Pergulatan bangsa Indonesia pada masa awal kemerdekaan diisi oleh tokoh-tokoh brilian. Kita mengenal banyak nama seperti Soekarno, Moh. Hatta, hingga Moh. Yamin. Salah satu nama yang menarik untuk kembali dikenang dan dibaca adalah Mohammad Natsir, tokoh Masyumi, Perdana Menteri era Soekarno, dan pendiri DDII (Darul Da’wah Islamiyah Indonesia). Uraian-uraian yang disampaikan oleh generasi penerus yang pernah bercengkerama dengannya menjadi salah satu sumber terbaik untuk mengenangnya.
Natsir tidak hanya disegani oleh teman sejawat, tetapi juga dikagumi oleh para junior. Bagi mereka, Natsir bukan hanya tokoh Islam, melainkan tokoh bagi seluruh bangsa Indonesia. Kiprah dan kontribusinya tidak bisa dipandang remeh. Melalui usahanya yang dikenal dengan Mosi Integral, Indonesia kembali berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) setelah sebelumnya menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Berkat upaya ini, Indonesia selamat dari jurang perpecahan dan kembali menuju persatuan.
Tokoh-tokoh seperti Nurcholish Madjid (cendekiawan Muslim), Taufik Abdullah (pakar sejarah), dan Yusril Ihza Mahendra (pakar hukum tata negara) termasuk segelintir orang yang menyimpan kekaguman mendalam terhadap Natsir, sebagaimana tertuang dalam buku Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir (1996) oleh Anwar Harjono dkk.
Oleh karena itu, tulisan ini akan menguraikan pandangan ketiga tokoh tersebut tentang sosok Mohammad Natsir serta menelusuri benang merah dari kesan yang mereka sampaikan. Ketiganya cukup dekat dengan Natsir, baik secara geografis maupun ideologis. Nurcholish Madjid, atau yang akrab disapa Cak Nur, pernah dijuluki “Natsir muda” karena kiprah dan ketokohannya. Taufik Abdullah memiliki kedekatan emosional dengan Natsir karena sama-sama berasal dari Sumatra Barat. Sementara itu, Yusril dianggap sebagai “anak ideologis” Natsir, bahkan Partai Bulan Bintang (PBB) yang pernah ia pimpin merupakan kelanjutan dari perjuangan Masyumi.
Mohammad Natsir di Mata Nurcholish Madjid
Cak Nur adalah tokoh muda Islam yang dianggap dapat menjadi perpanjangan tangan Masyumi di kalangan generasi muda. Ia dijuluki “Natsir muda”, meskipun kemudian ada yang menganggapnya membelot akibat pidato kontroversialnya di Taman Ismail Marzuki. Namun, ia tetap memiliki keterikatan emosional dan kekaguman yang dalam kepada Natsir.
Baginya, Natsir adalah sosok humanis. Hal itu merupakan buah dari nilai-nilai keislaman yang dianut dan diyakininya (hlm. 57). Kata “demokrasi dan keadilan sosial” hampir selalu hadir dalam setiap pernyataan Natsir, baik secara lisan maupun tulisan (hlm. 58). Natsir berpandangan bahwa setiap manusia harus diperlakukan adil dan setara.
Natsir juga dikenal sebagai intelektual Muslim modernis yang terbuka terhadap modernitas (hlm. 59). Dalam menyikapi demokrasi, ia bersikap akomodatif dan menyandingkan konsep syura dengan demokrasi modern (hlm. 28). Ia berpandangan progresif, sebagaimana dikatakan oleh Montgomery Watt, yang mengagumi cara Natsir mempresentasikan sosok Nabi Muhammad secara modern (hlm. 28).
Mohammad Natsir di Mata Taufik Abdullah
Berbeda dengan Cak Nur, Taufik Abdullah memiliki hubungan emosional yang lebih dalam dengan Mohammad Natsir. Ia memandang Natsir sebagai manusia besar, bukan hanya karena tulisannya, tetapi juga karena tindakan-tindakan nyata yang ditorehkan dalam sejarah.
Taufik menekankan pentingnya membaca tindakan daripada sekadar teks (hlm. 24–25). Dalam kehidupannya, menurut Taufik, Natsir mengalami tiga fase: sebagai pembela agama yang berpolemik dengan orientalis, sebagai pendidik yang fokus pada pedagogi, dan sebagai komentator serta pelaku politik yang mencermati dampak peristiwa terhadap perjuangan bangsa (hlm. 25–26).
Natsir juga dikenal sebagai tokoh polemis, baik dalam politik maupun keagamaan, termasuk berpolemik dengan Soekarno dan tokoh-tokoh komunis (hlm. 25).
Mohammad Natsir di Mata Yusril Ihza Mahendra
Yusril memiliki pertautan ideologis yang kuat dengan Mohammad Natsir. Ia sering disebut sebagai anak ideologis dan pewaris perjuangan Masyumi. Natsir menjadi sumber keteladanan baginya.
Bagi Yusril, Natsir adalah sosok yang teguh prinsip, tetapi juga luwes dan terbuka pada kompromi politik. Prinsip tidak boleh ditinggalkan, tetapi kompromi tidak boleh diabaikan.
Sebagaimana Taufik, Yusril menilai Natsir sebagai tokoh polemis, terutama dalam perseteruannya dengan Soekarno. Buku Islam dan Akal Merdeka ditulis Natsir sebagai tanggapan terhadap buku Islam Sontoloyo karangan Soekarno.
Yusril juga menilai Natsir sebagai demokrat sejati. Natsir menentang demokrasi terpimpin Soekarno karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan lebih mencerminkan diktatorisme (hlm. 2).
Pendapat Saling Menguatkan
Pandangan ketiga tokoh tersebut terhadap Mohammad Natsir saling terkait dan saling menguatkan. Cak Nur dan Yusril melihatnya sebagai demokrat sejati; Taufik melihatnya sebagai manusia besar karena tindakan-tindakannya. Ketiganya sepakat bahwa Natsir adalah tokoh polemis, tetapi polemiknya adalah bentuk seruan moral terhadap penyimpangan.
Melalui pesona tindakan-tindakan Natsir dalam sejarah, generasi masa kini harus memetik pelajaran, agar memiliki kompas moral dan tidak mudah tergiring oleh arus zaman. Nilai-nilai integritas, keberanian berpikir, dan kesetiaan pada prinsip yang ditunjukkan Natsir tetap relevan di tengah tantangan zaman yang kian kompleks. Sosoknya mengajarkan bahwa menjadi cerdas saja tidak cukup, tetapi harus dibarengi dengan kebijaksanaan dan keberpihakan pada kebenaran.
Editor: Assalimi

