Menteri Koordinasi Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) RI Muhadjir Effendy hadir pada Pembukaan Kolokium Interdisipliner Cendekiawan Muda Muhammadiyah di Malang, Jawa Timur. Agenda yang berlangsung pada 6-7 Maret 2020 ini diikuti oleh kader-kader intelektual muda dan penggiat literasi Muhammadiyah dari berbagai daerah.
Muhadjir di awal pidatonya membicarakan kegelisahannya tentang kader Muhammadiyah yang banyak bergelut di dunia perpolitikan. Karena itu dirinya merasa bangga dengan kader-kader yang hadir, karena masih memiliki ghirah–semangat untuk memelihara tradisi intelektual.
Ketimpangan Anak Muda
Salah satu problem anak muda Indonesia dalah ketimpangan dalam wacana, akibat dari adanya ketimpangan struktural dan kultural. Sama halnya dengan keimiskinan, di mana kemiskinan intelektual berbanding lurus dengan kemiskinan yang lain. “Ada yang kecerdasannya sangat canggih, bisa berpikir 40 tahun yang akan datang. Ada yang sebaliknya, mikir besok saja tidak tahu” singgung Muhadjir.
Menurut Muhadjir, ketimpangan pertama yang dimaksud adalah ketimpangan struktural, yaitu peran di ruang publik. Ketimpangan selanjutnya adalah ketimpangan secara spasial karena letak geografis, khususnya ketimpangan anak muda kota dan bukan kota.
Setelah itu, Muhadjir menyinggung tentang “pencerahan Muhammadiyah”. Ia bertanya, siapakah sebenarnya yang dicerahkan oleh Muhammadiyah? Apakah diri Muhammadiyah sendiri, atau anak-anak muda Muhammadiyah saja, atau telah melakukan trobosan di aneka spektrum kelompok? Sang pencerah itu mencerahkan siapa? “Jangan sampai kita merasa mecerahkan tetapi orang lain tidak menganggap kita” singggung Muhadjir.
Menurut Muhadjir, Muhammadiyah katanya gudang intelektual, tetapi kenyataannya mustru mereka yang katanya “tradisionalis” justru malah banyak memproduksi tulisan yang mencerahkan. Jangan sampai kita salah berkaca, salah membaca diri sendiri. Saya kira intelektual muda Muhammadiyah harus melakukan reformasi secara radikal, salah satunya rebut peluang beasiswa.
Muhadjir pun mengajak anak muda Muhammadiyah untuk bersaing memperoleh beasiswa pendidikan, dalam hal ini LPDP. Ia menilai bahwa semakin langka kader Muhammadiyah manfaatkan LPDP. Sekarang ini adalah era anak muda, separuh otaknya adalah adalah dunia global, maka salah satu caranya adalah merebut LPDP. Karena itu Muhadjir mengajak anak muda Muhammadiyah untuk lebih terencana dan tersistem merebut peluang-peluang beasiswa tersebut.
Pentingnya mengejar pendidikan ini menjadi bagian agar anak muda Muhammadiyah dapat mencerahkan hingga skala global. Sehingga, anak muda Muhammadiyah tidak narsis, berkaca melihat dirinya hebat. Padahal orang lain belum tentu melihat dengan kesimpulan semacam itu.
Muhadjir sangat mendorong tradisi intelektual.
“Jika terjun di dunia intelektual itu, umurnya jauh lebih panjang. Sementara yang instan seperti menjadi petinju dan olahragawan, tidak bertahan lama. Kalau dunia intelektual, semakin tua, semakin berbobot seperti Prof Amin Abdullah” tandas Muhadjir.
Krisis Ulama Muhammadiyah
Meskipun pandangan mencerahkan semesta sangat kekinian dan berkemajuan, namun nilai-nilainya terdapat sejak era Kiai Dahlan. Kiai Dahlan mendorong keanekaragaman bidang intelektual yang terdapat dalam Muhammadiyah. Di mana cukup sebagian kecil mendalami agama, ustaz, dan kiai kemudian membimbing Muhammadiyah. Kemudian di luar para pembimbing keagamaan tersebut mencari ilmu-ilmu lain yang sangat banyak.
Menurut Muhadjir, kelangkaan ulama adalah ciri Muhammadiyah. Karena memang Muhammadiyah Muhammadiyah bukan wadah pencetak ulama. Jadi sedikit saja yang mendalami ilmu agama, tetapi yang mempelajari ilmu-ilmu lain ini justru yang harus banyak. Sebaliknya Muhammadiyah adalah wadah intelektual bagi kelompok modernis. Muhammadiyah tidak apa-apa tidak tertib mengaji, justru itu ciri khas Muhammadiyah.
