FikihTajdida

Mengapa Muhammadiyah Disebut Anti-Tasawuf?

3 Mins read

Oleh: Muhamad Bukhari Muslim

Selama ini banyak berkembang persepsi bahwa Muhammadiyah adalah organisasi yang anti-tasawuf. Apakah benar Muhammadiyah anti terhadap tasawuf? Eitss, tunggu dulu! Sebab hal yang menjadi fokus utama tasawuf ialah penjernihan hati dan pembentukan karakter. Makanya tidak benar anggapan bahwa tasawuf mematikan akal.

Muhammadiyah meskipun dikenal sebagai gerakan pembaruan pemikiran Islam yang lebih mengutamakan aspek rasional dalam beragama, tasawuf ternyata memiliki akar dan tempat di dalamnya bila kita menelusuri pada kehidupan dan karya-karya para tokohnya. Salah satunya adalah KH. Ahmad Dahlan, pendiri persyarikatan ini. Hal ini antara lain dapat dikonfirmasi dengan merujuk pada penuturan salah seorang murid K.H. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), yaitu KRH. Hadjid, bahwa di antara referensi yang sering dikaji dan diajarkan oleh kiai kepada para muridnya adalah kitab tasawuf seperti Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn karya Imam Al-Ghazali.

Kemudian hasil penilitian dari Mitsuo Nakamura, mengungkapkan banyak dari ungkapan KH. Ahmad Dahlan yang bertendensikan tasawuf yang diajarkan kepada pengikut-pengikutnya. Kata-kata mutiara sufi kenamaan seperti Hasan Basri yang senantiasa mengingatkan manusia akan kematian dan hari pembalasan di kemudian hari bergema dalam ungkapan-ungkapan pendiri Muhammadiyah itu. Anjuran-anjuran sufi besar Al-Muhasiby yang menekankan bahaya penyakit riya (hiprokasi), dan Yahya ibn Muaz tentang peringatan kematian dapat ditemukan persamaannya dalam anjuran-anjuran tokoh dari Kauman Yogyakarta ini.

Bukan hanya berupa ungkapan, dari sikap keseharian KH. Ahmad Dahlan kita akan banyak menemukan hal yang menunjukan perilaku-perilaku seorang sufi (orang yang mempraktekkan ajaran tasawuf). Salah satunya adalah ketika beliau mencuci tangan orang yang bertamu ke rumahnya.

Praktik Tasawuf di Muhammadiyah

Alkisah, Kiai kedatangan tamu dari Ponorogo untuk berbagi keperluan, selain keperluan yang berhubungan dengan persoalan Muhammadiyah. Setelah lama berbincang dengan tamunya, sang tamu lalu diajak makan. Selesai makan, Kiai Ahmad Dahlan kemudian mencuci tangan tamunya dengan teko yang selalu tersedia di ruang tamu. Saat itu Kiai lalu berkata bahwa tidak ada yang bisa ia lakukan untuk memuliakan tamunya kecuali hanya dengan mencuci tangan tamunya tersebut. (Abdur Munir Mulkhan:2017)

Baca Juga  Waktu-Waktu Mustajab untuk Berdoa

Bayangkan saja, bagaimana bisa seseorang yang merupakan pimpinan tertinggi dalam Muhammadiyah dapat melakukan hal semacam itu? Padahal kalau ia mau, bisa saja ia merasa besar dan malu untuk melakukannya. Bersikap angkuh dan sombong sebagaimana kebiasaan para pemimpin. Tetapi beliau malah melakukannya. Inilah wujud dari kerendahan hati beliau. Kasus ini, setidaknya menurut saya adalah bagian dari sisi sufistik yang dimilki oleh KH. Ahmad Dahlan. Sebab salah satu tujuan dari tasawuf ialah menghapus kesombongan dan sikap angkuh dalam diri seorang hamba.

