Perspektif

Muhammadiyah dalam Pusaran Isu Wahabi Global

3 Mins read

Perkembangan Muhammadiyah dewasa kini semakin menguat beriringan dengan agenda internasionalisasinya yang gegap-gempita digaungkan pasca Muktamar ke-47 persyarikatan di Makassar tahun 2015. Sebagai organisasi ‘gerakan sosial’ tentunya Muhammadiyah membuktikan bahwa kehadiran Islam bukan hanya sebatas ritual ibadah semata, melainkan pula sebagai solusi atas permasalahan hidup umat manusia di berbagai lini kehidupan dengan membawa misi kemaslahatan.

Berdikarinya Muhammadiyah lewat amal usaha dan pelbagai aktivitas dakwahnya di tanah air mendorong sebuah keniscayaan bahwasanya persyarikatan tersebut harus menginternasionalisasikan gerakannya agar nilai-nilai Islam Berkemajuan dapat dirasakan bukan hanya oleh orang Indonesia saja, tetapi secara luas kepada masyarakat internasional.

Tersebarnya 27 Pimpinan Cabang istimewa atau PCIM di luar negeri—merujuk data Al-Hamdi (2021)—menjadi peluang besar Muhammadiyah dalam mengglobalkan gerakannya. Namun di sisi lain tentu besar pula tantangan yang dihadapi. Salah satunya dalam pembahasan kali ini adalah isu Wahabi yang sedari dulu acap membayang-bayangi langkah dakwah Sang Surya tersebut baik di ranah domestik maupun global.

Penolakan Universitas Muhammadiyah di Malaysia

Malaysia pastinya menjadi tempat target mastautin Internasionalisasi Muhammadiyah untuk melebarkan sayapnya mengingat negeri jiran tersebut secara geografis sangat berdekatan dengan Indonesia—sebagai sentra dakwah persyarikatan—belum lagi alasan ‘persamaan’ rumpun dan budaya yang mengakar.

Namun siapa yang menyangka pada tahun 2019 silam upaya pendirian Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka di negara bagian Johor, Malaysia sempat tertolak lantaran ketidaksepakatan Putra Mahkota Johor, Tunku Ismail Sultan Ibrahim (CNN Indonesia, 2019).

Selain karena tanggung jawab Sultan Johor yang mengurus perkara agama Islam di sana, pemahaman keislaman Muhammadiyah dianggap tidak sesuai dengan kalangan masyarakat setempat, di Johor. Diketahui isu Wahabi terpalit dalam polemik pembangunan perguruan tinggi di negeri semenanjung itu. Bersebab lantaran Muhammadiyah disinyalir memiliki tautan dengan penyebaran ajaran Wahabi yang bertentangan dengan Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai pemahaman yang dianut masyarakat Johor.

Baca Juga  Muhammadiyah di Mata Orang Awam

UMAM atau Universiti Muhammadiyah Malaysia pun dalam dinamikanya sempat dihadapi penolakan oleh beberapa pihak yang menuduh UMAM sebagai kampus ‘Wahabi’. Menggambarkan tuduhan ‘Wahabi’ di akar rumput seolah menjadi dalih dalam melanggengkan penolakan gerakan Muhammadiyah—sebagaimana yang dijelaskan Prof. Ahmad Najib Burhani (Times Indonesia, 2021).

Meskipun akhirnya penetrasi Muhammadiyah di bidang pendidikan lewat pendirian UMAM berhasil mendapatkan izin resmi di Negara Bagian Perlis pada 05 Agustus 2021, setidaknya gambaran penolakan dan dugaan ‘Wahabi’ entah secara otoritas maupun akar rumput menjadi tantangan Persyarikatan Muhammadiyah untuk membranding dan mencitrakan eksistensinya agar tidak disangkutpautkan lagi kepada ajaran ‘Wahabi’ ala Muhammad bin Abdul Wahab yang umumnya diidentikkan dengan ‘eksklusif, jumud, keras, dan memecah belah’. 

Antara Internasionalisasi Muhammadiyah dan Isu Wahabi

Tuduhan ‘Wahabi’ tidak bisa disepelekan, sebab hal demikian menghambat langkah Internasionalisasi Muhammadiyah. Belum lagi tidak sedikit media-media luar—khususnya ketika penolakan Universitas Muhammadiyah di Malaysia—gencar mewadahi ‘framing’ yang mewartakan keterkaitan ‘Wahabi’ dengan gerakan Muhammadiyah sehingga mempengaruhi opini publik. 

Tak jarang, Muhammadiyah dan ‘Wahabi’ diserupakan. Misalnya adanya tuduhan bagaimana Muhammadiyah yang tidak bermazhab, serupa dengan penganut Wahabisme. Padahal tidak bermazhab Muhammadiyah bukan berarti berpaling dari 4 Imam Mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah, melainkan tidak fanatik atau terlalu mengikat salah satunya. Jadi, pandangan mazhab-mazhab tetap menjadi pertimbangan menetapkan hukum dengan memilih dasar-dasar yang dipandang kuat sesuai Al-Qur’an dan Sunnah.

Berbeda dengan ‘Wahabi’, Muhammadiyah menolak pemaksaan dan tindak kekerasan dalam mensyiarkan ajarannya baik di bidang keagamaan—untuk berusaha mengentaskan takhayul, bid’ah, dan khurafat dengan strategis—maupun bidang sosial untuk mendukung kemanusiaan. Sesuatu poin yang tidak dimiliki ‘Wahabi’.

Memang jika ditemukan ada keserupaan antara Muhammadiyah dan Wahabi, namun yang perlu digarisbawahi ialah sebuah dikotomi di mana Muhammadiyah sebagai gerakan pemurnian yang menekankan pembaharuan dengan rasionalitas, sementara ‘Wahabi’ yang dituduhkan bergerak dengan memahami ajaran secara literal dan ‘tekstual’ (Danarto, 2020).  

Baca Juga  Posisi Hadis Mauquf, Mursal, dan Daif bagi Muhammadiyah

Internasionalisasi Muhammadiyah sejalan dengan bagaimana karakteristik persyarikatan yang mengedepankan nilai-nilai transendensi, inklusif, dan humanis layaknya konsep Islam Berkemajuan. Sehingga sudah seyogyanya sumber daya Muhammadiyah mampu menjadi motor penggerak dalam menampilkan citra positif sebagai solusi atas permasalahan umat di era postmodern ini.

Selain itu yang tidak kalah penting adalah mobilisasi sumber daya yang baik dari Muhammadiyah, sehingga mampu menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi Muhammadiyah dan agenda internasionalisasinya. Termasuk dalam menjawab isu ‘Wahabi’ yang tidak menutup kemungkinan akan selalu dilontarkan. Adapun pengoptimalan konsep Islam Berkemajuan di ranah global menjadi langkah strategis membendung isu miring Wahabi yang ditautkan pada Muhammadiyah, juga untuk menegaskan bahwasanya keberadaan Muhammadiyah menjadi anugerah umat semesta.

Penutup

Dari fenomena mewabahnya isu Wahabi di tengah agenda Internasionalisasi Muhammadiyah, semoga hal tersebut dapat menjadi pembelajaran yang menyadarkan perlunya gerakan Muhammadiyah dalam mengoptimalkan segala sumber daya yang dimilikinya agar konsep Islam Berkemajuan dapat termanifestasi untuk kemaslahatan umat. Kader-kader Muhammadiyah pun harus mampu menjadi agen yang dapat menjawab tuduhan-tuduhan yang dilontarkan agar menjaga dan memperelok citra Muhammadiyah di masifnya era digital saat ini.

Editor: Soleh

Avatar
6 posts

About author
Mahasiswa dan penulis awam
Articles
Related posts
Perspektif

Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

3 Mins read
Beberapa waktu lalu, ada seorang ustadz berceramah tentang urgensi bermadzhab. Namun ceramahnya menuai banyak komentar dari berbagai kalangan. Ia mengatakan bahwa kelompok…
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…
Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read
Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds