Berbicara tentang Muhammadiyah, tentu tak akan jauh dari pendidikan. Organisasi yang sudah berumur 110 tahun ini telah banyak memberikan sumbangsih untuk bangsa. Salah satunya lewat amal usaha pendidikan yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Bahkan Rocky Gerung pernah mengatakan jika Muhammadiyah, yang sebanyak itu institusi pedagogiknya, berhenti untuk mengajar dan berhenti untuk berfikir maka IQ bangsa ini langsung tinggal 10 persen saja.
Membangun suatu peradaban pasti dimulai dari sumberdaya manusianya. Dengan SDM yang terdidik, bangsa ini akan semakin mendekati cita-cita yang diupayakan yaitu “SDM Unggul Indonesia Maju”. Maka dari itu dengan semangat teologi Al-Ma’un Muhammadiyah terus berta’awun untuk negeri, khususnya lewat jalur pendidikan.
Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah
Salah satu amal usaha pendidikan yang dimiliki oleh Muhammadiyah adalah Madrasah Mu’allimin, sekolah yang terletak di Wirobrajan, Yogyakarta ini didirikan langsung oleh KH Ahmad Dahlan pada tahun 1918 dengan nama Qismul Arqo. Kemudian seiring berjalannya waktu nama Qismul Arqo berganti menjadi Mu’allimin atau sekolah guru.
Dengan sistem boarding school atau sekolah berasrama, Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah banyak diminati oleh pendatang dari berbagai penjuru Indonesia. Tak terkecuali saya yang berasal dari salah satu kabupaten di Jawa Tengah, memilih melanjutkan di Madrasah Mu’allimin dengan harapan mulia yaitu menjadi manusia yang lebih baik sehingga berguna bagi nusa dan bangsa.
Kemudian di luar pembahasan bahwa Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah sebagai sekolah pencetak kader Muhammadiyah, menurut saya sekolah ini memiliki sisi “keunikan” yang tidak dimiliki oleh sekolah arus utama atau sekolah yang menganut kurikulum dari pemerintah. Atau boleh dikata bahwa Mu’allimin adalah sekolah alternatif. Jawaban atas kritik masyarakat terhadap sistem pendidikan yang digarap oleh pemerintah.
Pendidikan Alternatif
Dalam buku Sekolah Biasa Saja karya Toto Rahardjo, dijelaskan bahwa paling tidak ada empat unsur karakter sekolah alternatif yang membedakan dengan sekolah arus utama.
Aspek pertama yaitu filosofi yang mendasari praktik pedagogik. Umumnya sekolah alternatif menjalankan proses pendidikan dari sudut pandang yang lebih humanistik. Humanistik ini dimaksudkan bahwa Mu’allimin lebih bisa memanusiakan manusia, dan membangun manusia seutuhnya.
Walaupun kita tahu, sistem pendidikan di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah tak jauh beda dengan sekolah-sekolah pada umumnya, namun Mu’allimin bukan hanya sebatas sekolah yang menghamba pada akademik saja. Di Mu’allimin dikenal dua aspek penilain yang mendasari peserta didik dinyatakan naik tingkat atau tidaknya.
Penilaian pertama tentu dari segi akademik, anak akan dinilai dari prestasinya selama mengikuti KBM di sekolah. Kemudian yang kedua anak dinilai dari sisi sikap atau kepribadian, nah penilaian inilah yang sedikit membedakan dengan sekolah pada umumnya.
Mungkin dalam banyak kasus, anak yang kurang dalam nilai akademik namun baik secara sikap, jika mengacu pada standar pemerintah anak tersebut tetap tidak bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Namun Mu’allimin membahasakan lain, bahwa perihal sikap tidak bisa dipisahkan dengan urusan akademik, karena fakta di lapangan anak dengan sikap yang baik akan lebih dihargai ketimbang anak yang hanya pintar akademik saja tanpa memiliki sikap yang baik.
Ruang untuk Siswa
Pertanyaanya, bukankah selama ini dalam kurikulum pemerintah juga dikenal dua aspek penilaian yaitu sikap dan akademik? Iya memang, namun menurut saya penilaian sikap tidak bisa hanya sebatas pantauan ketika anak berada di dalam lingkungan sekolah saja, namun harus komperhensif meliputi keseharian anak mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Itu lah yang di terapkan di Mu’allimin.
Dengan adanya pembimbing yang berada di asrama, anak akan terpantau selama dua puluh empat jam. Penilaian dari pembimbing asrama ini yang nantinya akan menjadi pertimbangan penilaian sikap anak tersebut.
Kedua, berorientasi pada anak. Sekolah semacam ini berusaha membangun proses pendidikan, yang menghargai peserta belajar sebagai individu yang sedang bertumbuh dalam lingkup alaminya. Jadi anak diperlakukan sesuai perkembangan fisik dan psikologinya. Dalam hal ini Mu’allimin adalah sekolah yang ramah untuk kembang tumbung anak sesuai dengan usianya.
Kemudian hampir semua soft skill bisa dipelajari di Mu’allimin, dari yang bersifat kepemimpinan, seni, olahraga, wirausaha, pun ketrampilan bertahan hidup di kala akhir bulan saat uang jajan sedang limit. Selain itu juga rasa kekeluargaan yang terbangun di antara anak-anak akan lebih erat dan terjalin sampai mereka meninggalkan Mu’allimin, karena mereka hidup bersama selama dua puluh empat jam. Dan sejatinya pendidikan adalah membentuk manusia lebih dewasa dan cakap dalam menyelesaikan permasalahan hidup.
Ciri yang ketiga adalah pendekatan holistik dalam proses pembelajaran. Istilah Holistik muncul dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional no 41 tahun 2007 tentang standar proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Dalam peraturan tersebut, holistik didefinisikan sebagai cara memandang segala sesuatu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan bagian lain yang lebih luas.
Kemudian dalam Islam, holistik dapat diwakili dengan istilah kaffah. Seperti termaktub dalam surah Al-Baqarah ayat 208 “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan”. Bentuk keseluruhan tersebut menurut Ibnu Thufail merupakan ketiga aspek fundamental dalam pendidikan yaitu ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Ketiganya merupakan syarat utama untuk tercapainya tujuan pendidikan yaitu mewujudkan manusia seutuhnya sehingga mampu menyeimbangkan kehidupan vertikan dan horizontal.
Kultur Demokratis
Mu’allimin memberikan ruang pada anak untuk menemukan jati dirinya dalam wadah organisasi. Seperti misal ortom yang berada di lingkup sekolah atau ortom yang berada di luar lingkungan sekolah. Dengan keaktifan anak di organisasi akan mendorong mereka untuk mengkontekstualkan ilmu yang didapat ke dalam kehidupan sehari-hari.
Terakhir terjalin hubungan yang demokratis antara guru dengan murid. Dalam hal ini budaya kritis sudah terbangun di lingkungan Muhammadiyah, begitu pula di Mu’allimin. Walapun guru sebagai sosok yang serba tahu namun guru tidak menutup diri untuk dikritik.
Berbeda dengan kultur pesatren tradisional yang pada umunya santri terlalu ta’dzim terhadap sosok guru atau ustadznya sehingga menimbulkan budaya yang antikritik. Menurut Syarifuddin dalam bukunya Liberalisasi Pendidikan Pesantren, pola pendidikan pesantren tradisional menempatkan santri sebagai murid, abdi dan kawula. Pola ini dikenal dengan terminologi talmadzah yang menggambarkan dominasi aktivitas guru dan tuntutan santri untuk bersikap pasif.
Dari keempat karakter ini memang secara eksplisit mengarah pada Sekolah Alam milik pasangan suami istri Toto Raharjdo dan Sri Wahaningsing. Yaitu sistem pendidikan yang “melawan” arus utama kurikulum milik pemerintah. Membebaskan anak dari pelajaran formal dan memberikan ruang pada anak untuk belajar sesuai minat dan bakatnya melaui alam atau lingkungan.
Kemudian apakah Mu’allimin secara saklek melawan arus kurikulum pemerintah? Jawabannya tentu tidak, Mu’allimin menyesuaikan dengan kultur masyarakat perkotaan dan berupaya membangun sistem pendidikan yang memerdekakan sesuai dengan nilai-nilai dalam Islam.
Editor: Nabhan