Tulisan ini bukan curcol mengenai bagaimana memproduksi karya ilmiah lalu diterbitkan ke jurnal berkelas (terindeks Scopus). Tapi, sekadar menyusun rancangan strategis jika punya keinginan atau mimpi mengelola jurnal dan mengantarkannya menuju terindeks Scopus.
Tentu yang pertama adalah, kita harus mempunyai sumber daya manusia yang cukup. Sekurang-kurangnya Chief Editor dan Managing Editor, serta reviewer aktif yang memiliki Scopus ID dengan H-Index yang bagus. Artinya, berpengalaman betul dalam menerbitkan naskah risetnya sendiri di jurnal Scopus. Tentu mereka memiliki kecakapan dalam bahasa Inggris (akademik) meskipun masih memerlukan jasa proofreading profesional.
Di samping itu, juga memiliki koneksi global yang kuat, yang menjangkau lembaga-lembaga pendidikan tinggi di lima benua (Amerika, Eropa, Asia, Australia dan Afrika). Koneksi ini bukan hanya penting dalam rangka mereview jurnal, tetapi juga menjaring naskah terbaik.
Hal krusial lainnya yang penting sekali bagi para pengelola jurnal di universitas yang tidak menggunakan Inggris sebagai bahasa pengantar, maka harus memiliki penerjemah yang benar-benar profesional sesuai dengan bidang studi dan spesialisasi jurnal yang ada. Ingat, jurnal ini belum terindeks Scopus. Jadi masih tidak dilirik oleh para penulis yang ingin menerbitkan karyanya. Jadi, sebagai langkah awal, pengelola tidak bisa membebankan penerjemahan pada kontributor naskah.
Jalan Panjang Menuju Scopus
Namun, masalah bahasa belum selesai. Pengelola jurnal harus memiliki akses pada proofreader profesional. Mereka bukan sekedar native speaker, tetapi juga memiliki profesionalitas dalam bidang yang spesifik. Tentu spesifikasi sains berbeda dengan ilmu sosial maupun humaniora.
Jika SDM, network lima benua, penerjemah dan proofreader sudah dimiliki, jurnal masih belum bisa diterbitkan. Bagaimana mungkin? Karena belum mendapatkan naskah. Mengapa? Karena jarang sekali penulis berkelas mau menerbitkan naskahnya ke jurnal yang sama sekali baru, belum memiliki reputasi atau indeks.
Hal ini biasanya dijembatani melalui konferensi ilmiah. Tentu konferensi ini harus melibatkan para ahli yang terbaik di dunia, sehingga dianggap penting bagi para sarjana yang ingin mempresentasikan karya akademiknya dalam diskusi panel yang ada.
Jika tidak ada ahli yang berpengaruh, agaknya susah mendapatkan peserta konferensi. Apakah mungkin mendapat peserta dalam kondisi ini? Masih mungkin, jika transportasi, akomodasi dan segala keperluan para peserta dengan paper yang terseleksi dibiayai oleh panitia (pengelola jurnal). Tapi, biaya yang dikeluarkan besar sekali dan energi yang diperlukan juga besar.
Seputar Biaya dan Pengakuan
Di samping SDM dan Network, biaya adalah masalah yang juga krusial. Penerjemah dan proofreader profesional harus dibayar secara profesional pula. Jika ingin tembus menuju Scopus, tentu bayaran mereka harus berstandar global juga. Sekali lagi, hal ini tidak dapat diganggu-gugat. Kalau tidak, bahasa Inggris jurnal tidak akan dipahami oleh pengindeks internasional seperti Scopus.
Berapa biaya yang harus dikeluarkan setiap tahunnya? (Biaya konferensi, pembayaran penerjemah dan proofreader untuk dua kali terbit setiap tahun dan setiap penerbitan terdiri dari lima naskah artikel jurnal dan satu book review). Menurut Chief Editor sebuah jurnal terindeks Scopus Q1, berkisar antara 300-600 juta/tahun.
Jika sudah terindeks Scopus, apa keuntungan yang didapatkan? Tentu banyak sekali. Tetapi yang terpenting, pengakuan internasional akan didapatkan. Dunia global akan melihat bahwa, institusi penerbit jurnal ini menjadi sentral produksi ilmu pengetahuan baru. Ini hebat sekali di mata dunia.
Akhirul kalam, tulisan ini sekadar mimpi. Bahkan, mimpi di siang bolong karena sama sekali tidak punya modal untuk mewujudkannya. Ah, dasar pemimpi. Terlalu tinggi yang diimpikannya.