Sejak berdirinya pada tahun 1912 di Yogyakarta, Muhammadiyah selalu melakukan syiar-syiar moderasi Islam-nya di tengah-tengah masyarakat yang masih mengalami kemiskinan, sarat mempercayai takhayul, dan tidak mendapat akses pendidikan yang memadai.
Dimulai dengan KH Ahmad Dahlan yang mencontohkan cara memahami agama sebagaimana cara memainkan biola pada santrinya.
Atau usahanya mendirikan sekolah dengan menggunakan meja dan kursi yang kala itu dianggap produk kafir (era penjajahan Belanda) oleh ulama setempat.
Atau bahkan mengundang salah satu tokoh komunis di dalam pengajiannya. Agar murid-muridnya memperoleh pendidikan politik yang berkaitan dengan perjuangan sosial, pemaknaan QS. Al-Maun secara mendalam untuk diaktualisasikan pada kehidupan sehari-hari.
KH Ahmad Dahlan perpandangan bahwa kemiskinan bukan sekadar ketiadaan harta semata, namun juga sebuah posisi ketidakberdayaan yang membuat tidak memiliki akses mengubah nasib menjadi lebih baik.
Berangkat dari pemikirannya yang humanis, mulailah Ahmad Dahlan menggelar pengajian. Pengajian ini menghasilkan infak sukarela warga Muhammadiyah yang kala itu didominasi oleh pedagang.
Dari infak-infak itu, mulailah dirintis bangunan-bangunan pengubah nasib para mustad’afin seperti panti asuhan, sekolah, PKO, hingga dalam perkembangannya sekarang menjamur Universitas Muhammadiyah yang bahkan bisa diakses mahasiswa non-muslim, sekolah-sekolah di seluruh Indonesia.
Hingga lembaga zakat infak turun berkembang mengakomodir perputaran keuangan untuk kemajuan lembaga-lembaga di bawah Muhammadiyah, maupun kemajuan masyarakat yang membutuhkan tanpa memandang latar belakang dan agama.
Muhammadiyah di Mata Awam
Meskipun telah melalang buana mengabdi untuk negeri, nyatanya belum banyak yang mengenal Muhammadiyah lebih dekat. Agaknya Muhammadiyah belum terlalu dikenal eksistensinya sebagai gerakan modernitas yang nasionalis.
Apalagi dikalangan yang tidak multikultural di mana wajah Islam beraneka-ragamnya sebagaimana di kawasan Solo dan sekitarnya, atau Jogja dan sekitarnya.
Dengan kata lain, Muhammadiyah menjadi minoritas di beberapa daerah terutama di kawasan Pantura (Pantai Utara) Pulau Jawa. Gerakan untuk memperkenalkan Muhammadiyah lebih dekat masih belum semasif dibangunnya sekolah, RS, atau kampusnya.
Pembelajaran Kemuhammadiyahan di sekolah-sekolah hanya sebatas sejarah asal usul berdirinya Muhammadiyah. Tanpa membahas betapa asiknya Bermuhammadiyah sebenarnya.
Contoh sederhananya, masyarakat awam belum bisa membedakan mana saja sekolah yang dikelola oleh Muhammadiyah dan non-Muhammadiyah.
Menurut masyarakat awam, di mana suatu lembaga tidak mengadakan doa qunut atau tahlil, maka otomatis dinilai sebagai Muhammadiyah.
Padahal, belum tentu demikian. Sebab memang banyak sekolah Islam non-Muhammadiyah yang berdiri secara independen.
Jika ditelisik lebih dalam, lembaga-lembaga yang dikelola oleh Muhammadiyah tidak terlepas dari penggunaan kata Muhammadiyah sebagaimana SMA Muhammadiyah , RS Muhammadiyah, atau Universitas Muhammadiyah contohnya.
Atau jika tidak terdapat kata Muhammadiyah, minimal terdapat logo yang identik dengan Muhammadiyah.
Selain itu, aktivitas di sekolah Muhammadiyah tersebut sudah pasti terdapat organisasi-organisasi otonom Muhammadiyah seperti IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah) atau setara OSIS, TS (Tapak Suci) setara bela diri, dan HW (Hizbul Wathan) setara Pramuka. Serta tentu aja materi kemuhammadiyahan.
Maka jika unsur-unsur kemuhammadiyahan di atas tidak terdapat pada suatu sekolah, maka bisa dipastikan tidak dikelola oleh Muhammadiyah.
Nah, sosialisasi seperti ini yang tidak pernah sampai ditelinga masyarakat awam sehingga sering menimbulkan kesalahpahaman pandangan tentang Muhammadiyah.
Dari segi kebudayaan, Muhammadiyah bukanlah gerakan Islam yang anti budaya. Terlihat dari setiap kali Milad Muhammadiyah, selalu tampil berbagai kebudayaan untuk memeriahkan acara.
***
Meskipun merupakan gerakan yang memberantas TBC (Takhayul Bid’ah Kurafat), Muhammadiyah tidak meninggalkan nilai-nilai tanah air dan kebudayaan selama masih sejalan dengan syariat Islam. Atau acara-acara pernikahan keluarga Muhammadiyah yang juga masih melestarikan kebudayaan, dengan menggunakan pakaian adatnya.
Selanjutnya mengenai atribut pakaian, syukurlah dewasa ini ekspresi berpakaian semakin beragam tanpa memandang golongan.
Namun terkadang, masyarakat awam masih memandang jika penggunaan jilbab yang lebar atau celana yang cingkrang selalu identik dengan Muhammadiyah. Padahal tidak demikian.
Justru di Muhammadiyah sendiri, tidak memiliki ciri khas dari segi berpakaian. Warganya sangat beragam dalam mengekspresikan pakaian, ada yang celana cingkrang, jeans, bersarung, bersorban, atau menggunakan peci khas Indonesianya.
Begitupun dengan warga Muhammadiyah dari perempuannya, ada yang bercadar, berjilbab lebar, berjilbab tidak lebar, bahkan tidak berjilbab pun ada.
Yang terakhir adalah letak geografis. Masyarakat awam berpandangan bahwa Muhammadiyah hanya ada di perkotaan, tidak sampai ke pedesaan. Padahal jika ditelisik di kawasan Pantai Selatan seperti Wonogiri, Surakarta, Klaten, Sukoharjo dan sekitarnya. Muhammadiyah telah membudaya di perkotaan, pedesaan hingga pelosok.
Atau seperti salah satu desa di Magelang. Di mana warga sesama Muslim antara Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan LDII, hidup berdampingan dan memiliki masjidnya masing-masing, tanpa saling mempermasalahkan satu sama lain.
Lagi-lagi, cerita-cerita baik ini tidak sampai secara meluas di masyarakat. Hanya terhenti di satu tempat saja.
Pada akhirnya, Muhammadiyah bukanlah agama baru yang mesti dipegang secara fanatik hingga menganggap diri paling benar di antara yang lain.
Namun merupakan kendaraan untuk mengekspresikan bertuhan dan berislam dengan sudut pandang yang telah ditetapkan di Tarjih dan Tajdidnya, berlandaskan Al-Qur’an dan hadis yang dikaji secara mendalam baik tekstual dan kontekstual.
Nilai-nilai dan spirit Muhammadiyah harus tetap abadi dan dinamis untuk terus mengkampanyekan Moderasi Islam Berkemajuan yang selalu sesuai dengan segala zaman.
Editor: Yahya FR