Inspiring

Mohammad Roem (3): Lahir di Parakan, Tumbuh Besar di Pekalongan

3 Mins read

Oleh: Mohammad Roem

Meskipun saya dilahirkan di Parakan dan sekolah dasar selama 3 tahun di HIS Temanggung, ternyata sesudah pindah ke Pekalongan terus menetap di sana, sampai tamat HIS. Ayah meninggal dunia tahun 1920. Dan kalau tadinya mungkin di Pekalongan hanya untuk sementara, sesudah ayah meninggal menjadi tempat kedua tempat saya menempuh pendidikan dasar. Maka terkenal juga saya sebagai anak Pekalongan.

Anak Pekalongan

Saya datang dari Parakan ke Pekalongan sebagai anak berumur 12 tahun. Keluarga yang ada orang dewasa, karena saya anak Lurah memakai bahasa kromo dengan saya. Meskipun menurut kebiasaan orang Parakan anak-anak berbahasa kromo dengan orang-tuanya, ayah dan ibu saya membiasakan anak-anaknya berbahasa ngoko kepadanya. Di rumah sendiri rupa-rupanya ayah memakai kebiasaan yang berbeda.

Berkat hidup dalam lingkungan yang demikian, pada umur 11 tahun saya sudah cukup mengerti bahasa Jawa, ngoko dan kromo, dan seluk-beluknya. Meskipun dengan orang tua bahasa ngoko, tapi “ayah makan” harus dikatakan “bapak dahar”, “ayah tidur” mesti “bapak sare.” Dan tidak boleh membuat kesalahan: “saya tidur” menjadi “kulo sare” atau “saya makan” menjadi “kulo dahar.”

Waktu datang di Pekalongan saya heran, bahwa orang setempat tidak tahu memakai bahasa Jawa sebagaimana mestinya. Anak di kampung tempat kami tinggal berbahasa ngoko saja dengan orang-tuanya dan dengan siapa saja. Hanya dalam keadaan yang khusus mereka berbahasa kromo. Kalau mereka berbahasa kromo dengan orang tua atau dengan pembesar, mereka tidak dapat mendudukkan bahasa dengan wajar.

Bahasa Anti Feodal

Rakyat Pekalongan kalau berbahasa kromo akan bilang: “kulo dahar” untuk “saya makan,” “saya tidur” menjadi “kulo sare,” malah kalau ia mengajak orang untuk ikut ia bilang “monggo nderek kulo.” Dalam bahasa Jawa, kesalahan demikian itu termasuk kesalahan besar. Menempatkan dirinya di tempat orang tua, tempat pembesar dan sebagainya. Dengan ukuran orang Parakan, orang Pekalongan tidak tahu “tata-krama” dan tidak tahu “ unggah-ungguh.”

Baca Juga  Wajah Moderasi Beragama di Desa Karangsari, Pekalongan

Kakak-kakak saya yang sudah beberapa tahun tinggal di Pekalongan rupanya sudah biasa hidup dengan orang yang tidak tata-krama. Hubungan mereka dengan orang setempat akrab. Kami tinggal di Kampung Denpowangsan, kampung orang yang berada. Rumah-rumah tembok, hampir semua sudah haji, hanya keluarga kami yang belum haji.

Meskipun semula tidak merasa senang, lambat-laun saya biasa juga hidup di kampung yang berlainan sekali dengan kampung di Parakan. Semakin saya bertambah umur, semakin saya dapat menikmati hidup di tengah-tengah mereka. Akrab, malah semakin mengerti dan semakin dapat menghargai.

Orang Pekalongan tidak tahu berbahasa Jawa menurut unggah-ungguh, tidak karena kebodohan, tapi karena tidak dapat menerima unsur-unsur kefeodalan dari bahasa itu. Di sekolah saya mempunyai teman-teman dari kalangan penduduk setempat yang dapat memasukkan anaknya ke HIS. Biasanya, orang kampung yang berada malah kaya. Mereka dapat menerima ajaran bahasa Jawa sesuai dengan “aturan permainannya” dan tidak membuat kesalahan. Akan tetapi kalau memakai bahasa Jawa yang masih feodal itu.

Di sekolah ajaran bahasa Jawa itu disertai contoh-contoh agar memudahkan pemakainya. Umpamanya, yang “dahar” (makanan) dan “sare” (tidur) itu ayah dan nDoro Bupati. Sekarang kita sudah maju, dan menyebut “Bapat Bupati dahar atau sare.” Tetapi orang Pekalongan akan membantah, kalau “Bapak Bupati dahar atau sare,” mengapa saya tidak boleh dahar atau sare. Lambat-laun saya pun, lebih-lebih sesudah dewasa, dapat menghargai sikap hidup itu.

“Wong Jowo” dan “Piyayi”

Orang Pekalongan membedakan antara “wong Jowo” dan “piyayi” (priyayi, tapi diucapkan tanpa huruf r). Pegawai negeri “wong Jowo.” Perbedaan itu dalam hidup sehari-hari memang ada, tapi ada kecualinnya, meskipun hukum dan agama tidak membedakannya. Pakaian orang Pekalongan, terutama golongan pedagang mempunyai ciri khas. Mereka memakai sarung, jas, dan kopiah (peci). Pegawai negeri diperbolehkan ke kantor memakai celana atau kain panjang. Tidak ada pegawai negeri pergi kekantor memakai sarung.

Baca Juga  Al Jahiz: Ulama yang Berpikir Kritis dan Skeptis

Kain yang dipakai orang Pekalongan ada yang lebih mahal dari kain panjang. Tapi hal itu dipandang kurang patut dan dilarang oleh pemerintah kolonial. Malah anak HIS dan lanjutan tidak diperkenankan memakai sarung ke sekolah. Kalau tidak memakai celana pendek, mesti pakai kain panjang.

Itulah yang mempunyai isi juga pada perbedaan antara “wong Jowo” dan “piyayi.” Di luar kantor dan sekolah “piyayi” bebas memakai sarung dan peci. Tapi jarang “wong Jowo” Pekalongan memakai kain panjang, mereka akan malu dikatakan “seperti piyayi.”

Dalam membedakan antara “wong Jowo” dan “piyayi,” maka orang Pekalongan membuat ciri-ciri untuk golongan “piyayi.” Ciri-ciri ini diucapkan setengah kelekar dan setengah sungguh, yang menurut pengamatan saya tidak terlepas dari kebenaran. Kata orang Pekalongan dalam nada itu “Piyayi itu tidak sembah yang tidak punya uang.” Gaji pegawai negeri dilihat dengan mata orang Pekalongan waktu itu memang minimal dan memang suatu kenyataan, bahwa golongan pegawai negeri tidak terkenal rajin sembahyang.

Industri Batik di Pekalongan

Pekalongan di waktu itu masih memegang monopoli pembikinan batik. Batik “sarung corak Pekalongan” belum dibikin di lain-lain tempat seperti di Tanah Abang. Dan sarung banyak dipakai oleh daerah luar Jawa. Pembatikan itu memberi kemakmuran yang besar kepada rakyat Pekalongan, dan memberi corak kepada penghidupan sehari-hari.

Rakyat Pekalongan di luar ikatan resmi, mempunyai hari libur, tidak hari Ahad melainkan hari Jumat. Para buruh batik dan lain-lain penghasilan batik mendapat bayarannya sepekan sekali, tidak pada hari Sabtu sore, melainkan Kamis sore. Karena itu, hari Jumat kota Pekalongan lebih ramai, karena para karyawan pada berbelanja. Tiap malam Jumat Kliwon alun-alun Pekalongan seperti ada pasar malam. Jumat Kliwon mempunyai arti tersendiri.

Baca Juga  Kisah “Kumbang Kecil” dari Dlamrah

Kebiasaan itu pengaruh dari agama Islam, yang di pesisir utara pulau Jawa lebih kuat lain-lain daerah. Rakyat Pekalongan memang termasuk yang lebih rajin beribadah. Tiap tahun jumlah orang yang naik haji lebih dari lain-lain daerah. Berkat keadaan ekonomi yang baik sebagai hasil dari perusahaan batik.

Sumber: “Mengikuti Jejak Kyai Ahmad Dahlan” karya Mohammad Roem (Sm no 2/Januari 1981). Pemuatan kembali di www.ibtimes.id lewat penyuntingan

Editor: Arif

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Inspiring

Imam Al-Laits bin Saad, Ulama Besar Mesir Pencetus Mazhab Laitsy

3 Mins read
Di zaman sekarang, umat Islam Sunni mengenal bahwa ada 4 mazhab besar fiqh, yang dinisbahkan kepada 4 imam besar. Tetapi dalam sejarahnya,…
Inspiring

Ibnu Tumart, Sang Pendiri Al-Muwahhidun

4 Mins read
Wilayah Maghreb merupakan salah satu bagian Dar al-Islam (Dunia Islam) sejak era Kekhalifahan Umayyah. Kebanyakan orang mengenal nama-nama seperti Ibnu Rusyd, Ibnu…
Inspiring

Kenal Dekat dengan Abdul Mu'ti: Begawan Pendidikan Indonesia yang Jadi Menteri Dikdasmen Prabowo

3 Mins read
Abdul Mu’ti merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds