Perspektif

Migrasi Jamaah Muhammadiyah: Pengajian Lemah, Jamaah Pindah

6 Mins read

Jamaah “Bermigrasi”

Tulisan ini akan mencoba memberikan pemahaman secara sederhana tentang kasus “migrasi” atau “konversi” antar-gerakan Islam. Berpindah gerakan atau kelompok keagamaan memang sudah lazim terjadi di kalangan para pengikut gerakan yang militan sekalipun. Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadi proses perpindahan pengikut satu gerakan ke gerakan lain.

Meskipun begitu, sebenarnya konversi, baik dalam satu agama maupun antaragama, bukan peristiwa yang mudah bagi seseorang dalam keadaan atau kondisi normal. Biasanya perpindahan terjadi dalam kondisi-kondisi tertetu yang luar biasa, atau terjadi anomali dalam kelompok yang diikuti.

Anomali Ideologis: Titik Balik

Apakah di Muhammadiyah secara internal terjadi “disorganisasi nilai-nilai” yang menjadi perekat gerakan yang sudah terbangun sekitar seabad yang lalu? Pertanyaan sering saya tanyakan secara sungguh-sungguh kepada para aktivis dan pimpinan Muhammadiyah.

Jawaban-nya hampir sama, mereka menolak bila dikatakan terjadi disorganisasi nilai ideologis dengan alasan gerak Muhammadiyah sebenarnya masih kuat dan tetap berpengaruh di masyarakat.

Tetapi mereka tidak meno-lak bahwa terjadi pelemahan dan pengabaian terhadap nilai-nilai ideologis bermuhammadiyah, lantaran sejak awal Muhammadiyah mengadakan sistem dan pola manajemen organisasi modern yang cenderung longgar dan terbuka bagi orang yang akan bergabung meskipun dari kelompok lain yang jauh berbeda sekalipun.

Dalam amatan saya, sejak 15 tahun terakhir, bersamaan dengan era reformasi di Tanah Air, situasi sosial, budaya, dan politik yang berubah berpengaruh pula terhadap cara pandang dan spirit berorganisasi di Muhammadiyah.

Muhammadiyah bertemu dengan gerakan-gerakan Islam lain yang bermacam-macam orientasi ideologi-nya. Sebagian diantaranya mirip, serupa tapi tak sama, sebagian lain jauh berbeda ideologis dan cita-cita perjuangannya.

Persoalannya kemudian adalah ada orang yang secara ideologis berbeda, tetapi juga merasa nyaman bergabung dengan Muhammadiyah, dan memanfaatkan sumberdaya Muhammadiyah untuk kepentingan gerakan lain.

Saya menyebut kondisi yang melanda Muhammadiyah saat ini sebagai anomali ideologis. Dalam pengertian, di satu sisi pimpinan Muhammadiyah memandang perlu adanya keseragaman tentang bagai-mana bermuhammadiyah di tengah perubahan dan di hadapan beragam gerakan itu.

Di sisi lain, Muhammadiyah juga harus tetap memegang prinsip sebagai sebagai organisasi modern, profesional dan terbuka terhadap perubahan.

Dalam dokumen penting hasil-hasil Muktamar sangat jelas disebutkan bahwa lahirnya satu keputusan atau panduan semacam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM), antara lain dilatarbelakangi oleh kegelisahan ideologis ini.

Aktivis gerakan ini perlu melakukan revitalisasi ideologi warganya untuk kembali memantapkan gerakan sehingga lebih solid, seragam, namun tetapi dinamis dalam membaca segenap perubahan di masyarakat. Sementara itu, masih dalam konteks perubahan siatuasi sosial politik, hubungan Muhammadiyah dengan partai-partai politik dan pemerintah secara nasional juga menyedot energi tersendiri.

Baca Juga  Muhammadiyah dan Persoalan HAM

Faktor Migrasi Jamaah

Dalam situasi demikian warga Muhammadiyah yang tersebar membentang dari kota hingga pedesaan memerlukan panduan dalam menyikapi dinamika nasional dan internasional.

Sebagian merasa perlu lebih menguatkan komitmen organisasi sebagai basis gerakan agar Muhammadiyah tetap berperan di masyarakat sesuai dengan khittah-nya. Sebagian lain merasa gamang serta perlu mengambil pemahaman, gagasan, ideologi, dan sistem gerakan lain yang dianggap lebih dapat diterima publik atau mendapat simpati publik secara luas.

Yang paling frustasi dan gagal memahami dinamika eksternal dengan kerangka dan khittah Muhammadiyah memilih bermigrasi ke gerakan lain dengan sambil menganggap gerakan ini sudah tidak mewakili aspirasinya lagi.

