IBTimes.ID – Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menegaskan bahwa Muhammadiyah berdiri tegak di tengah antara dua kutub ekstrem, yaitu ekstrem agama dan ekstrem non agama.
Ekstrem agama berarti kaku dalam beragama. Sementara ekstrem non agama berarti anti agama dan anti Tuhan. Menurut Haedar, Muhammadiyah selalu berdiri tegak dan kokoh di tengah. Hal tersebut ia sampaikan dalam Pengajian Ramadan 1443 H Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Selasa (19/4/2022).
Haedar mengutip hasil penelitian Saiful Mujani tahun 2002 yang menyebut bahwa ada satu persen masyarakat Indonesia yang mengaku ateis. Jumlah tersebut belum ditambah dengan penduduk agnostik dan lain-lain.
“Gerakan itu sangat masif di Indonesia. Mereka aktif di dunia nyata dan di dunia maya. Pada awal tahun 2000an, kelompok ini menamakan diri sebagai kelompok anti agama. Mengikuti tren liberalisasi ekonomi, politik, dan budaya,” ujar Haedar.
Di sisi lain, orang-orang semakin kaku beragama karena melihat realitas kehidupan yang serba bebas. Kehidupan yang serba bebas itu, imbuh Haedar, menimbulkan kekosongan jiwa dan kekeringan spiritual.
Mereka juga muak melihat manusia yang semakin rakus dalam mengejar dunia. Manusia menjadi semakin materialis, sehingga jiwanya menjadi gersang. Maka, sebagian kelompok kemudian ingin mencari ketenangan jiwa dan ketenangan batin.
Dilansir dari laman resmi PP Muhammadiyah, menurut Haedar, kelompok ini akan lari ke dua hal. Pertama, lari ke spiritualitas non agama. Kedua, lari ke spiritual agama yang kaku.
“Saking kakunya, semua hal diislamkan. Padahal, sebebarnya itu sudah alamiah saja, tidak perlu diislamkan karena secara alami sudah islami. Kalau terus seperti ini, bisa jadi nanti ada tuntunan cara menyeberang jalan menurut Islam, misalnya,” imbuhnya.
Dalam konteks ini, ia berusaha untuk menjaga Muhammadiyah agar terus kokoh berada di tengah. Tidak condong ke salah satu kutub. “Terlalu semangat itu juga tidak baik. Jadi yang tengahan itu menjadi pilihan,” tutup Haedar.
Reporter: Yusuf