Banyak yang gagal paham dan tidak obyektif memahami apakah sebuah peristiwa politik, peristiwa agama atau peristiwa intelektual. Ambil contoh: reuni berjiilid 212, riuh tentang Milk al Yamin, lahirnya berbagai aliran-aliran atau lainnya yang semisal. Kegagalan memahami berbagai peristiwa di atas melahirkan berbagai distorsi yang diakhiri dengan konflik dan selisih. Apalagi jika kemudian diberi cap agama untuk menjustifikasi. Agar apapun yang dilakukan terlihat sakral karena ada dukungan teologis.
Dua Curuk Ekstrem
Dua ‘curuk’ ekstrem merepresentasi pemikiran ke-Islaman yang dijadikan sandaran sebagian besar umat Islam: pertama pemikiran tentang urgensinya kekuasaan sebagai basis persyaratan mutlak penegakan syariat secara kaffah dan kedua pemikiran tentang cukupnya item-item syariat bisa dilaksanakan dengan tidak menjadikan kekuasaan politik sebagai indikator.
Hal mana pernah dibahas intens para cendekiawan muslim dari berbagai latar belakang ke ilmuan, di paruh tahun tujuh hingga delapan puluhan, Mukti Ali, Nurcholish Madjid, Johan Effendy, Mochtar Masoed, Abdurahman Wahid hingga Syafi’i Maarif—
Di Malaysia ada Chandra Muzhafar, di Pakistan ada al Maododi dan Jinnah, di Afghan ada Jamaluddin, di Iran ada Syariati. Dua curuk pemikiran itu terus berebut dominan bahkan telah ada sejak para sahabat dan tabiin. Perselisihan bahkan berlanjut hingga pertumpahan darah. Para cendekiawan terus melakukan kajian dan riset untuk mendapatkan model kompromi meski tidak menyatukan. Ibnu Taymiyah salah satu cendekiawan besar abad tengah memberi banyak gagasan yang berkualitas yang kemudian menjadi model alternatif.
Teologi Moderat
Menurut Prof Syafig Mughni—Posisi teologi Ibn Taymiyyah dalam kitab al-’Aqidah al-Wasithiyyah itu menggambarkan teologi yang moderat atau tengahan (al-wasath). Moderasi itu berada pada posisi di antara dua ekstrem, misalnya antara tamtsil (memisalkan sifat-sifat Tuhan dengan sifat-sifat manusia) yang dianut oleh Musyabbihah dan ta’thil (menafikan sifat-sifat Tuhan) yang dianut oleh Jahamiyyah.
Moderasi itu juga terlihat dalam soal perbuatan manusia, yakni antara Jabariyyah dan Qadariyyah; juga di antara Murji’ah dan Wa’idiyyah (Mu’tazilah). Dalam soal keimanan, wasathiyyah terlihat di antara posisi Haruriyyah (Khawarij) dan Mu’tazilah, dan antara Murji’ah dan Jahamiyyah. Demikian juga, dalam soal penilaian terhadap para sahabat yang terlibat dalam perang saudara, moderasi berada pada posisi di antara Rafidlah (Syi’ah) dan Khawarij.
Wasathiyyah (moderasi) ini juga sesungguhnya, kata Ibn Taymiyyah, menjadi posisi Islam di antara agama-agama di dunia ini. Pendapat Ibn Taymiyyah di atas dipaparkan dalam kitab al-’Aqidah al-Wasithiyyah ketika membahas posisi Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah di antara aliran-aliran yang berkembang di kalangan umat Islam.
***
Muhammadiyah meletakkan pemikiran moderasi dalam semua aspek baik teologis, sosial, ekonomi, budaya, pengetahuan hingga soal politik. Cara ini ditempuh sebagai ikhtiar bahwa Islam harus tetap hadir di tengah kehidupan dan menjadi bagian prinsipal. Bukan lawan tanding yang saling mengalahkan. Muhammadiyah mengambil ‘jalan tengahan’ (al wasath) untuk mendistorsi pikiran ekstrim yang merusak dan merugikan.