1) Konflik Internal

Di tingkat bawah ditemukan beberapa faktor yang membuka peluang adanya migrasi warga Muhammadiyah ke gerakan lain. Faktor yang dimaksud adalah konflik internal diantara pimpinan, keinginan sebagian warga untuk menghidupkan kembali Muhammadiyah berbasis pengajian, dan semakin memudarnya otoritas ulama utamanya muncul-nya “ulama muda”.

Di Surakarta dan sekitarnya, saya menemukan sejumlah mantan aktivis (pengurus) Muhammadiyah yang pindah menjadi aktivis gerakan puritan (sebut saja gerakan At-Tafsir). Salah seorang mantan aktivis Pemuda Muhammadiyah menyampaikan proses kepin-dahannya ke gerakan At-Tafsir  di derahnya.

Profesinya sebagai pengusa-ha muda yang sedang tumbuh memaksanya untuk menyelesaikan persoalan secara cepat dengan harapan segara dapat menangkap pelu-ang kegiatan lain. Mentalitas berpikir semacam itu sebelumnya juga menjadi basis aktivitasnya di Muhammadiyah, sehingga gerak Muhammadiyah di Cabang tinggalnya menjadi hidup.

Dalam beberapa tahun kemudian melihat adanya sejumlah program PCM tidak berjalan lantaran adanya konflik internal pengurus, antara pihak yayasan dengan pimpinan amal usaha. Sebagaimana disebutkan Rambo, bahwa konversi dari satu keolompok ke kelompok bisa terdorong oleh berubahnya pola interkasi dan komitmen diantara aktivis gerakan dalam hal ini, konflik terus berlanjut hingga waktu Musyawarah Cabang (Musycab) berlangsung sehingga salah pihak merasa kalah dan “tersingkir” dari kepengurusan periode berikutnya.

Kelompok inilah yang kemudian memilih menjauh dari Muhammadiyah dan secara perlahan memilih bergabung di gerakan Islam lain, at-Tafsir. Keberuntungan pun berpihak pada mantan aktivis (Sekretaris PCM) ini yang dalam waktu yang tidak lama didaulat menjadi ketua cabang di kelompok yang baru diikuti.

Sudah barang tentu kelompok At-Tafsir juga merasa sangat beruntung memperoleh SDM yang relatif berpengalaman dalam mengelola organisasi atau gerakan Islam.

Aktivis yang turut berpindah dan ikut bergabung mantan sekretaris PCM menambahkan keterangan ketertarikannya pada gerakan At-Tafsir yang puritan karena terkesan sikap disiplin anggota-nya dalam berbagai kegiatan keagamaan yang mereka selenggarakan, utamanya kegiatan pengajian rutin mingguan.

Baca Juga  Seven Annoying Things That Clients Do to Harm Photographers

Sikap tegas pengurus mengeluarkan peserta pengajian yang tidak sungguh-sungguh atau tidak disiplin justru menarik minat Agung bergabung dan lebih bersemangat.

Selain itu, di kelompok yang baru ini juga ditemukan perilaku anggota yang ringan beramal, berinfak, dan untuk kegiatan sabilillah atau membantu orang yang membutuhkan bantuan, sehingga antaranggota menampakkan kebersamaan yang erat. Sementara di organisasi yang lama (Muhammadiyah) tidak merasakan hal demikian itu.

2. Lemahnya Pembinaan Jamaah

Faktor lain yang turut mendorong migrasi jamaah Muham-madiyah ke gerakan lain adalah melemahnya spirit dalam membina anggotanya di tingkat cabang dan ranting melalui pengajian rutin. Menurut Din Syamsudin, yang disampaikan dalam berbagai kesem-patan, pengajian adalah ruh gerakan Muhammadiyah.

Pengajian itu identik dengan Muhammadiyah sehingga ada pameo Muhammadiyah tanpa pengajian bukan lagi Muhammadiyah. Di sinilah berlangsung komunikasi dan interaksi antara pimpinan dan anggota dengan masya-rakat luas.

Pengajian juga merupakan ruang publik yang mempertemu-kan pimpinan dan anggota lintas profesi, lintas AUM secara lentur dan cair seakan tak ada jarak.

Faktor ini lebih melemahnya pengajian ranting menjadi alasan terbanyak konversi warga Muhammadiyah ke gerakan lain, At-Tafsir. Warga dan simpatisan Muhammadiyah di tingkat bawah memerlukan ruang untuk saling bersilaturahim dalam suasana yang cair sekaligus ingin mendapatkan kajian dan siraman dakwah yang ajek di tengah-tengah kesibukannya.

Penjelasan faktor ini diwakili seorang guru SMP Negeri yang sebelumnya aktivis Muhammadiyah di Majelis Tabligh. Ia pindah ke gerakan At-Tafsir karena sulitnya menggerakkan para aktivis Muhammadiyah untuk mengikuti pengajian yang diseleng-garakan Majelis Tabligh yang ia pimpin.

