Mohammad Hatta adalah salah satu figur politik paling kompleks dan elegan dalam sejarah Indonesia. Ia bukan sekadar proklamator, bukan pula sekadar teknokrat cerdas, tetapi seorang intelektual-politisi-negarawan yang memadukan dengan harmonis relijiusitas yang teduh, intelektualitas yang jernih, dan komitmen demokrasi berbangsa bernegara yang tak tergoyahkan.
Dalam arsitektur kebangsaan Indonesia, Hatta menempati posisi epistemik yang unik: ia adalah politisi yang menolak politik kekuasaan; seorang Muslim yang menolak negara agama; seorang demokrat yang menolak absolutisme massa; dan seorang nasionalis yang menolak chauvinisme. Kejernihan moral Hatta tidak hanya tercermin dalam gagasan, tetapi juga dalam asketisme hidup dan integritas pribadi yang menjadi legenda dalam tradisi politik Indonesia.
Artikel ini mengkaji secara kritis pandangan-pandangan fundamental Hatta dalam spektrum nasionalisme, Islam, demokrasi, partai politik, pembangunan, hingga sikap tegasnya terhadap konsep Nasakom, serta alasan kenapa ia mundur dari jabatan Wakil Presiden Republik Indonesia. Sebagai disclaimer, ketika saya menulis tentangnya dengan diksi politisi, tidak ada niatan secuilpun untuk mengungkit masa lalu yang dramatis dan menegangkan dalam relasi politik paska kemerdekaan antara dwi tunggal dalam konteks berbangsa dan bernegara.
Namun, melalui tinjauan ini, saya hanya ingin menampilkan sosok politisi dan pemimpin bangsa yang patut dicontoh. Sebab, dalam pandangan saya, Hatta bukan sekadar pemikir politik, tetapi seorang arsitek moral bangsa yang berusaha menjaga agar republik ini tetap berada di jalur rasionalitas, keadilan, dan keadaban publik. Suatu nilai berpolitik bernegara berbangsa yang sangat kita butuhkan saat ini.
Riwayat Intelektual dan Pemikiran
Riwayat intelektual Hatta dibentuk oleh pergulatan panjang dengan tradisi modernitas Eropa, aktivisme pergerakan nasional, serta internalisasi nilai keislaman Minangkabau. Pendidikan di Handels Hoogeschool Rotterdam bukan saja mempertemukannya dengan teori ekonomi koperasi, tetapi juga pemikiran demokrasi sosial Eropa. Hatta membaca dengan disiplin karya-karya Immanuel Kant, Jacquess Rousseau, John Stuart Mill, hingga sosial-demokrat Jerman. Namun proses tersebut tidak menjadikannya imitator, melainkan seorang perumus sintesis Hegelian yang tidak sekedar wacana teoretis, namun juga praksis gerakan.
Hatta adalah intelektual yang memandang ilmu bukan sebagai alat legitimasi politik, melainkan sebagai fondasi etis tindakan. Dalam banyak tulisan, ia menegaskan bahwa politik tanpa integritas adalah sumber kerusakan. Oleh karena itu, pemikiran Hatta tidak pernah terpisah dari proyek moral: membangun manusia merdeka yang beretika. Pemikirannya tentang ekonomi kerakyatan, koperasi, maupun demokrasi adalah refleksi dari komitmen bahwa kebebasan tidak boleh dipisahkan dari tanggung jawab sosial.
Kekuatan intelektual Hatta tidak terletak pada retorika revolusioner, tetapi pada kejernihan konseptual dan keberanian moral dalam mempertahankan prinsip, meskipun ia harus berjalan sendirian. Dalam sudut pandang inilah, ia mencurahkan pandangannya tentang Kemerdekaan Bangsa dan Pembangunan.
Kemerdekaan Bangsa dan Pembangunan
Bagi Hatta, kemerdekaan bukanlah peristiwa politis semata, melainkan proses pembebasan multidimensional: pembebasan dari ketakutan, kebodohan, kemiskinan, dan ketergantungan. Kemerdekaan harus dirawat melalui pembangunan manusia yang berpengetahuan dan beretika.
Dalam bidang ekonomi, Hatta mengajukan gagasan koperasi sebagai bentuk demokrasi ekonomi yang mencegah monopoli kapital dan oligarki. Pembangunan, bagi Hatta, bukan pengumpulan kapital, melainkan penciptaan struktur sosial yang menjamin pemerataan. Ia melihat negara sebagai fasilitator, bukan penguasa pasar. Gagasannya tentang “ekonomi rakyat” menjadi fondasi normatif bagi berbagai kebijakan pembangunan nasional.
Pemikiran Hatta menunjukkan bahwa pembangunan sejati tidak dapat dilepaskan dari moralitas publik. Tanpa etika, pembangunan berubah menjadi eksploitasi; tanpa keadilan, kemajuan hanya menjadi privilese segelintir elite.
Dalam kaitan ini, sikap Hatta terhadap Nasakom (Nasionalisme–Agama–Komunisme) adalah salah satu titik paling tegas dalam sejarah politik Indonesia. Hatta menolak gagasan tersebut bukan karena kebencian ideologis, tetapi karena ia melihat ketidakmungkinan epistemologis dan bahaya moral dalam penyatuan ideologi yang saling bertentangan.
Nasionalisme dalam desain Hatta adalah nasionalisme demokratis; agama adalah sumber etika; komunisme secara doktrinal menolak agama dan demokrasi. Mempersatukan ketiganya, menurut Hatta, sama dengan memaksakan harmoni palsu dan menciptakan negara yang tunduk pada kompromi ideologis yang tidak masuk akal.
Penolakan Hatta terhadap Nasakom juga mencerminkan keberaniannya untuk tidak ikut arus dominan pada masa itu. Ia tetap mempertahankan prinsip bahwa negara harus dibangun atas dasar rasionalitas, kebebasan, dan moralitas publik—bukan atas rekayasa ideologis yang berpotensi destruktif.
Nasionalisme dan Islam
Dalam bingkai pandangan tentang Nasakom tersebut, Mohammad Hatta meyakini bahwa nasionalisme bukan sebagai kultus tanah air, melainkan sebagai kesadaran moral untuk membangun masyarakat adil dan terbuka. Dalam banyak tulisannya, ia menolak nasionalisme etnis dan eksklusif. Baginya, Indonesia tidak boleh dibangun atas dominasi satu kelompok etnis atau agama. Nasionalisme harus berpijak pada persamaan martabat manusia dan kemerdekaan sebagai hak kodrati.
Dalam relasinya dengan Islam, Hatta menegaskan posisi yang tajam: Islam adalah sumber etika publik dan inspirasi moral, tetapi negara tidak boleh menjelma menjadi teokrasi. Ia mengakui nilai transformatif Islam—keadilan, musyawarah, persaudaraan—namun menolak penggunaan agama sebagai alat politik partisan. Baginya, nilai-nilai Islam harus meresap dalam etos kepemimpinan dan tata kelola negara, bukan dalam simbolisme kekuasaan.
Pandangan ini menempatkan Hatta sebagai figur Muslim modernis yang moderat dan rasional. Ia memahami agama sebagai energi moral, bukan alat hegemoni. Inilah yang menjadikannya “intelektual-politisi-negarawan-demokrat-relijius”: seorang tokoh yang memadukan kedalaman spiritual dengan rasionalitas politik.
Hatta adalah salah satu arsitek demokrasi paling konsisten dalam sejarah republik ini. Komitmennya terhadap demokrasi tidak bersifat instrumentalis, melainkan normatif. Demokrasi adalah syarat bagi manusia untuk menjadi subjek, bukan objek sejarah. Karena itu, Hatta meyakini bahwa negara harus dibangun melalui mekanisme partisipasi, pembatasan kekuasaan (checks and balances), persamaan hak, dan penguatan etika publik.
