Oleh: Mohammad Roem
Pembelaan kepada Bapak Kasman masih dapat diselenggarakan oleh tim pembela. Kesudahannya, Bapak Kasman dijatuhi hukuman, tapi ia naik banding. Keputusan banding saya tidak dapat mengikuti atau mengalami. Perkara tentang pembubaran Masyumi, juga tidak saya ikuti sampai akhir. Karena dari tanggal 16 Januari 1962 saya dimasukkan penjara sebagai tahanan politik sampai 4 tahun 4 bulan. Sesudah keluar dari tahanan, maka saya pergi keluar negeri selama satu tahun untuk mengumpulkan bahan-bahan bagi penulisan sejarah. Ketika terpilih sebagai ketua umum Partai Muslimin, pemerintah merasa keberatan.
Muktamar Partai Muslimin
Sesudah lima tahun empat bulan absen, yang dalam waktu itu saya hanya dapat mengikuti perkembangan dari jauh, maka pada Muktamar Partai Muslimin di Malang 1968 saya diangkat dengan suara bulat sebagai ketua umum. Menurut pengetahuan saya sebagai sarjana hukum, hal yang demikian itu boleh dan suatu hal yang biasa sekali. Menurut keterangan yang saya terima dari kawan-kawan, memang ada keterangan yang mereka dapat bahwa muktamar itu bebas memilih siapa saja. Ternyata bahwa pemerintah berkeberatan saya dipilih menjadi ketua Partai Muslimin.
Kembali ke muktamar menuju Jakarta, saya perlukan mampir di beberapa tempat untuk bertemu dengan kawan-kawan yang sudah saya kangenin (rindukan). Karena kira-kira enam tahun kami tidak bertemu. Saya mampir di Yogyakarta dan bertemu antara lain dengan Haji Hasyim. Bagi saya, Haji Hasyim mempunyai tempat khusus. Ia adalah salah seorang yang memberi pelajaran yang pertama kepada saya dalam hal Islam. Ia salah seorang PB JIB, dalam susunan yang pertama.
Percakapan dengan Haji Hasyim menyangkut kepemimpinan Partai Muslimin. Tidak menjadi soal lagi, bahwa ia mempunyai pendapat yang sama dengan saya. Tapi ada soal baru yang muncul sesudah Muktamar Partai Muslimin, yang dalam Muktamar tidak keluar sama sekali. Saya mendengar hal itu sesudah muktamar dan Haji Hasyim juga mendengar.
Soalnya ialah, bahwa saya sebenarnya tidak boleh dipilih menjadi ketua Partai Muslimin, karena saya bukan anggota dari salah satu ormas yang menyusun Partai Muslimin. Dikatakan bahwa Partai Muslimin sifatnya federatif, berasal dari Amal Muslimin yang juga bersifat federatif. Pengurus besar yang digantinya dalam muktamar sifatnya juga federatif. Karena saya hanya anggota Masyumi saja, maka sebenarnya saya tidak boleh dipilih. Saya harus menjadi anggota salah satu ormas dulu.
Masuk Muhammadiyah Karena Partai Muslimin
Pada saat itu, dengan sambil lalu dan senyum Haji Hasyim berkata: “Saudara Roem menjadi anggota Muhammadiyah. Tidak ada Muhammadiyah yang menggerutu. Kan tidak ada sesuatu dari Muhammadiyah yang saudara berkeberatan.” Pada saat itu, saya tidak dapat mengeluarkan suatu perkataan pun. Tidak ada sesuatu dari Muhammadiyah yang saya berkeberatan. Kalau ada perbedaan, maka hal itu mengenai khilafiah, yang ada tempatnya di Muhammadiyah.
Saya ingat memang belum pernah sejak semula terpikir untuk menjadi anggota Muhammadiyah, atau tidak pernah terpikir ada sesuatu yang merintangi saya menjadi anggota Muhammadiyah. Waktu saya, semata-mata agar tidak diam saja, mengatakan: “Apa tidak terlambat? Saya sudah umur 60 tahun. Mestinya kalau menjadi anggota Muhammadiyah dari dulu-dulu, maka Haji Hasyim membuat saya bungkam lagi dengan pepatah Belanda: “Beter laat dan niet” (Lebih baik terlambat dari pada tidak). Kemudian saya berkata: “andaikata saya masuk menjadi anggota Muhammadiyah, tidak ada orang yang akan mengherankan. Sejak Masyumi didirikan pada tanggal 7 November 1945, sampai dibubarkan pada tanggal 17 Agustus 1960, dalam Masyumi, malah dalam Pimpina Pusat Masyumi saya bekerjasama akrab dengan gembong Muhammadiyah, seperti Kiai Faqih Usman, saudara Yunan Nasution, Zainal Abidin Ahmad, dan Hasan Basri.
Tapi ada sesuatu hal yang saya rasakan tidak begitu indah. Saya masuk Muhammadiyah tidak untuk Muhammadiyah, tapi untuk menghilangkan keberatan orang karena saya menjadi Ketua Umum Partai Muslimin, sedang kita tahu keberatan itu dikemukakan tidak dengan alasan yang kuat. Dan saya ingat juga, baik pun Haji Hasyim maupun siapa saja tidak pernah dari dulu sampai sekarang minta atau mengajukan saya untuk menjadi anggota Muhammadiyah.
Di tahun 1933, waktu saya masuk PSII, suatu tindakan yang penting bagi orang muda adalah karena keyakinan, tidak dengan diminta oleh Haji Agus Salim yang saya bertemu hampir saban hari. Atau oleh Pak Tjokroaminoto, Sangaji atau siapapun, juga Haji Hasyim dan Kasman belum pernah meminta agar saya menjadi anggota Muhammadiyah.
Sumber: “Mengikuti Jejak Kyai Ahmad Dahlan” karya Mohammad Roem (Sm no 1/Januari 1981). Pemuatan kembali di www.ibtimes.id lewat penyuntingan
Editor: Arif