Selain KH. Ahmad Dahlan, tokoh-tokoh Muhammdiyah yang juga mengamalkan dan memiliki nasehat-nasehat yang dekat dengan wilayah tasawuf antara lain KH. A.R. Fahkruddin. Beliau terkenal sebagai pribadi yang sederhana. Ketika meninggal, beliau tidak mewariskan apapun kepada anak-anaknya kecuali pengajaran dan pendidikan keagamaan.
Pernah sekali ia ditawarkan mobil oleh Presiden Soeharto, tetapi beliau menolak. Ia hanya memiliki satu buah motor, itu pun motor buntut. Motor itulah yang dipakai oleh beliau berdakwah ke kampung-kampung dan ke pimpinan-pimpinan ranting Muhammadiyah.

Bahkan yang lebih mengejutkan lagi, KH. AR. Fachruddin tidak memiliki rumah sampai akhir hayatnya. Padahal beliau adalah pimpinan tertinggi dalam Muhammadiyah saat itu.
Jika demikian, pertanyaannya adalah tasawuf seperti apakah yang ditolak oleh Muhammadiyah? Mengingat tentu tidak semua bentuk tasawuf yang diterima. Nah, untuk menjawab ini saya akan terlebih dulu akan mengemukakan pengertian tasawuf dengan merujuk pada pendapat dua tokoh modernis Islam: Fazlur Rahman dan Sayyed Hossen Nasr.

Tasawuf yang ditolak

Dalam elaborasi yang dilakukan oleh Ahmad Najib Burhani, diterangkan bahwa menurut Sayyed Hossen Nasr, tasawuf adalah spirit of Islamic religion (jiwa dan semangat agama Islam). Tanpa tasawuf, Islam akan menjadi gersang, tidak subur, bahkan tidak hidup. Tujuan tasawuf adalah kesempurnaan akhlak dan aksioma tasawuf ialah moral education atau moral elaboration perfection. Berbeda dari Nasr, Fazlur Rahman menganggap tasawuf sebagai infiltrasi budaya luar yang menggerogoti Islam.

Baca Juga  "Islam Indonesia" atau "Islam di Indonesia": Mana yang Benar?

Hal itu ia dasarkan pada kenyataan adanya beberapa sufi yang menjadikan tasawuf sebagai sarana untuk menyatu dengan Tuhan. Di antaranya adalah Al-Hallaj dan Ibnu ‘Arabi. Sehingga muncullah istilah wahdatul wujud (panteisme), wahdatussyuhud dan sebagainya. Ajaran-ajaran ini oleh Fazlu Rahman, dianggap sebagai penyimpangan tasawuf dari doktrin Islam.

Banyak orang yang ikut-ikutan kepada ajaran mereka lantas membentuk tarekat yang tidak mengindahkan syariat; seperti tidak perlu sembahyang, yang penting kita zikir. Syariat hanya untuk orang awam. Orang yang sudah sampai ke tingkat tertentu, dia sudah tidak perlu shalat lagi. Tasawuf yang semacam itulah bagi Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan agaknya beberapa orang Muhammadiyah, yang dalam konteks ini seide dengan Fazlur Rahman, adalah alien, sesuatu hal yang berada di luar garis-garis yang ditetapkan oleh Qur’an dan Sunnah.

Ketika Hossen Nasr menyatakan bahwa tasawuf adalah spirit dari agama, ia pasti menunjuk kepada akhlak. Sebagaimana halnya pada saat Fazlur Rahman mengatakan bahwa tasawuf itu menggerogoti Islam, ia tidak menunjuk pada akhlak, tapi menunjuk pada hal-hal yang sifatnya kebablasan dari tasawuf. Makanya jelas bahwa dalam Muhammadiyah, sebagaimana Hamka, tasawuf yang relevan dalam kehidupan modern adalah tasawuf akhlaki, bukan tasawuf seperti pengamalan Ibnu ‘Arabi dan tokoh-tokoh sufi lain. Oleh karena itu, tulisan ini akhirnya menjelaskan dan menandaskan bahwa tasawuf yang demikian adalah pandangan baru aktivis Muhammadiyah.

*Sekarang aktif di IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) Cabang Cipuat dan menjadi Ketua Bidang Keilmuan PERMUDA (Persatuan Pelajar dan Pemuda) Sulteng JABODETABEK.

Avatar
21 posts

About author
Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan PC IMM Ciputat
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *