Perspektif

Moderasi Beragama: Tak Menambah Runyam Saja Sudah Bagus

4 Mins read

Moderasi Beragama

Moderasi Beragama | “Apakah toleransi dan pluralisme di Indonesia benar-benar patut dibanggakan seperti yang selama ini digaung-gaungkan?” Jika kita pikirkan kembali, berbagai isu keagamaan telah jamak terjadi. Tidak perlu melampirkan bukti spesifik di sini, sebab Anda bisa dengan mudah menemukan berbagai macam problem kerukunan dengan gawai di tangan Anda.

Maka tidak berlebihan apabila kita beranggapan bahwa keberlangsungan kehidupan sosial masyarakat beragama di Indonesia merupakan sebuah jalan yang terjal.

Berbagai penelitian, seminar, karya ilmiah, hingga pemikiran-pemikiran inovatif untuk mencari solusi terkait problem ini pun terus bermunculan. Namun muncul pertanyaan lain, kenapa berbagai hasil pencarian solusi tersebut seakan tidak efektif?

Tentu saja tidak mudah untuk menyelesaikan permasalahan sosial masyarakat beragama di Indonesia dengan berbagai kompleksitas politik, sosial, agama, kebudayaan hingga kepribadian dan karakter masyarakat Indonesia yang menyertainya.

Meski begitu, mari kita raba bersama alternatif seperti apa yang kiranya dapat digunakan untuk ikut “nimbrung” dalam membumikan kerukunan dan moderasi beragama di Indonesia.

Sebuah Jalan Panjang Moderasi Beragama

Membumikan moderasi beragama di Indonesia merupakan suatu jalan panjang yang harus ditempuh. Suatu jalan panjang, karena moderasi beragama membutuhkan pemahaman beragama yang tidak fanatik. Sedangkan kebanyakan masyarakat Indonesia begitu fanatik terhadap identitas sosialnya, terutama agama. Fanatisme tidak hanya ditemukan pada orang yang fanatik agama, bahkan orang yang mengedepankan moderasi beragama pun seringkali ditemukan fanatisme terhadap pemahaman moderasi beragamanya.

Tidak perlu sampai ke agama, identitas suporter bola saja begitu fanatik dibela oleh masyarakat Indonesia. Siapa yang tidak tau konflik Bonek-Aremania dan rivalitas Jakmania-Bobotoh?

Penelitian dari Hapsari & Wibowo (2015) serta Ameliany, dkk. (2019) membuktikan bahwa tingkat fanatisme membela identitas sosial berdampak pada tingkat sensitivitas hingga agresivitas masyarakat dalam merespon sesuatu yang berkaitan dengan identitas sosialnya.

Apabila Aremania disinggung oleh Bonek, suporter Aremania dengan mudahnya terpancing emosi dan membalas balik pihak yang menyinggung. Begitu pula dengan kehidupan sosial masyarakat beragama.

Baca Juga  Muhammadiyah Membumikan Moderasi di Papua

Apalagi dengan adanya media sosial yang membebaskan individu dalam berekspresi. Silang sengkarut konflik, hujat menghujat, fitnah memfitnah pasti terjadi. Sedikit banyak hal tersebut mencerminkan karakter fanatik masyarakat Indonesia saat ini.

Ironisnya, kepolosan fanatisme masyarakat Indonesia ini seringkali dimanfaatkan untuk mencapai keuntungan oleh pihak-pihak tertentu. Sehingga isu sosial masyarakat beragama pasti selalu muncul sepanjang waktu.

Restrukturisasi Kognitif

Membenahi fanatisme masyarakat Indonesia bukan suatu hal yang mudah. Maka pijakan awal yang dipilih adalah perubahan jangka panjang. Berangkat dari perspektif psikologi kognitif, untuk membenahi suatu pemahaman yang salah diperlukan adanya restrukturisasi kognitif.

Pakar psikologi, Dr. Aisha Hamdan menjelaskan bahwa restrukturisasi kognitif adalah bentuk tertentu dari terapi kognitif yang bertujuan mengajak individu untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi pikiran otomatis, asumsi, serta keyakinan inti yang kurang sesuai.

Melalui proses restrukturisasi kognitif, individu dibimbing dalam mendiskusikan masalah yang digunakan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi pikiran otomatis. Kemudian individu tersebut dibantu memodifikasi keyakinan dan asumsi inti mereka dengan alternatif yang lebih adaptif dan bermanfaat.

Dari fanatik menjadi lebih moderat, dari kaku menjadi lebih fleksibel, dan dari keras menjadi lebih lunak. Modifikasi terjadi melalui pemeriksaan bukti dan mencari penjelasan alternatif (Beck, 1998). Restrukturisasi kognitif ini dapat digunakan sebagai bekal instrospeksi kognitif individu ke arah yang lebih baik.

Apa yang ditawarkan pendekatan kognitif tersebut tidak hanya berupa interaksi satu arah seperti pemberian materi moderasi, toleransi, dan semacamnya melalui seminar-seminar, ceramah, maupun nasehat-nasehat tentang toleransi dan kerukunan.

Pendekatan ini melibatkan individu untuk merefleksikan dan merasakan sendiri apa saja yang salah dalam pola pikir, perilaku beserta dampaknya, dan kehidupan sosial masyarakat beragama di Indonesia sehingga muncul kesadaran dari dalam diri untuk ikut menjaga kehidupan bermasyarakat tersebut.

Baca Juga  PM Muhyiddin, Mampukah Bertahan?

Maka jika diwacanakan, bisa dikatakan bahwa pendekatan ini merupakan solusi yang cukup ampuh dalam membenahi pola pikir fanatik pada masyarakat.

Hambatan Restrukturisasi Kognitif

Namun pendekatan restrukturisasi kognitif masih banyak mengandung kekurangan. Pertama, masalah sumberdaya manusia.

Istilah restrukturisasi kognitif kurang familiar dan hanya biasa dilakukan oleh psikolog, sehingga saat ini jumlah “agen” restrukturisasi kognitif masih sangat kurang.

Alternatif yang dapat digunakan yakni meningkatkan dan menyebarkan pemahaman restrukturisasi kognitif pada masyarakat umum atau minimal pada mahasiswa sebagai agent of change untuk diterapkan dalam menghadapi masyarakat.

Kedua, restrukturisasi kognitif lebih sering diterapkan pada individu daripada suatu kelompok besar sekaligus. Karena pijakan awal adalah perubahan kolektif jangka panjang, sebenarnya tidak perlu muluk-muluk merubah masyarakat luas secara instan dalam waktu singkat.

Alangkah baiknya jika dimulai dari pribadi kita sendiri, kemudian orang-orang terdekat, baru selanjutnya secara alami meluas sedikit demi sedikit.

Ketiga, dengan alur identifikasi-evaluasi-modifikasi, restrukturisasi kognitif membutuhkan aspek fundamental yang sangat penting yakni adanya objektivitas dari setiap individu yang terlibat dalam melakukan prosesnya.

Objektivitas dibutuhkan agar dapat melihat “hal” yang salah dalam pola pikir sehingga memunculkan kesadaran untuk merubah dan memodifikasinya. Tanpa kesadaran, apapun metode dan solusi dalam membumikan kerukunan dan moderasi beragama tidak akan mampu tercapai.

Ahmaq: Sebuah Sandungan Besar

Batu sandungan besar yang berkaitan dengan kesadaran adalah penyakit ahmaq. Istilah ahmaq muncul ketika Nabi Isa tidak mampu mengobati orang yang mengidap penyakit ini.

Orang ahmaq adalah orang yang tidak sadar bahwa dirinya tidak mengerti, dan meyakini bahwa dirinya paling mengerti. Itulah orang-orang dungu yang tidak ada jalan untuk mengobatinya (Nadjib, 2021). Bayangkan apakah kita mampu membenahinya, sedangkan Nabi Isa tidak mampu?

Maka selain memikirkan berbagai solusi yang dapat diperjuangkan, penting juga untuk selalu menyandarkan diri pada Allah. Allah sendiri telah menjelaskan bahwa “Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa disesatkan-Nya, maka engkau tidak akan mendapatkan seorang penolong yang dapat memberi petunjuk kepadanya” (Q.S. Al-Kahfi: 17).

Baca Juga  Kuliah Umum UIN Salatiga Bahas “Moderasi Beragama di Era Artificial Intelligence (AI)”

Maka sebaik, sebenar, dan semanis apapun solusi yang kita tawarkan dan usahakan untuk membenahi tingkat fanatisme di masyarakat, tidak akan mampu menjadi petunjuk ke arah kebaikan ketika Allah telah menyesatkannya. Begitu besarnya sandungan dari penyakit ahmaq, yang bisa jadi kita sendiri pengidapnya.

Setelah membabarkan solusi sedemikian rupa dalam membumikan moderasi beragama di Indonesia, palsu rasanya apabila kita tidak mempedulikan kompleksitas masalah yang lain.

Dapat dipastikan tidak akan ada kemajuan dalam permasalahan ini sebaik apapun solusinya, tanpa kerjasama dari berbagai elemen masyarakat dan pemangku kepentingan yang disertai kesadaran kolektif untuk selalu memperbaiki dan menjaganya.

Restrukturisasi kognitif tetap dapat dilakukan, minimal pada diri sendiri. Namun jika mengingat kembali rumitnya permasalahan kerukunan sosial masyarakat beragama di Indonesia, tema restrukturisasi kognitif paling sederhana yang dapat dijangkau adalah “tidak menambah runyam saja sudah merupakan sebuah pencapaian besar”.

Daftar Pustaka

Al-Qur’an dan terjemahannya. Kementrian Agama RI. Quran.kemenag.go.id diakses pada 18 Oktober 2021 di https://quran.kemenag.go.id/sura/18

Ameliany, C., Mirza, R., & Marpaung, W. (2019). Perilaku Agresi ditinjau dari Fanatisme pada Satuan Mahasiswa dan Mahasiswa Ikatan Pemuda Karya. Analitika: Jurnal Magister Psikologi UMA, 11(1), 31–37.

Beck, J. S. (1998). Complex Cognitive Therapy Treatment for Personality Disorder Patients. Bulletin of the Menninger Clinic, 62(2), 170–194.

Hamdan, A. (2008). Cognitive Restructuring: An Islamic Perspective. Journal of Muslim Mental Health, 3(1), 99–116.

Hapsari, I., & Wibowo, I. (2015). Fanatisme dan Agresivitas Suporter Klub Sepak Bola. Jurnal Psikologi, 8(1), 52–58.

Nadjib, E. A. (2021). Aku Bukan Siapa-siapa Bagi Indonesia. Caknun.Com. diakses pada 18 Oktober 2021 di https://www.caknun.com/2021/aku-bukan-siapa-siapa-bagi-indonesia/

Editor: Yahya FR

Ahmad Johan Faidlony Thoha
1 posts

About author
Mahasiswa Psikologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds