Mohammed Arkoun (1928-2010) lahir di Al-Jazair dan merupakan tokoh yang banyak menuliskan tentang toleransi, pemikiran-pemikiran Islam, Islam dan negara dan tentang Al-Qur’an. Arkoun berusaha mengakui bahwa dalam tradisi Islam terdapat elemen yang ekslusif-intoleran sekaligus inklusif-toleran.
Banyak sekali elemen-elemen intoleran dan hanya sedikit sekali ulama elit yang mengenal konsep toleransi yang sejajar dengan konsep toleransi modern. Arkoun menegaskan bahwa konsep toleransi modern baru dikenal dalam tradisi Islam pada abad ke-19. Dengan demikian toleransi merupakan konsep yang baru dalam sejarah Islam.
Toleransi dan intoleransi merupakan fenomena yang dapat dicermati secara langsung di dalam realitas kehidupan umat Islam. Namun, sejauh ini belum ada kitab-kitab kuno yang menjelakan konsep toleransi dan intoleransi secara eksplisit dalam tradisi Islam. Di era modern pun, wacana toleransi masih menjadi isu langka di masyarakat Arab yang hingga kini masih di hegemoni oleh teologi abad pertengahan.
Toleransi masih menjadi barang asing bagi dunia Arab, sebab belum ada faktor-faktor sosiologi kultural yang mendorong masyarakatanya untuk mengimplementasikan wacana toleransi ini dalam kehidupan sehari-hari.
***
Irwan Masduqi dalam Berislam Secara Toleran: Teologi Kerukunan Umat Beragama menulis, hal inilah yang kemudian menjadi penyebab kenapa begitu banyak komunitas Yahudi, Katholik, Protestan, Ortodoks Yunani, Ortodoks Armenia dan Ortodoks Spanyol memilih meninggalkan Maroko Algeria, Tunisia, Iran dan Mesir menuju negara Barat.
Bahkan Algeria sudah tidak lagi mengakui sebagai negara yang pluralitas dan dikuasai kaum Malikiyah yang hendak akan menyingkirkan kaum minoritas ‘Ibadiyah. Beginilah realitas dunia Islam, tak terkecuali di Indonesia, di mana para pemeluk Islam masih terkungkung dalam fanatisme dan ortodoksi sehingga wacana pluralisme dan inklusivisme masih dimusuhi bahkan diteror (hlm. 48).
Irwan juga menulis, dalam membahas isu toleransi dan intoleransi, Arkoun membandingkan tradisi Islam, Yahudi, dan Kristen untuk mengukur sejauh mana sikap toleran yang ditunjukkan masing-masing tradisi dan firksi-friksi dalam tradisi internal agama-agama tersebut. Dia hendak memperluas analisis kritis-filosofisnya agar mencakup batas-batas epistemologis nalar semua agama secara umum. Semua tradisi agama menawarkan ajaran-ajaran dan semboyan-semboyan yang terbangun di atas sistem nalar tertentu.
Ajaran dan semboyan semua agama mengalami proses perjalanan sejarah yang panjang: dari periode oral (marhalah safahi) pada masa nabi-nabi hingga periode kodifikasi (marhalah tadwin) pada masa generasi penerus. Dalam artian tidak semua pada masa nabi ajaran dan semboyan dapat tertuliskan. Dalam proses perjalanan sejarah, tentu ada ajaran yang hilang, ditambahkan, diperdebatkan dan bahkan dimanipulasi (hlm.50).
Dalam melihat konteks Indonesia, Sidurrahman dan Arifinsyah dalam Nalar Kerukunan: Merawat Keragaman Bangsa Mengawal NKRI (2018) hlm 71-79, menyebut bahwa makna kemajemukan dengan tinjauan kerukunan anatarumat beragama sangat penting diurai dengan telaah masing-masing agama. Tulisan Sidurrahman dan Arifinsyah mengajak kita untuk melihat titik temu mengenai konsep kerukunan dalam sudut pandang agama-agama populer di Indonesia.
Konsep Kerukunan Hindu dan Budha
Dalam sudut pandang agama Hindu konsep kerukunan merujuk pada kitab suci Veda, dimana mengajarkan untuk menumbuhkembangkan kerukunan umat beragama, toleransi, solidaritas dan penghargaan terhadap sesama manusia dengan tidak membeda-bedakannya. Dalam ajaran kitab Veda, masalah kerukunan dijelaskan secara gamblang dalam ajaran: Tattwam asi, karma phala, dan ahimsa (hlm.71).