“Saya tidak risau Muhammadiyah krisis kader ulama” tegas Muhadjir. Ada ruangan yang terbuka untuk siapa saja modernis (maju) harus bisa diakomodasi oleh Muhammadiyah. Kiai Dahlan mendesain Muhammadiyah sebagai organisasi modernis yang inklusif. Harus banyak influencer-influencer Muhammadiyah dan produser berbagai konten wacana di berbagai bidang keilmuan.
Muhadjir pun menyatakan diri bahwa secara pribadi dirinya tidak risau Muhammadiyah krisis kader ulama. Karena tidak semua kader Muhammadiyah harus bisa jadi kader ulama. Bahkan, “krisis ulama” penting untuk menjadi ciri khas Muhammadiyah. Yang penting Islam, modernis, berorientasi maju daripada ke belakang maka bisa bergabung ke dalam Muhammadiyah. Juga perlu lebih banyak influencer dalam Muhammadiyah, terutama anak-anak muda.
“Kita sukanya bernostalgia, Bung Karno, Soedirman dll adalah Muhammadiyah. Tetapi itu apakah benar-benar menggambarkan keperkasaan Muhammadiyah?”, tanya Muhadjir.
***
Pandangan keragaman yang disampaikan oleh Muhadjir sebenarnya tidak hanya dalam intelektualisme, melainkan Muhammadiyah secara umum. Sejak awal berdiri, Muhammadiyah adalah organisasi terbuka, merangkul beragam kalangan menjadi bagian dari Muhammadiyah. Kemudian Muhadjir memberikan contoh seperti Soeratin, Ki Hadjar Dewantara, dan Bung Karno yang tidak identik dengan Muhammadiyah. Namun, tokoh-tokoh tersebut sebenarnya adalah orang Muhammadiyah.
Keterbukaan Muhammadiyah terkorbankan dengan eksisnya Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) yang saat ini berjumlah lebih dari 160. Kelihatannya bagus, tapi ada trade-offyang harus dialami Muhammadiyah. Trade-offyang dimaksud adalah tidak terpeliharanya intelektual modernis dari Muhammadiyah di PTN atau di PTS lain.
Padahal, sebagai organisasi terbuka, ruang di PTN dan PTS harus diisi oleh Muhammadiyah. Sumber yang menghidupi Muhammadiyah itu bermacam-macam, bisa dari mana-mana. Sehingga muslim-muslim modernis harus bisa dirangkul Muhammadiyah. Muhadjir berkelakar bahwa orang-orang Islam yang tidak tertib dalam mengaji pun bisa menjadi bagian dari Muhammadiyah.
Kiai Dahlan mendesain Muhammadiyah sebagai organisasi modernis yang inklusif. Tentu untuk tujuan yang baik-baik. Untuk itu Muhammadiyah harus kembali melebarkan sayap. Agar umat Islam tidak menjauh dari Muhammadiyah disebabkan Muhammadiyah tidak mencoba merangkul umat Islam lebih luas lagi.
Muhadjir juga sempat menyinggung urgensi tentang pengelanaan. Menurutnya, semangat inklusivitas dalam Muhammadiyah perlu dibarengi dengan semangat lain yang tidak kalah penting. Semangat itu adalah semangat pengelanaan, dikenal pada Q.S. At-Taubah : 12 sebagai saa’ihun. Bagian dari orang mukmin yang diganjar surga oleh Allah SWT.
Muhammadiyah disebarkan di masa-masa awal dengan semangat pengelanaan, bahkan anak-anak Kiai Dahlan pun tidak ada yang tinggal di Indonesia. Tersebar di Malaysia, Thailand, hingga saat ini ada keturunan Kiai Dahlan di London–bertebaran di muka bumi. Semangat ini perlu dipegang oleh anak muda Muhammadiyah.
Sekarang, semangat yang ada di Muhammadiyah kebanyakan–mengutip Din Syamsuddin–merupakan semangat hinggap. Hinggap dari satu podium ke podium lain. Padahal pengelanaan yang perlu dilakukan adalah pengelanaan untuk mengenalkan dan menyebarkan Muhammadiyah di mana-mana.