Ia sudah berusaha sedemikian rupa menyelenggarakan kajian, namun kurang mendapat respons dan dukungan dari warga Muhammadiyah lain di Cabang, utamanya dari kalangan pegawai dan guru di AUM.

Lambat laun, ia dan beberapa warga tetangganya tertarik dengan rutinitas kajian yang diseleng-garakan oleh gerakan Islam At-Tafsir, yang ternyata di daerahnya dipimpin oleh mantan muridnya di SMP.

Dalam batas-batas yang jauh, pola migrasi ini juga dipengaruhi oleh semakin kuatnya keinginan warga dalam hal kelekatan antar-anggota. Perubahan sosial mengakibatkan hilangnya konsensus budaya dan solidaritas organik, dan membuat orang berada dalam situasi ”mencari komunitas”, yakni pencarian nilai-nilai baru yang akan menjadi anutan mereka dan kelompok-kelompok di mana mereka akan bergabung.

Pengajian, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, rupanya masih memiliki daya tarik dan manfaat yang besar bagi penyejuk spiritual di kalangan masyarakat bawah.

Baca Juga  Kapitalisasi Media Massa pada Televisi Menuai Dampak Negatif

Ditinjau dari kebutuhan organisasi, sejatinya sangat dirasakan bahwa pengajian menjadi media yang paling efektif untuk menyampaikan informasi perkembangan organisasi, menyampaikan penjelasan kebijakan organisasi yang diambil serta yang tidak kalah pentingnya adalah  sebagai tempat penanaman ideologi dan faham keagamaan jamaah Muhammadiyah.

Di Pengajian lah berlangsung dialog dan reproduksi ideologi sekaligus menyatukannya. Perlu dicatat di sini bahwa pengajian yang berhasil tumbuh-kembang dengan subur, dihadiri jamaah dalam jumlah yang besar akan menjadi sumber mobilisasi dana, baik yang bersifat rutin maupun insidental.

3) Mencairnya Otoritas Ulama

Faktor ketiga yang mendorong migrasi jamaah warga Muhammadiyah ke gerakan lain di tingkat bawah adalah semakin mencairnya otoritas ulama lantaran tumbuhnya ulama muda. Hal ini antara lain dikemukan oleh seorang aktivis Muhammadiyah di tingkat PDM. Ia menuturkan pengalaman yang terjadi di kampungnya, bahwa tidak sedikit aktivis Muhammadiyah merasa kehilangan peran sebagai penggerak dakwah yang tergeser oleh banyaknya aktivis muda yang berpendidikan dan lebih berkualitas kapasitas keilmuannya.

Dalam kurun beberapa tahun terakhir datang seorang ulama muda lulusan dari Timur Tengah dengan kemampuan bahasa Arab dan baca kitab gundul yang bisa dikatakan mumpuni. Setiap kali mengisi pengajian selalu membuka buku berbahasa Arab, membaca dan merujuk ke buku tersebut.

Jamaah pengajian rupanya lebih tertarik dengan ulama muda yang dianggap lebih menguasai ilmu agama dibanding para da’i yang sebelumnya memberikan materi pengajian.

Selain menguasai kitab kuning ”ulama muda” juga lebih progresif menyikapi persoalan-persoalan baru yang muncul di masyarakat sebagai konskuensi dari teknologi komunikasi dan informasi.

Istilah “muda” di sini bisa dalam pengertian usia yang memang relaif muda antara 30-45 tahun (usia muda untuk ukuran ulama dibanding usia ulama dan pengertian yang lama) namun sudah memiliki kapasitas keulamaan dari aspek penguasaan ilmu alat (misalnya menguasai beberapa bahasa asing), juga hafid Al-Quran, dan bergelar akademik yang tinggi.

Bisa juga muda dalam pengertian sikap agresivitas dan progresivitas dalam menangkap isu-isu strategis yang aktual, kekinian, dan kedisinian, baik dalam aspek sosial, politik, ekonomi, budaya, dan agama.

Migrasi jamaah warga Muhammadiyah ke gerakan lain, dalam konteks peremajaan ulama ini, lebih banyak ke gerakan yang dikenal dengan sebutan kelompok salafi. Apalagi kelompok salafi, yang sebenar-nya sangat bervarian, menunjukkan dan merujukkan kajian-kajiannya mengdepankan jargon “kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah” sebagaimana yang dikenal di Muhammadiyah.

Warga Muhammadiyah yang pada dasarnya memiliki semangat meng(k)aji Al-Quran dan Sunnah merasa keinginan dan aspirasi spiritualnya tidak terpenuhi mencari tempat kajian di luar yang dinilai lebih menjawab berbagai masalan aktual dan kontemporer di masyarakat.

Sumber: Islam Berkemajuan untuk Peradaban Dunia

.

Editor: Azaki K
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds