Idul Fitri telah usai, ingatan perihal perbedaan tanggal lebaran masih terngiang jelas dalam pikiran kita, khususnya bagi warga Muhammadiyah. Lantas Apa yang membuat perbedaan Idul Fitri masih membekas di ingatan warga Muhammadiyah? Pelarangan untuk menggunakan fasilitas publik sebab dari perbedaan tanggal lebaran yang dilakukan oleh beberapa kepala daerah di Indonesia adalah pemantik awal dari segalanya.
Perdebatan ini berlanjut ketika sekretaris umum PP Muhammadiyah memberikan balasan menohok, kemudian berlanjut pada tanggapan dari anggota di salah satu institusi pemerintah Indonesia yang mengarah pada tindakan premanisme, pasalnya warga Muhammadiyah diancam untuk dibunuh. Konflik yang terjadi sebab perbedaan lebaran dengan sikap dari pemerintah daerah dan anggota institusi pemerintah tersebut adalah sebuah upaya rezimentasi agama.
Tulisan ini bukan untuk mengulang dan menuangkan emosi yang telah reda, melainkan untuk mengkaji sebab, faktor, dan dampak terjadinya rezimentasi agama pada stabilitas negara dan kondisi sosial masyarakat.
Rezimentasi Agama yang Kian Nampak
Prof Haedar Nashir mengartikan rezimentasi agama adalah masalah dimana agama secara bias dan subyektif lalu ingin disenyawakan dengan negara dan menjadi kekuatan negara.
Belakangan ini gejala rezimentasi agama semakin nampak di Indonesia. Jika mengkaji lebih jauh sebab terjadinya rezimentasi agama di Indonesia, ternyata mencederai apa yang disebut dengan perbedaan. Ketika rezimentasi agama terjadi, maka Indonesia sebagai negara demokrasi telah gagal menegakkan demokrasi itu sendiri.
Faktor terjadinya rezimentasi agama sering kali berangkat dari paham keagamaan dan memandang paham keagamaan yang dianut oleh satu kelompok lebih benar dan sesuai dengan tuntunan syariat dibandingkan dengan paham agama kelompok lainnya.
Dari hal ini, landasan awal menjadikan pemerintahan untuk melakukan privatisasi paham agama mayoritas atau kelompok agama. Selain privatisasi paham agama, pemerintahan dalam lakunya ingin menjadikan paham agama dominan menjadi kekuatan negara dan bebas mengatur laku masyarakat. Ketika rezimentasi agama hadir di Indonesia, jelas kiranya pemerintahan Indonesia telah menyalahi amanat konstitusi (UUD 1945 Pasal 29) tentang kebebasan beragama. Lebih jauh dari itu Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan negara telah dicederai.
***
Ketika ikhtilaf dipandang suatu hal yang buruk, kemudian menyelesaikan permasalahan ikhtilaf dengan penyeragaman merupakan solusi menyelesaikan permasalahan dengan membangun persoalan lainnya. Ikhtilaf sudah sejak lama terjadi dan kondisi ini merupakan fitrah dari setiap manusia. Sekalipun permasalahan ikhtilaf ingin diselesaikan, peran negara dalam hal ini sebagai mediator antar golongan yang berbeda pendapat tanpa ada intervensi.
Rezimentasi paham agama tidak pernah dibenarkan apapun bentuk dan kondisinya terkecuali persoalan fundamental agama seperti akidah. Ketika rezimentasi agama dilaksanakan, maka akan terjadi ekstrimisme beragama. Ketika rezimentasi agama dipaksakan untuk dilaksanakan, dampak yang akan terjadi adalah terpecah belahnya golongan umat beragama yang mengakibatkan terjadinya konflik berkepanjangan.
Rezimentasi agama terjadi berdampak pada revolusi agama, dalam hal ini kita dapat berkaca dari terjadinya revolusi agama yang mana ketika itu gereja memiliki kuasa penuh untuk melakukan intervensi terhadap negara. Â Kendati rezimentasi agama di Indonesia terwujud, Indonesia bukan sebagai negara yang landasan lahiriahnya berasal dari agama melainkan dari Pancasila.
Pemakluman ikhtilaf dalam beragama merupakan solusi jangka pendek ketika rezimentasi agama terjadi, secara sosio-kultural budaya takfiri akan semakin tinggi dan toleransi sosial akan hilang. Untuk menanggulangi hal ini upaya awal yang dapat dilakukan oleh Pemerintah, Lembaga pendidikan, Ormas dan Masyarakat harus meningkatkan pendidikan agama yang inklusif dan bersama-sama menangkal terjadinya ekstrimisme dan radikalisme.
Moderasi Beragama Sebagai Solusi
Narasi moderasi beragama telah sejak lama digalakkan oleh Muhammadiyah dan belakangan NU dan negara juga sedang menggaungkannya. Dari tujuannya, moderasi agama dapat menjadi solusi untuk menangkal terjadinya rezimentasi agama. Sebelum lebih jauh membahas peran moderasi agama sebagai tameng rezimentasi agama, terlebih dahulu kita perlu memahami apa yang dimaksud dengan moderasi beragama.
Moderasi beragama secara singkat dapat diartikan dengan cara pandang keagamaan yang bersifat tengahan, tidak condong ekstrim tidak juga radikal. Sikap tengahan dalam beragama yang dimiliki oleh individu, organisasi dan pemerintah akan meningkatkan sikap toleransi dan kerukunan dalam beragama. Syarat terwujudnya moderasi beragama salah satunya ketika individu, organisasi, dan pemerintahan menyikapi perbedaan sebagai sesuatu yang lahiriah dan tidak bertindak ekstrim, seperti melakukan hate speech dan tindak kekerasan secara fisik ataupun psikologi.
***
Narasi moderasi beragama sebagai antitesa rezimentasi agama merupakan solusi yang tepat. Mengapa moderasi beragama menjadi solusi? Untuk menjawab pertanyaan ini ada beberapa hal yang kemudian menjadi penguat bahwa moderasi beragama sebagai solusi rezimentasi agama.
Pertama, Terbukanya dialog. Ketika seluruh kalangan, baik masyarakat sipil, ormas dan pemerintah telah bersepakat bahwa ikhtilaf adalah kondisi lahiriah, maka pada saat itulah dapat dilakukan dialog tanpa tendensi dari setiap Ormas ataupun pemerintah. Ketika dialog telah terjadi, kedua kubu yang berbeda pendapat akan memahami perspektif, keyakinan dan perbedaan dari kedua belah pihak.
Kedua, Dialog antar agama. Meminjam konsep dialog antar agama Arkoun yang menyatakan bahwa dialog antara agama merupakan sikap toleransi dalam beragama. Konsep dialog antar agama dalam ranah masyarakatlah yang dapat diambil dari Arkoun, bukan dialog antar agama membahas teologi dan akidah, karena hal ini sudah bersifat mutlak.
Ketiga, Menentang cara beragama yang salah. Rezimentasi agama merupakan bagian dari ekstrimisme beragama dan menjadikan agama sebagai kendaraan politik. Dengan seruan kembali ke tengah (tidak radikal dan tidak juga ekstrimis), tetapi menanamkan nilai beragama yang inklusif.
Sebagai penutup, rezimentasi agama dapat terjadi ketika suatu pemerintahan menganut satu paham agama yang saklek dan memaksakan apa yang dipahami menjadi kebijakan negara. Ketika rezimentasi terjadi di Indonesia, maka pemerintah Indonesia telah menyalahi konstitusi UUD 1945 pasal 29 tentang kebebasan beragama dan Pancasila sebagai dasar negara.
Editor: Soleh