Oleh: Djarnawi Hadikusuma
Begitu Muhammad Abduh melangkahkan kaki ke atas bumi Mesir setelah ditinggalkannya selama tujuh tahun, terkenanglah ia kepada pemberontakan Kolonel Ahmad Arabi Pasya yang ia turut mendukungnya sehingga diasingkan ke Beirut. Teringat pula olehnya sembilan belas tahun yang silam ketika ia bertemu pertama kalinya dengan Jamaluddin Al-Afghani.
Ketika itu, ia masih muda belia, berkuliah di Al-Azhar yang masih penuh dihuni oleh ulama-ulama kolot. Jamaluddinlah yang memukau pikirannya untuk mempelajari pelbagai ilmu yang tidak diajarkan di Al-Azhar, seperti Falsafah, Ilmu-Pasti, Ilmu Kalam atau Theologi, Moral, dan Politik. Jamaluddin pulalah yang menyemikan dan memupuk jiwa kebangsaan dan kemerdekaan dalam hati sanubarinya.
Alangkah cepatnya waktu berjalan. Rasanya baru kemarin ia menamatkan pelajarannya di universitas itu dengan mendapat ijazah kemudian memberi kuliah dengan metode dan bahan yang lebih maju dan lebih sempurna daripada ulama-ulama lainnya. Tidak sengaja ia tersenyum ketika terbayang di benaknya wajah ulama-ulama itu menjadi sangat masam ketika kuliahnya tentang Ilmu Kalam, Mantik, dan Etika sangat digemari oleh mahasiswa, sedang para ulama itu kuliahnya tidak menarik dan menjemukan karena hanya membaca dan menghafal kitab yang tebal-tebal yang sudah lusuh.
Bertambah iri hati mereka itu ketika tahun 1879, di samping mengajar di Al-Azhar, juga diserahi tugas menjadi dosen Ilmu Sejarah pada Perguruan Tinggi Negeri Darul Ulum serta Kesusasteraan pada Institut Bahasa-bahasa yang diadakan oleh pemerintah. Dengan mengenang itu semua, ia menjadi takjub atas perjalanan hidupnya dan memanjatkan pujian kepada Allah atas kekuasaannya.
Setibanya di Mesir, ia diangkat Khadewi menjadi Qadli Pengadilan Negeri, di samping menjadi mahaguru di Universitas Al-Azhar. Sebagai Qadli, ia bekerja dengan sungguh-sungguh dan teliti. Dan sebagai Qadli ia dapat menyelami perkara-perkara yang berkisar pada masyarakat, dengan itu diketahuinya nahwa negerinya memerlukan perubahan-perubahan sosial.
Namun, hatinya lebih suka memusatkan perhatiannya kepada bidang pendidikan dan pengajaran. Karena Al-Azhar dianggapnya masih berbau kolot, maka dimohonkannya kepada Khadewi agar dia dipindahkan ke Darul Ulum. Permohonannya ditolak oleh Khadewi karena dikhawatirkan kalau-kalau pengaruhnya mewibawai mahasiswa di Perguruan Tinggi Negeri itu.
Khadewi Taufik wafat pada bulan Januari 1892 digantikan oleh putranya yang masih muda belia, Abbas II atau Hilmi, yang dibesarkan di kota Wina. Sejak pemerintahannya inilah mulai terasa adanya gerakan menentang campur tangan Inggris dalam pemerintahan Mesir, melalui gubernurnya di Cairo, Lord Cromer. Memang sejak Mesir diduduki Inggris seolah-olah pemerintahan dilaksanakan bersama-sama antara Khadewi dan Lord Cromer.
Pemerintahan Abbas memang merasa tidak senang kepada campur tangan Inggris itu, terutama kepada Lord Cromer yang selalu harus menentukan segala sesuatunya. Pada masa akhir pemerintahan Taufik yang menjadi Perdana Menteri adalah Nubar Pasya, kemudian berganti dengan Riyad Pasya sampai sekarang. Keduanya terpaksa disingkirkan atas desakan Lord Cromer karena dipersalahkan telah mencoba mengabaikan kehendak Konsul Jenderal Inggris itu.
