Kalian pernah mendengar kisah Musa Hafidz Cilik? Ia adalah anak ajaib. Dalam waktu singkat, Musa menjadi prototype anak ideal bagi banyak orang tua di Indonesia. Di usia 5 tahun, ia telah menghafalkan Alquran sebanyak 29 juz. Kemunculannya di Televisi membuat banyak penonton menitikkan air mata. Nama lengkapnya adalah La Ode Musa Hanafi. Ia lahir di Bangka pada tahun 2008.
Musa seperti keajaiban yang kehadirannya diharapkan oleh banyak orang. Namun, sebagaimana keajaiban lain, Musa tidak sendirian. Ada beberapa orang yang kisahnya sama atau bahkan lebih mengagumkan dari Musa.
Keajaiban lain selain Musa yang saya maksud itu bernama Misbah. Ia adalah seorang tuna netra, namun mampu menyelesaikan hafalan Alquran ketika menempuh studi Pendidikan Luar Biasa di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Ia kehilangan indra penglihatan secara total sejak duduk di kelas 6 Madrasah Ibtidaiyah di Kudus.
Masa Kecil dan Masa Pendidikan Misbahul Arifin
Masa kecil Mishbah sama seperti masa kecil anak-anak pada umumnya. Ia lahir di Kudus pada 7 September 1997. Ia menghabiskan waktu untuk bermain dengan teman-temannya di sungai, lapangan, dan sawah. Bedanya, ia dilahirkan dalam kultur keluarga yang memegang teguh nilai-nilai agama Islam dengan corak NU. Bapaknya adalah salah satu tokoh agama yang disegani di Kudus.
Sebelum kehilangan indra penglihatan, ia sudah menghafalkan Alquran kendati baru beberapa juz saja. Pasca kehilangan indra penglihatan, ia bertekad untuk melanjutkan proses menghafallkan Alquran hingga selesai. Meskipun dengan berbagai keterbatasan, ia memegang teguh keyakinan bahwa suatu saat cita-citanya dapat tercapai. Saat itu, Misbah tengah menempuh pendidikan di MI Nahdatul Wathon, Kudus.
Ketika itu, masjid di desanya sering memutar lantunan ayat-ayat Alquran dan pujian-pujian kepada Tuhan. Karena terlalu sering diputar, orang-orang di sekitar masjid tersebut secara tidak sadar bisa menghafal ayat-ayat tersebut. Dari situ ia kemudian berpikir bahwa ia tetap bisa menghafalkan Alquran melalui indra pendengaran.
Mulailah ia rajin mendengarkan murotal Alquran dari MP3. Waktu itu belum muncul smartphone. Ia memutar murotal secara terus-menerus hingga mampu menghafalkan Alquran. Hal tersebut terus ia lakukan selama SMP. Ia menempuh pendidikan di MTs Manbaul Falah, Kudus.
Ketika di SMA, ia masuk ke Pesantren MA Al Muttaqien Pancasila Sakti (ALPANSA), Klaten, Jawa Tengah. Di pesantren tersebut, sebagaimana di pesantren pada umumnya, para santri dilarang untuk membawa HP. Namun, karena keinginan yang kuat, ia tetap membawa HP. Belakangan, ketika kiai di pesantren tersebut mengetahui pelanggaran yang dilakukan oleh Misbah, mereka memaklumi. Jadilah Misbah semakin semangat untuk menghafalkan Alquran.
Ia melanjutkan pendidikan di Prodi Pendidikan Luar Biasa UNS, Solo. Di tahap inilah ia berhasil menyelesaikan hafalan Alquran 30 juz secara mandiri. Kini, Misbah tengah menempuh studi pasca sarjana di kampus yang sama.
Menjadi Pegiat Toleransi
Misbahul Arifin bukan hafidz biasa. Ia adalah hafidz dengan berbagai keunikan. Selain unik karena menghafalkan Alquran tanpa membaca mushaf sedikitpun, ia juga unik karena aktif di dunia toleransi. Dunia yang bagi sebagian saudara muslimnya dianggap sebagai jalan yang salah.
Menurutnya, Allah menciptakan seluruh manusia dengan sebaik-baik bentuk. Artinya, Allah tidak membeda-bedakan manusia dari agama, suku, ras, dan golongan. Yang membedakan antar manusia hanya amal yang ia lakukan baik atau buruk, tanpa memandang agama.
“Ibarat seleksi CPNS tapi kita nggak tahu nilai kita. Apalagi soalnya adalah esai, bukan pilihan. Hidup ini bukan multiple choice, tapi mengisi kehidupan dengan deskripsi amal. Sedangkan, semua agama mengajarkan nilai-nilai kebaikan,” ujar Misbah.
Ia juga meyakini bahwa Nabi Muhammad tidak pernah memulai peperangan. Alih-alih memulai peperangan, Nabi Muhammad justru mengajarkan setiap orang agar berbuat baik kepada orang lain. Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad bersabda bahwa sebaik-baik orang adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Nabi juga memerintahkan umat Islam untuk berbuat baik kepada tetangga.
Alquran, menurut Mishbah, adalah petunjuk bagi seluruh manusia. Alquran bukan hanya petunjuk bagi umat Islam semata. Seluruh manusia berhak untuk mengkaji dan mengambil pelajaran dari Alquran. Maka, setiap orang yang lebih dewasa, lebih berakal, lebih cerdas harus mampu memberikan, mengayomi, dan melindungi siapapun yang ada di bawahnya.
Umat Islam sebagai mayoritas adalah umat yang paling bertanggung jawab terhadap apapun yang terjadi di Indonesia. Jika terjadi kerusakan di Indonesia, maka umat Islam yang bertanggung jawab. Jika terjadi pengrusakan tempat ibadah, pelarangan praktik ibadah, dan segala bentuk kedzaliman, maka umat Islam juga bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut.
Dengan pemahaman keagamaan yang mendalam, moderat, toleran, dan inklusif, ia memilih untuk aktif di berbagai kegiatan tentang toleransi. Ia adalah salah satu alumni Youth Interfaith Camp yang digelar oleh Imparsial. Kini, ia aktif di Bengawan Muda, salah satu komunitas yang bergerak di bidang toleransi dan lintas agama.
Misbahul Arifin juga menjadi Koordinator Takmir Masjid Nurul Huda UNS, Ketua Unit Layanan Inklusi Penanggulangan Bencana BPBD Kota Surakarta, Ketua Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI) Surakarta, Staff Harian Tim Advokasi Difabel Kota Surakarta, Duta Perubahan Perilaku BNPB Covid-19 bagi Kelompok Rentan, Tim Projek Konten Disabilitas Surakarta, Tim Program Sehati Sukoharjo dan E-Bagem Turki, dan lain-lain.
Reporter: Yusuf
Konten ini hasil kerja sama IBTimes dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI.