Para intelektual di lingkungan Muhammadiyah sedang mencoba mencari makna “Islam Berkemajuan” secara filosofis. Menemukan makna terdalam lewat proses berfikir radikal dan sistematis untuk menemukan apa itu filsafat berkemajuan. Masalahnya adalah, tidak ada “pakem” atau definisi yang “pasti” mengenai apa itu “Islam Berkemajuan.”
Kemajuan
Memang, kata “berkemajuan” itu sendiri selalu mengikuti “kemajuan.” Seperti para penumpang yang duduk di atas kendaraan. Tapi, lebih dari itu, “kemajuan” bukanlah hal yang telah selesai. Kaum Muslim bukan sekedar penumpang. Bahkan, disebut pengendali kendaraannya. Meminjam istilah Kuntowijoyo, “pencipta sejarah” (masa depan).
Jika “kendaraan” yang dimaksud adalah konteks yang berubah-ubah menuju kebaruan yang juga berproses untuk terus berubah, maka hal itu mencakup pola pikir (state of mind), visi, misi, tujuan, strategi, dan bahkan metodologi, serta segala turunannya (cara menjalani hidup). Hal ini tentu membuat was-was, khawatir, dan sekaligus kadang-kadang menyebabkan takjub. Karena secara tidak langsung menjawab hakekat filsafat berkemajuan. Inovasi, kreativitas, novelty, dan segala bentuk-karakter “kemajuan” dapat disaksikan dengan kedua mata kita secara langsung.
Tentu, pada zamannya, KH Ahmad Dahlan dianggap revolusioner dan mendobrak zaman. Seandainya saat ini masih hidup, tentulah beliau akan terperangah dan terkaget-kaget. Beliau akan terkaget-kaget melihat Muhammadiyah yang didirikannya kini menjadi sedemikan besar, kompleks, dan sekaligus mengagumkan.
Dari gagasan tajdid dan praktik pendidikan modern melalui “Kwekschool het de Koran” pada seabad yang lalu, lahir ratusan universitas. Ingat, bukan hanya sekolah, tapi lembaga pendidikan tinggi! Mungkin, ini adalah hal yang tidak pernah diimpikan Kiai Dahlan.
Filsafat Berkemajuan, Pemaknaan yang Belum Selesai
Apa yang dimaksud dengan “kemajuan” dan pada akhirnya “berkemajuan,” dapat dipastikan bukanlah mengenai kebenaran hakiki. Secara esensial, kebenaran tersebut bersifat transendental. Sekali lagi, ini bukan masalah akidah dan syariah. Dengan kata lain, yang diperjuangkan oleh para intelektual adalah hal yang bersifat historis dan empiris. Berhubungan dengan kenyataan-kenyataan kehidupan yang kompleks. Baik itu menyangkut masalah sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan. Dalam bahasa agama, disimplifikasikan dengan istilah “mu’amalah.”
Adapun agama adalah nilai-nilai, ruh, spirit, dan motivasi yang mendorong para pemeluknya, termasuk warga Muhammadiyah, untuk hidup secara lebih baik dan mampu menyelesaikan masalah kekinian dan kedisinian (atau bahkan bersifat global) yang, sekali lagi, bersifat menyejarah dan berpihak kepada kenyataan-kenyataan. Jadi, ketika nilai-nilai bersifat tetap (kebenaran, keadilan, kemerdekaan, persaudaraan, kemanusiaan dan seterusnya), maka realitas kehidupan berubah-ubah.
Cara kita memadukan antara yang tetap dan yang berubah, juga mengalami perkembangan-perkembangan. Itu semua dalam rangka memahami realitas kebaruan yang senantiasa berbeda. Maka, tidak heran jika “manhaj” berpikir di dalam Muhammadiyah, juga senantiasa mengikuti perkembangan zaman (juga sains dan teknologi). Bahkan, boleh disebut bahwa “Manhaj Tarjih atau Manhaj Ijtihad Muhammadiyah” adalah hasil ijtihad itu sendiri. Artinya, ijtihad itu berlaku dalam level paradigmatik, metodologis, dan operasionalisasi teknis.
Implikasi dari refleksi filosofis ini membawa kepada pengertian bahwa Islam Berkemajuan, bukanlah hal yang selesai, terdefinisikan, dan menjadi obyek taklid. Pada akhirnya, Islam Berkemajuan boleh saja diklaim sebagai praksis Islam yang serba baik dan penuh kebajikan. Akan tetapi, dalam rangka menuju yang baik itu, kita harus menempuh proses pelik yang terus-menerus berubah. Sekarang pertanyaannya adalah, apakah para aktivis Muhammadiyah masih memiliki cukup energi dan persistensi dalam mengupayakan kemajuan yang kontinyu?