Penggantinya ditunjuk Mustafa Fahmi, seorang pengikut Inggris yang setia dan Abbas. Hilmi tidak kuasa berbuat apa-apa. Karena waktu itu dia masih terlalu muda. Ketika Mustafa Fahmi ini sakit keras dan tidak dapat melaksanakan kewajibannya, pada akhir tahun 1892, Abbas mengambil kesempatan untuk menggantinya. Diganti oleh Fakhri Pasya yang dahulu pernah menjabat Menteri Luar Negeri. Lord Cromer yang tidak diminta pertimbangan dalam pengangkatan ini, dengan menggunakan kekuasaannya, memaksa Abbas untuk memecatnya kembali. Kegagalan kedua dialaminya ketika ia berani mengecam kelakuan tentara Inggris yang sedang berpatroli ke Wadil Wafak.
Akibatnya, ia terpaksa harus memecat Mahir Pasya yang menjabat wakil sekretaris yang menjadi alat dan tangan kanan Lord Kitcherner, Panglima Tinggi Angkatan Bersenjata Inggris yang berkedudukan di Cairo. Tidak itu saja, bahkan ia harus pula mengumumkan penarikan kembali kecamannya itu.
Abbas Hilmi memang tidak senang kepada bercokolnya Inggris di negerinya, dan terjadilah konflik. Dia tidak mendapat dukungan dari Sultan Turki, dan tidak pula dari rakyat Mesir sendiri akibat kelakuan ayahnya Khadewi Taufik kepada rakyat. Mungkin untuk menarik hari rakyat itulah ia berbalik kepada Muhammad Abduh. Ia memberi izin kepadanya mengajar di Darul Ulum. Kemudian untuk memperbaiki kedudukannya di mata rakyat dirapatinya harian Al-Muayyad yang dipimpin oleh Ali Yusuf. Harian ini didukung oleh sebuah partai pembaruan. Tetapi, karena kekecilan partai itu, maka tidak mampu memperoleh pengaruh politik.
Dengan demikian, usaha Abbas pun menjadi sia-sia. Partai Nasional yang meluas dan berpengaruh baru dibentuk pada tahun 1894 oleh Mustafa Kamil. Ia anak seorang Insinyur dan belajar Ilmu Hukum di Toulouse di mana dia berkenalan dengan seorang wartawan Prancis yang berpengaruh, Julliete Adam. Sepulangnya ke Mesir dibentuknya Partai Nasional ”Hizbul-Wathan” pada tahun 1894 itu. Dengan partainya itu, dia mencoba membina publik opini di Eropa bagi kemerdekaan bangsanya dan untuk meningkatkan ilmu pengetahuannya.
Pada tahun 1894, diterbitkannya harian Al-Liwa yang ternyata memperoleh pasaran yang luas sampai ke Inggris dan Prancis. Tahun 1904, Sultan Turki menganugerahkan kepadanya gelar ”Pasya” dan Khadewi Abbas pun mendukung dan membantu partainya itu. Namun, akibat hasutan dan intimidasi Lord Cromer, akhirnya Abbas menjadi takut akan pengaruhnya dan menghentikan dukungan serta bantuannya. Sekali lagi, Abbas Hilmi kehilangan kekuatan yang dapat menolongnya.
Apa yang dialami oleh Abbas Hilmi rupanya tidak berhenti di situ saja. Ada saja sebab-musababnya yang membuat dia renggang dari Muhammad Abduh, bahkan akhirnya timbul perselisihan. Harapan yang masih tinggal terletak pada Universitas Al-Azhar di mana Muhammad Abduh juga menjabat sebagai Mahaguru. Universitas itu harus menjadi pendukungnya dan ulama-ulamanya harus selalu taat kepadanya serta mengeluarkan fatwa-fatwa yang menguntungkan kekuasaannya. Dan ia mengharap agar Abduh yang telah ditolongnya itu mau berusaha ke arah itu. (Bersambung)
Sumber: buku Aliran Pembaharuan dalam Islam dari Jamaluddin Al-Afghani Sampai KHA Dahlan karya Djarnawi Hadikusuma. Pemuatan kembali di www.ibtimes.id lewat penyuntingan
Editor: Arif