Dalam sudut pandang agama Buddha untuk membina kerukunan hidup beragama, umat Buddha telah memiliki pedoman yang dapat dijadikan tunutnan kehidupan harmonis yang oleh Buddha disebut enam faktor yang membawa keharmonisan (Saraniya-dhamma).
Pertama, cinta kasih diwujudkan dalam perbuatan. Kedua, cinta kasih diwujudkan dalam tutur kata. Ketiga, cinta kasih diwujudkan dalam pikiran dan pemikiran. Keempat, memberi kesempatan kepada sesama ikut menikmati apa yang diperoleh secara halal. Kelima, di depan umum atau pribadi dia menjalankan kehidupan yang bermoral, tidak berbuat sesuatu yang melukai perasaan orang. Keenam, di depan umum atau pribadi memiliki yang sama yang bersifat membebaskan dari penderitaan dan membawanya berbuat sesuai dengan pandangan tersebut, hidup harmonis tidak bertengkar karena perbedaan pandangan.
Dalam sudut pandang agama Kong Hu Cu bahwa Kong Hu Cu mengajarkan kepada umatnya ialah pemahaman dasar yang dapat membangun sebuah hidup berkerukunan adalah tidak membeda-bedakan, para anggota masyarakatnya diikat dalam pemahaman persaudaraan yang saling tenggang rasa dan tidak membebani satu sama lain.
Konsep demikian diujarkan nabi Kong Hu Cu, “di empat penjuru samudra, kita semua manusia adalah bersaudara. Dan seorang yang berperi cinta kasih itu ingin dapat tegak, maka berusaha agar orang lain pun tegak; ia ingin maju, maka berusaha agar orang lain pun maju.” Nabi Kong Hu Cu juga berpesan, “agar di rumah hendaknya berbakti, di luar rumah hendaknya rendah hati, hati-hati hingga dapat dipercaya, waktu luang digunakan untuk membaca kitab meluaskan pengetahuan (hlm 39).
Konsep Kerukunan Kristen dan Islam
Sidurrahman menulis, dalam agama Kristen memaknai sebuah kemajemukan ialah terciptanya kesatuan pelayanan bersama yang berpusat pada kasih Kristus. Kesatuan pelayanan ini didasarkan atas ketaatan dan kesetiaan kepada misi yang dipercayakan kepada umat yang satu dan yang menerima tugas yang satu dari Kristus. Inti kehidupan pengikut Kristus dalam hubunganya secara totalitas dengan Allah adalah hubungan kasih. Ini adalah hukum terutama dan yang pertama, dan dengan sesama manusia juga kasihi seperti diri sendiri (hlm 79).
Sedangkan agama Islam juga mempunyai versi dalam merajut keharmonisan di tengah majemuknya agama. Islam memberikan penjelasan-penjelasan tentang pentingnya membina hubungan baik antara Muslim dan non-Muslim, pentingnya saling menghargai, saling menghormati dan berbuat baik walaupun kepada umat yang lain.
Ada beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai asas pemberlakuan konsep kerukunan dalam Islam, antara lain: teks keagamaan Islam sangat toleran dan dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, hal tersebut dalam mendukung dan menjaga toleransi beragama di Indonesia. Toleransi menjadi komitmen teologi umat Islam di sebuah negara yang plural seperti Indonesia (hlm 75).
Sehingga jika kembali pada pandangan Arkoun mengenai toleransi terutama dalam dunia Islam terhadap dunia non-Islam. Arkoun menegaskan bahwa toleransi tidak akan terwujud di dunia Islam kecuali setelah mendekonstruksi bangunan ortodoksi teologi tradisional seperti yang pernah terjadi di Eropa modern.
Kemunculan toleransi pada tahap berikutnya akan diikuti oleh munculnya apresiasi terhadap konsep HAM, yang di dalamnya semua manusia dinilai mempunyai hak individu tanpa melihat keyakinan agama dan rasnya. Jika semua ini bisa terwujud, diskriminasi dan intoleransi dapat diminimalkan.
Namun, realitas berkata lain; dunia Islam justru gagal dalam menanam benih toleransi akibat monopoli kebenaran yang dilakukan oleh kelompok konservatif. Masing-masing agama dan sekte saling menyesatkan dan tanpa ragu bermain hakim sendiri.
Editor: Dhima Wahyu Sejati