Pada abad ke-20, Minangkabau dikenal dengan daerah pelopor gerakan pembaruan Islam di Indonesia. Minangkabau banyak melahirkan tokoh besar nasional, baik segi intelektual, politik, ataupun keagamaan. Salah satu di antaranya ialah Mohammad Natsir. Ia adalah seorang pemimpin Partai Masyumi (Partai Syuro Muslimin Indonesia), pejuang kemerdekaan Indonesia sekaligus seorang revolusioner muslim yang intelek.
Penentangan-penentangannya yang didominasi oleh Masyumi (Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia) terhadap penyelewengan politik pemerintahan di bawah pimpinan Soekarno terhadap Undang-Undang Dasar 1945 saat itu telah memasukkan Natsir ke dalam jeruji besi (Wajah Nasional, 132).
Namun, kesadarannya akan keadaan pendidikan di Indonesia masa itu telah memberikan teladan tersendiri bagi Republik. Mohammad Natsir rela tidak melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi (kuliah), dan memilih mengajar agama Islam di sekolah MULO Javastraat Bandung dan sekolah guru Gunung Sahari di Lembang (Ris’an Rusli, Pemikiran Teologi Islam Modern, 2018: 153).
Semua dilakukan bukan tanpa alasan, Mohammad Natsir sadar akan keadaan sekolah umum yang belum mengajarkan agama. Sampai pada titik ia mendirikan lembaga pendidikan Islam (Pendis), suatu sistem kurikulum yang menjembatani pendidikan pesantren dengan pendidikan umum (Yusuf A. Puar, 70: 20).
Ia wafat pada usia 85 tahun di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta pada 14 Sya’ban atau 6 Februari 1993 setelah ia menderita sakit asma, penyumbatan saluran kencing, dan penyakit komplikasi bronchitis (Lukman Hakiem, 1993: 114).
Wewenang Akal Menurut Mohammad Natsir
Setelah menelaah sekilas perjalanan hidup dan mengenal sosok Mohammad Natsir, selanjutnya secara khusus akan dikemukakan terkait wewenang akal menurut pemikiran kalamnya.
Mohammad Natsir meyakini bahwa akal manusia dapat mengetahui 4 masalah pokok (mengetahui Tuhan, kewajiban berterima kasih kepada-Nya, mengetahui baik dan buruk, serta mengetahui kehidupan akhirat seusai hidup di dunia) sebelum wahyu diturunkan, bahkan sebelum seorang rasul diutus.
Bagi Mohammad Natsir, akal bukanlah otak, melainkan daya berpikir yang termuat dalam jiwa manusia. Karunia Illahi yang hanya diberikan kepada manusia dan akal yang memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam semesta. Pengertian akal dalam Islam, kontras dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia (Tuhan).
Mohammad Natsir menegaskan bahwa bila manusia mau memperhatikan dengan saksama, mereka akan melihat dan mengetahui bahwa alam semesta. Bahkan, pada diri manusia itu sendiri (jasmani rohani) berlaku aturan-aturan “Ayatullah”, bukti-bukti yang menunjukkan adanya yang Maha Khalik.
Dari pernyataan di atas, tampak jelas bahwa akal manusia mampu mengetahui Tuhan melalui perenungan-perenungan. Ia memberi contoh bahwa Einstein yang terkenal dengan anti Tuhan pun pada akhirnya mengakui adanya Tuhan dengan teori relativitasnya (Rus’an Rusli, Pemikiran Teologi Islam Modern, 2018:162).
Bersyukur Adalah Kewajiban Logis
Di samping itu, Mohammad Natsir juga mengemukakan bahwa kewajiban bersyukur kepada Tuhan merupakan kewajiban yang logis. Baginya, kewajiban tersebut merupakan produk dari perenungan yang mendalam dari segala nikmat yang Tuhan berikan. Natsir berkumandang bahwa “Aikru al-ni’mah membawa kita kepada tafakkur fi al-ni’mah, (dengan tadabbur) yang mendalam.” (M. Natsir, 1991:18).
Dengan demikian, dalam masalah berterima kasih terhadap Tuhan, terlihat bahwa pendapat Nastir tidak sejalan dengan pemikiran Asy’ariyah. Sebagaimana pandangan Asy’ariyah, di mana akal dengan kekuatannya tidak mampu untuk mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan. Persamaannya hanya pada kuasa wahyu sebagai perinci kewajiban-kewajiban tersebut.
Pada kesempatan selanjutnya, ia menyatakan bahwa dlamir (hati nurani) mampu membedakan antara buruk dan baik, antara original dengan toxic. Hati nurani merupakan panca indra keenam yang dengan halus nan tajam bisa membedakan mana yang halal dan mana yang haram.
Menurutnya, manusia yang bisa menentukan di antara dua hal yang berlawanan ialah orang-orang yang benar-benar telah mengetahuinya terlebih dahulu. Natsir berkumandang kesekian kalinya bahwa perbuatan manusia yang menjauhi dari segala yang rusak, disebabkan akal yang tahu bahwa Khalik tidak meridai hal yang demikian (M. Natsir, Fiqhuad Da’wah, h. 23).
Natsir juga menekankan pada aspek kesalehan sosial, adapun situasi seseorang berbuat baik dan menghindari yang buruk. Boleh dibilang sebagian dari kehidupan manusia sebagai makhluk ijtima’i diatur oleh persetujuan-persetujuan oleh masyarakat pada umumnya. Akal mampu mengetahui akan janji atau kesepakatan untuk dilanggar dan diingkari, adalah hal buruk dan menepatinya adalah hal baik. Tetapi tetap wahyu lah yang berperan dalam mewajibkan hal tersebut.
Mengetahui Hakikat Tujuan Kehidupan Menggunakan Akal
Beranjak pada pernyataan tersebut, Natsir berpendapat, manusia dengan akalnya dapat mengetahui hakikat tujuan kehidupan. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa bagi Natsir, akal dengan kemampuannya dapat mengetahui hidup dan mati serta kehidupan setelah di dunia (akhirat).
Dibutuhkan adanya perbandingan terkait wewenang yang diberikan Natsir kepada akal dengan aliran teologi Islam yang lain terkait keempat persoalan tersebut. Di antaranya aliran Mu’tazilah dan Maturidiah Samarkand sebagai aliran kalam yang memberikan daya kuat terhadap akal, serta aliran kalam Asy’ariyah dan Maturidiah Bukhara selaku paham yang memberikan daya lemah kepada akal.
Di sini, Mu’tazilah berpendapat bahwa hanya ada satu yang tidak dapat diketahui oleh akal dari keempat pokok persoalan di atas, yakni kehidupan setelah di dunia (akhirat). Selain dari pada itu, akal mampu untuk mengetahuinya. Berbeda dengan aliran Asy’ariyah yang menyatakan bahwa akal hanya dapat mengetahui satu dari keempat persoalan tersebut, yakni mengetahui adanya sang Khalik (Al- Syahrastani, Al-Milad, 42).
Sembari aliran Maturidiah Samarkand memberikan jawaban yang lain terkait keempat persoalan di atas, kewajiban berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat yang hanya tidak diketahui oleh akal. Adapun paham Maturidiah Bukhara tidak sepaham dengan Samarkand. Bagi Bukhara, hanya dua dari keempat masalah di atas, yaitu adanya kebaikan dan kejahatan serta adanya Tuhan (Harun Nasution, Akal dan Wahyu, 77).
Akal Mengetahui Kehidupan Akhirat
Kentara jelas perbandingan aliran-aliran kalam di atas mengenai keempat pokok persoalan tersebut. Jika kiranya perlu membuat hipotesa yang sifatnya hanya sementara, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa Maturidiah Bukhara hanya memberi nilai 2 (dua) kepada akal dan Asy’ariyah hanya memberi nilai 1 (satu). Sedangkan, Mu’tazilah dan Samarkand memberikan kedudukan terkuat atas kuasa akal, dengan memberikan angka 4 dari aliran Mu’tazilah dan 3 dari Maturidiah Samarkand.
Dengan demikian, wewenang yang diberikan Natsir kepada akal dengan yang diberikan aliran teologi Islam yang lain nyaris ada persamaan terkait pemikiran Natsir dengan Mu’tazilah dan Samarkand, dengan mengatakan hampir ada persamaan. Artinya, tidak persis sama.
Sebab bagi Natsir, akal tidak hanya mengetahui 3 masalah tersebut. Namun, akal juga mengetahui akan adanya kehidupan akhirat, dan bila dikaji lebih mendalam, sangatlah jelas bahwa Natsir satu langkah lebih maju dibanding kedua aliran kalam rasional tersebut. Karena kedua aliran tersebut tidak meyakini akan kekuatan akal yang mampu mengetahui kehidupan akhirat seusai kehidupan di dunia.
Editor: Lely N