Dalam hal ini, tentang partai politik, Mohammad Hatta mengambil posisi yang kritis. Ia mendukung keberadaan partai sebagai ekspresi pluralitas ide, tetapi mengecam praktik politik transaksional, patronase, dan kultus pemimpin. Ia menegaskan bahwa partai politik mesti menjadi sekolah demokrasi, bukan mesin kekuasaan. Dalam kritiknya pada sistem multi-partai pasca-1950, Hatta menilai bahwa fragmentasi partai telah mengurangi efektivitas pemerintahan dan sering kali mengorbankan kepentingan publik demi intrik elite.
Melalui pandangan ini terlihat bahwa Hatta menginginkan demokrasi yang berakar pada kedewasaan politik, bukan sekadar kompetisi elektoral. Demokrasi, dalam kacamata Hatta, adalah disiplin moral sebelum menjadi prosedur kekuasaan. Di sinilah komitmen dan keberaniannya berseberangan dengan pandangan demokrasi berbasis kekuasaan yang menghantarkannya pada pilihan mundur sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia. Bukan karena berseberangan dan tak lagi berkawan dengan Presiden Sukarno, sebab relasi individunya dengan Putra Sang Fajar tetap terjalin intens.
Mundur Demi Prinsip Nilai Demokrasi Konstitusional
Kemunduran Hatta pada 1956 adalah salah satu momen paling filosofis dalam sejarah politik modern Indonesia. Secara filosofis, Hatta menilai bahwa arah politik nasional bergerak menjauh dari demokrasi konstitusional menuju personalisasi kekuasaan. Demokrasi terpimpin, kultus pemimpin, dan penyusutan ruang deliberatif dianggapnya sebagai kemunduran moral negara.
Baginya, kekuasaan hanya sah jika dikendalikan hukum dan norma etis; ketika prinsip itu dilanggar, integritas pejabat publik pun dipertaruhkan. Bagi Mohammad Hatta, integritas negara harus dibangun melalui rasionalitas, bukan kompromi ideologis yang rapuh. Pengunduran diri menjadi pernyataan prinsip: bahwa ia tidak bersedia menjadi bagian dari sistem kekuasaan yang tidak tunduk pada akal moral.
Secara teknis, jabatan Wakil Presiden tidak lagi fungsional. Kewenangan administratif dipersempit, koordinasi politik diabaikan, dan relasi Presiden–Wakil Presiden tidak menunjukkan keseimbangan yang sehat. Hatta tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan strategis, menjadikannya lebih sebagai simbol ketimbang pelaksana mandat konstitusional. Tidak adanya kepastian fungsi membuat jabatan itu kehilangan legitimasi moral untuk dipertahankan. Kemundurannya adalah tindakan etis seorang politisi-negarawan yang menolak mempertahankan posisi ketika struktur kekuasaan tidak lagi memungkinkan dirinya menjalankan tugas secara bermartabat.
Penutup
Mohammad Hatta adalah figur istimewa dalam sejarah Indonesia: seorang proklamator yang menjauhi kultus heroisme; seorang politisi yang menolak ketamakan kekuasaan; seorang Muslim yang berjalan dalam kesalehan rasional; dan seorang demokrat yang memilih integritas ketimbang popularitas. Pemikirannya tetap relevan hari ini karena ia membaca politik dengan kacamata etis dan melihat bangsa sebagai proyek moral jangka panjang.
Dalam dunia politik yang sering disesaki oportunisme, ambisi pribadi, dan manipulasi simbol keagamaan, Hatta muncul sebagai teladan yang mengingatkan bahwa kemerdekaan hanya dapat dipertahankan oleh karakter; bahwa demokrasi hanya dapat hidup melalui kejujuran; dan bahwa nasionalisme hanya dapat kokoh jika berakar pada martabat manusia. Warisan Hatta yang bernilai, relevan dan patut dicontoh hingga kini adalah panggilan moral bagi bangsa ini: membangun Indonesia dengan nalar yang jernih, hati yang bersih, dan keberanian untuk menjaga integritas di tengah gelombang kekuasaan yang menyepelekan rakyat.
Editor: FI

