik.
Pembelajaran Jarak Jauh berbasis teknologi di masa pandemi menjadi contoh yang memperlihatkan bias pendidikan yang berbasis perkotaan dan kelas menengah atas. Di kala pandemi, orang miskin semakin sulit mendapatkan haknya di bidang pendidikan dan sepertinya strategi pendidikan yang lebih memerhatikan mereka tidak terlalu menjadi pusat perhatian. Itu baru dari segi teknologi. Dari perhatian terhadap isu kesehatan dan mental, keluarga miskin masih kurang diperhatikan dengan baik.
Komersialisasi Pendidikan
Sisi lain yang menyedihkan, potret komersialisasi pendidikan semakin sangat jelas tergambar di realitas masyarakat Indonesia. Pendidikan semakin lama semakin komersil. Komersialisasi pendidikan terjadi ketika pemerintah belum berhasil membangun pendidikan yang bermutu dan berkualitas bagi semua. Keluarga yang berasal dari kelompok sosial ekonomi menengah atas kemudian berupaya untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anaknya.
Sekolah-sekolah swasta mahal menjamur di berbagai wilayah perkotaan. Sebelum pandemi berlangsung peningkatan kelas menengah di Indonesia terus meningkat, maka meningkat pula aspirasi pendidikan dari keluarga menengah tersebut.
Pendidikan bermutu artinya sekolah sekolah swasta yang berbiaya mahal. Apapun branding ditampilkan, mulai dari sekolah internasional, sekolah alam bahkan sekolah berbasis agama, tetap laku keras diminati. Karena membayar mahal, para guru yang membimbing para siswa adalah profesional yang selain memiliki kompetensi akademik juga memperhatikan mereka secara menyeluruh.
Selain bersekolah, anak-anak tersebut di dorong secara optimal untuk memacu potensinya. Mengikuti kursus bahasa, seni, olahraga, teknologi, diberi asupan gizi yang baik, memiliki fasilitas yang lengkap, perangkat teknologi dengan akses internet yang mumpuni, ataupun ruang belajar yang kondusif.
Zonasi dan Beasiswa
Masyarakat yang berasal dari kelompok sosial ekonomi biasa saja atau miskin perlu bekerja ekstra untuk memasuki sekolah, terutama sekolah favorit. Belakangan sistem zonasi membuat pemerataan pendidikan menjadi lebih diperhatikan. Namun, sistem zonasi butuh prasyarat pemerataan kualitas pendidikan. Karena secara faktual orang masih berlomba-lomba untuk masuk ke sekolah favorit.
Lagi-lagi, kuota prestasi, membuat anak-anak dari kalangan menengah atas lebih punya kesempatan untuk memasuki sekolah tersebut. Dan PPDB zonasi, seperti tahun ini, masih menyisakan berbagai problem yang kompleks.
Dalam perebutan kuota beasiswa berbagai mekanisme seleksi juga lebih banyak menguntungkan kelompok sosial ekonomi menengah atas. Soal penguasaan bahasa asing misalnya, anak-anak yang berasal dari keluarga tersebut sudah ditempa sejak dini.
Sementara keluarga menengah bawah harus berjibaku jika ingin memiliki kapasitas dalam penguasaan bahasa asing, sebab meski belajar bahasa asing sejak SD hingga SMA, penguasaan bahasa asing anak-anak tidaklah meningkat. Untuk kursus tentu saja memerlukan biaya yang tidak murah. Keluarga menengah atas juga berinvestasi melalui berbagai bahan bacaan berbahasa asing maupun tontonan berbahasa asing karena berlangganan tv kabel dan internet.
Adanya beragam beasiswa hingga ke jenjang perguruan tinggi menjadi sangat penting. Berbagai mekanisme beasiswa yang bersifat afirmatif harus dioptimalkan dalam pemanfaatannya. Terbukanya akses akan membuat mereka punya kesempatan yang sama untuk meraih impian masa depan. Sebab pendidikan merupakan hak bagi setiap anak bangsa.
Dan ingatlah, Indonesia bukan hanya Jawa, melainkan juga seluruh wilayah dari Sabang sampai Merauke yang begitu ragam. Maka kebijakan maupun implementasinya harus secara presisi memperhatikan keberagaman tersebut. Jika kita ingin membangun jiwa dan raga anak-anak bangsa, maka pendidikan yang berkeadilan adalah kunci.
Editor: Sri/Nabhan