Wacana moderasi beragama dalam konteks global pertama kali muncul dalam kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat pasca peristiwa 9/11. Pemerintahan Bush melakukan upaya besar dalam melawan para jihadis yang dinyatakan sebagai musuh-musuh dengan membuat slogan “perang melawan teror”.
Namun demikian, retorika “perang melawan teror” yang digulirkan Bush justru sering tergelincir menjadi perang terhadap Islam dan, telah memicu ‘sekuritisasi Islam’ di seluruh dunia. Hampir setiap orang dan segala sesuatu yang berhubungan dengan Islam telah dianggap menjadi masalah keamanan, dan perdebatan tentang keamanan ini sering direduksi menjadi Islam.
Alih-alih sukses dalam perang melawan teror, kebijakan ini justru melahirkan persepsi Islamophobia di Barat dan menciptakan tekanan besar bagi umat Islam secara global. Ketika Bush gagal mempromosikan perdamaian dengan membuat pemetaan antara kelompok Islamis non kekerasan dan jihadis, pemerintahan Obama lalu mengubah perbedaan ini menjadi pembedaan antara Muslim “moderat” dan “radikal”. Perlawanan terhadap kelompok teror dan radikal ini juga sekaligus merupakan upaya represif Amerika untuk mengkampanyekan prospek demokratisasi di Timur Tengah.
Namun, kebijakan Obama ini tidak kalah gagalnya dengan apa yang telah diupayakan oleh Bush. Meski pemerintahan Obama ini lebih menaruh perhatian pada urusan umat Islam, pemerintahan ini tampaknya membuat kesalahan dalam arah yang saling berlawanan, yakni, meminggirkan kebebasan beragama yang ditujukan untuk meredakan tuntutan kelompok radikalis dengan menggunakan simbol “Islam moderat”.
Perubahan kebijakan yang dilakukan oleh Obama atas kegagalan Bush ini bukanlah sebentuk moderasi, tetapi merupakan bagian dari pengekangan politik (politik illiberal) yang berpindah dari satu ekstrem ke ekstrem yang lain. Persoalan ini menjadi makin rumit ketika muncul pertanyaan, siapakah kalangan moderat itu?
Apa itu Islam Moderat?
John L. Esposito, seorang komentator Islam terkemuka Amerika, melalui bukunya berjudul The Future of Islam meragukan pelabelan “Islam moderat” dalam kebijakan politik luar negeri Amerika.
Pasca-9/11, sekelompok anggota Kongres ingin mengadakan pertemuan dengan beberapa imam tetapi mewanti-wanti agar mereka dari kelompok moderat. John lalu dihubungi oleh staf kongres di Capitol dan diminta untuk membuat daftar imam yang memenuhi kriteria “muslim moderat”.
Permintaan ini jelas menimbulkan banyak pertanyaan, mengapa istilah yang digunakan adalah muslim “moderat”? John mengatakan, jika mereka berbicara dengan para pemimpin Yahudi dan Kristen, apakah mereka meminta Yahudi dan Kristen moderat? bila umat Yahudi dan Kristen diperlakukan dengan cara seperti itu, pastilah menimbulkan protes besar.
Persis pada titik inilah pangkal persoalannya. Seringkali muslim “moderat” dilawankan dengan muslim “radikal”. Bagi banyak sekularis Barat, seorang muslim “moderat” didefinisikan sebagai orang yang “seperti kita”.
***
Dengan demikian, muslim moderat adalah mereka yang menganjurkan liberalisme sekuler, sementara muslim konservatif dan tradisional dianggap fundamentalis: berpikiran tertutup secara teologis, mencurigakan dan ekstrem.
Muslim liberal ataupun yang mengaku progresif sering terjatuh ke dalam jebakan yang sama, menggunakan istilah “moderat” hanya untuk mereka sendiri dan menggunakan istilah “fundamentalis” untuk merendahkan orang-orang yang berpaham konservatif.
Ketika istilah “moderat” ditujukan kepada mereka yang menerima nilai-nilai Barat seperti sekularisme, liberalisme, dan demokrasi yang oleh Barat dianggap universal, maka kebijakan politik luar negeri Amerika ini menjadi kontraproduktif dengan upaya melawan radikalisme dan terorisme.
Sebab, sebagian besar masyarakat muslim di tingkat global, khususnya di Timur Tengah, bahkan mereka yang berpikiran paling terbuka sekalipun, tidak bisa sepenuhnya menerima nilai-nilai Barat itu sebagai sesuatu yang universal. Bahkan banyak di antara mereka yang berpikiran terbuka secara terang-terangan menolak sekularisme dan liberalisme; lalu apakah mereka juga disebut muslim radikal?
Model politik pelabelan ini dan mempersamakan kata “moderat” dengan liberalisme Barat justru menggiring banyak orang memandang penganut yang lebih konservatif dan keseluruhan agama Islam sebagai ancaman.
Jelas bahwa kebijakan Barat ini gagal dalam memenuhi tuntutan umat Islam dan makin mempertegas bahwa politik moderasi yang digulirkan Amerika memperlebar keretakan identitas umat Islam serta tidak mampu membendung laju gerakan radikalisme-terorisme.
Titik Terang Wacana Moderasi Beragama
Wacana moderasi mulai menemukan titik terang ketika pada Desember 2017 lalu, resolusi Majelis Umum PBB mendeklarasikan 2019 sebagai tahun “International Year of Moderation” (IYM).
Kabarnya, resolusi ini diinisiasi oleh Malaysia dalam sesi ke-72 Majelis Umum PBB dalam upaya mempromosikan “moderasi sebagai cara untuk mencegah munculnya ekstremisme dan terosisme” dan untuk mempromosikan “nilai-nilai dialog, toleransi, pemahaman, dan kerja sama.”
Resolusi tersebut disetujui oleh 135 negara anggota PBB, dengan Amerika Serikat dan Israel memberikan suara menentang resolusi tersebut. Majelis PBB menyerukan kepada masyarakat internasional untuk mempromosikan moderasi sebagai nilai yang menopang perdamaian, keamanan, dan pembangunan. Antara lain, organisasi tersebut juga meminta masyarakat internasional untuk mendukung inisiatif “Global Movement of Moderates”, yang sejak tahun 2010 dikembangkan oleh pemerintah Malaysia sebagai platform bersama untuk memperkuat kampanye moderasi atas ekstremisme kekerasan.
Hal menarik dalam resolusi PBB di atas adalah ketika pihak delegasi Amerika menentang resolusi tersebut, penentangan ini tampak sebagai sikap yang tidak konsisten dari Amerika sendiri yang pasca-9/11 membuat kebijakan politik dengan mempromosikan moderasi untuk melawan segala bentuk ekstremisme dan terorisme.
Ketika mayoritas anggota PBB menerima resolusi tersebut dengan menyuarakan dukungannya terhadap nilai-nilai perdamaian, toleransi, inklusivitas, dan moderasi, justru beberapa pihak seperti Amerika menyatakan keprihatinan bahwa resolusi “moderasi” berpotensi dan secara jelas dapat digunakan untuk menekan atau membatasi hak kebebasan berpikir dan berekspresi.
***
Boleh jadi, keberatan Amerika ini bertitik tolak dari kegagalan mereka dalam mewacanakan moderasi bahkan sampai pada tingkat kebijakan politik untuk membendung arus ekstremisme dan terorisme. Alih-alih mencapai titik kesuksesan, Amerika justru menyadari bahwa pelabelan pada apa dan siapa itu yang disebut moderat justru berlawanan dengan nilai-nilai yang mereka yakni; seperti demokrasi dan hak asasi manusia.
Secara politik, resolusi PBB tentang IYM harus dilihat sebagai upaya global bagi masyarakat internasional dalam melawan segala bentuk intoleransi dan kekerasan. Sebab, berbagai upaya dalam melawan teror selalu saja berkaitan dengan kepentingan pragmatis negara dan integrasi nasional.
Setiap aktor di Barat dan negara-negara mayoritas Muslim sama-sama melihat strategi moderasi beragama sebagai jalan keluar dari ekstremisme. Namun, setiap negara memiliki caranya sendiri dalam mengupayakan praktik moderasi dalam beragama, siapa saja bisa berselisih tentang apa dan bagaimana menjadi moderat, tetapi semua orang sepakat bahwa tindakan intoleransi dan kekerasan tidak pernah bisa dibenarkan dengan alasan apapun.
Kehadiran resolusi PBB tentang IYM juga menegaskan bahwa berbagai negara di seluruh dunia tengah menghadapi persoalan yang sama, yakni ekstremisme dan terorisme. Pada titik ini, moderasi beragama dipahami sebagai sekuritisasi agama-agama ketika dunia tengah menghadapi ancaman global tentang kekerasan atas nama agama; bahwa berbagai negara di seluruh dunia harus mampu menjamin keamanan bagi warganya.
Oleh karenanya, tidak peduli bagaimana seseorang menjadi moderat, yang terpenting dari semua itu adalah menyadarkan masyarakat global untuk mengupayakan secara bersama-sama tentang arti penting perdamaian dan toleransi atas nama kebebasan dan hak asasi manusia.
Editor: Yahya FR