Pengelanaan ini dapat dicontoh dari kader-kader Lamongan yang dikenal akan militansinya dalam menumbuhkan Muhammadiyah dan amal usahanya di mana-mana. Kader-kader Pekalongan hingga Sumatra Barat pun di masa lampau menyebarkan Muhammadiyah ke mana-mana. Justru Kauman sebagai tempat kelahiran Muhammadiyah perlu dipertanyakan terkait dengan semangat pengelanaan ini.
Reformasi Pendidikan Muhammadiyah
Menurut Muhadjir, perlu ada reformasi radikal dalam lembaga pendidikan Muhammadiyah dalam rangka menyiapkan generasi milenial. Jika Mendikbud mengeluarkan “Merdeka Belajar”, maka kita perlu merdekakan semua sekolah Muhammadiyah, kalau perlu membuat kurikulum sendiri. Misalnya AIK yang kebanyakan jam itu direformasi, karena justru yang mengena adalah pengalaman bermuhammadiyah seperti ganti dengan penugasan-penugasan observasi ke panti asuhan Muhammadiyah di lapangan.
Apa yang disampaikan Muhadjir terasa tidak mengutamakan ilmu agama. Namun Muhadjir justru menegaskan pentingnya penguasaan ilmu agama oleh anak muda Muhammadiyah oleh kader-kader ulama. Salah satu contohnya adalah menghapal Al-Quran, dahulu Al-Quran sangat penting untuk dihafalkan karena bertujuan menjaga kemurnian Al-Quran.
Saat ini, urgensi menghafal Al-Quran itu mutlak. Namun menghafal dan memahami rumus kimia, sains, teknologi, kemampuan komunikasi, tidak kalah penting. Justru mengaji dan menghafal Al-Quran tidak perlu dipertanyakan karena menjadi tanggungjawab setiap muslim.
Menutup pidatonya, Muhadjir menyampaikan bahwa masa depan berada di tangan anak muda. Begitupun generasi emas 2045 juga diisi oleh anak-anak muda saat ini. Baik di Muhammadiyah maupun Indonesia, anak muda perlu diberikan ruang, bukan sekadar janji.
Kader-kader Muhammadiyah perlu terus dipacu agar berwawasan global, mencerahkan dan mengisi generasi emas yang diharapkan di masa depan. Jangan berharap Muhammadiyah merebut peran dalam Generasi Emas Indonesia 2045 jika tidak memperhatikan tiga jalan menjadi “sang pencerah” di ranah global.
Mencerahkan di Tingkat Global
Saat ini, banyak bidang-bidang dalam kehidupan yang dapat dikuasai secara instan oleh anak muda. Namun umur penguasaan dalam bidang-bidang yang instan ini tidak panjang. Contohnya olahragawan, yang hanya bisa eksis hingga usia 30-40 tahun.
Sebaliknya, jika terjun di dunia intelektual umurnya panjang. Semakin tua, seorang intelektual akan semakin berbobot. Tidak habis oleh usia seperti bidang-bidang instan yang digandrungi anak muda. Orientasi ini pun dapat menjadi motivasi bagi anak muda Muhammadiyah untuk melakukan revolusi diri dalam hal pembangunan manusia.
Revolusi ini dibutuhkan untuk pandangan yang jauh ke depan, agar anak muda Muhammadiyah tidak tertinggal di ranah global. Sekurang-kurangnya, untuk mencerahkan di wawasan global, anak muda Muhammadiyah harus memiliki wawasan global 50% yang tertanam di otaknya. Jika tidak seperti itu, kita tidak bisa bersaing, apalagi mencerahkan.
“Penguasaan di wawasan global ini kemudian secara sistematis dapat dicapai dengan tiga hal, yaitu bahasa, sains dan matematika, dan communication skill. Setidaknya, anak muda Muhammadiyah harus menguasai bahasa Inggris. Sementara itu, bahasa Arab untuk anak muda yang mendalami ilmu agama” ujar Muhadjir.
Pengetahuan semacam sains, teknologi, dan matematika, lanjut Muhadjir, juga perlu dikuasai. Hal ini terkait dengan pengembangan peradaban dunia yang hanya dapat dikejar dan dicapai melalui sains, teknologi, dan matematika.
Selain itu, communication skill tidak kalah penting untuk dikuasai, penguasaan di bidang teknologi informasi masuk ke dalam communication skill ini. Begitupun dengan literasi juga merupakan bagian dalam communication skill yang harus dikuasai dan dikembangkan.