Oleh : Faqih El-Ilmi Nasution
Di tengah panasnya issu tentang Papua dan pemindahan Ibu kota, masyarakat kita dikagetkan dengan sebuah disertasi mahasiswa doktoral UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Disertasi berjudul ‘Konsep Milk Al-Yamin Muhammad Syahrur Sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Nonmarital’ milik Abdul Aziz, menuai kontroversi di akar rumput.
Beberapa menanggapi dengan biasa saja, namun banyak yang merespon dengan emosi yang meletup-letup. Segenap respon tersebut disalurkan melalui status Whatsapp, postingan Instagram, dan media lain.
Saya kira wajar jika masyarakat akar rumput merespon disertasi tersebut dengan emosi yang meletup. Sebab, seperti apa yang dituliskan di banyak media, bahwa konsep Milk Al-Yamin bertolak belakang dengan pemikiran kebanyakan masyarakat Indonesia. Karena dinilai telah melegalkan seks di luar nikah. Pemikiran itu berangkat dari konsep Milk Al-Yamin milik Muhammad Syahrur.
Sekilas Tentang Pemikiran Muhammad Syahrur
Muhammad Syahrur sendiri adalah pemikir muslim yang fenomenal. Pemikirannya selalu mengudang pro dan kontra. Bahkan bukan hanya saat ini saja, sedari dulu pun tak lepas dari pro dan kontra. Bagi yang memujinya habis-habisan, ia dipandang sebagai “Immanuel Kant”nya dunia Arab dan “Martin Luther”nya umat Islam. Bagi yang kontra, buku-bukunya khususnya al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’asirah dianggap lebih berbahaya dari The Satanic Verses-nya Salman Rushdie.
Pemikir yang menolak sinonimitas Alquran ini pernah mengajak umat Islam untuk memahami teks Alquran seakan-akan nabi Muhammad baru saja wafat. Dengan maksud, untuk mengakui ketidakterbatasan waktu keberlakuan Alquran. Ia juga mendesak bahwa pembaca masa sekarang (kita) hendaknya menolak peran perantara yang secara tradisional dimainkan oleh sarjana hukum Alquran.
Penolakan itu dimaksudkan untuk dapat melakukan pembacaan kembali atau Rereading secara langsung terhadap teks Alquran. Itulah mengapa konsep Milk Al-Yamin milik Muhammad Syahrur sangat berbeda sekali dari kebanyakan ulama tafsir maupun para fuqoha.
Syahrur sendiri berpendapat bahwa problem utama dari stagnasi umat Islam saat ini adalah penyakit fanatisme terhadap nenek moyang. Khususnya dalam konteks sikap kita kepada khazanah keilmuan pengetahuan generasi awal (salafussholeh). Bagi Syahrur, seakan-akan pengetahuan para salaf melampaui pengetahuan seluruh manusia.
Jika seorang cendekiawan ingin melakukan kajian terhadap sesuatu, maka ia harus merujuk pada produk pemikiran generasi salaf. Jika tidak, maka ia diklaim sebagai mengada-ada. Itulah sebabnya jika kita baca pemikiran Syahrur, memang banyak yang berbeda dari pemikiran-pemikiran generasi awal. Bahkan berbeda dengan pemikiran kita saat ini.
Ragam Respon di Akar Rumput
Begitu juga dengan konsep Milk Al-Yamin yang dikutip oleh mahasiswa doktoral dalam disertasinya. Terlepas dari itu semua, Syahrur secara tak langsung ingin mengajak kita untuk terus semangat untuk berinterkasi dengan Alquran.
Kembali kepada disertasi mahasiswa doktoral UIN Sunan Kalijaga, Abdul Aziz, yang menuai kontroversi akhir-akhir ini. Bagi penulis sendiri, viralnya disertasi Abdul Aziz secara tidak langsung mengenalkan pemikiran-pemikiran Syahrur ke masyarakat akar rumput. Terlepas dari berbagai kontroversinya, Abdul Aziz sukses membawa pemikiran Muhammad Syahrur.
Pemikiran yang selama ini seperti berada ‘di langit’ dalam arti hanya dikenal oleh para akademisi, kini mulai dikenal hingga akar rumput. Bahkan hingga dikaji oleh MUI. Bagi masyarakat yang kaget dengan pemikiran Syahrur pasti akan meresponnya dengan emosi yang meletup-letup. Atau bahkan menuding Syahrur sudah kafir.
Bagi yang sudah mengenal pemikiran Muhammad Syahrur pasti akan meresponnya secara bijak. Secara tidak langsung pula, kita dapat melihat adanya guncangan pada psikologi masyarakat kita akibat dari pemikiran Syahrur yang sudah terlanjur ditarik dari langit ke bumi melalui sebuah disertasi.
Hikmah Viralnya Disertasi Abdul Aziz
Terlepas dari itu semua, penulis yakin bahwa disertasi Abdul Aziz adalah sebuah karya ilmiah yang diuji oleh para penguji yang layak. Meskipun pada akhirnya, Abdul Aziz meminta maaf kepada segenap umat Islam atas kegaduhan akibat disertasinya. Ia berjanji akan mengubah konten dan judul disertasinya. Para penguji pastinya akan memberikan masukan-masukan untuk menyempurnakan disertasinya.
Begitu juga dengan pemikiran Muhammad Syahrur. Penulis meyakini bahwa pemikiran Syahrur adalah sebuah Khazanah keilmuan Islam yang harus kita baca agar menambah wawasan keilmuan kita.
Syukur kalau kita bisa mengkritik pemikiran beliau lewat sebuah karya. Seperti dahulu dicontohkan oleh Ibnu Rusyd melalui bukunya yang berjudul Tahafut At-tahafut dalam rangka merespon karya Al-Ghazali Tahafut Al-falasifah. Tetapi yang harus kita ingat adalah Sesuatu yang sudah ‘dilempar’ ke ruang publik maka setiap orang berhak menginterpretasikannya.
Artinya, kita selaku masyarakat akar rumput, berhak menafsirkan sesuai pemahaman kita sendiri. Namun, alangkah lebih bijak untuk tidak merespon dengan emosi yang berlebihan.
Pada akhirnya Syahrur pernah mengutip perkataan dari seorang penulis besar Usamah Anwar: “Apakah kita akan menghabiskan umur kita dan menghentikan petikan gitar, atau akan terus memainkannya? Syahrur menentukan pilihannya untuk terus bermain gitar dan bukan menghentikannya. Artinya Ia lebih memilih untuk terus ‘menyempurnakan’ karya-karyanya ketimbang menghentikan karyanya hanya untuk menanggapi kritikan orang. Di akhir katanya, Syahrur berharap semoga apa yang dia lakukan dapat bermanfaat bagi manusia.
* mahasiswa Ilmu Alquran dan Tafsir UMS dan Kabid SBO PC IMM Sukoharjo