Oleh. : Sudarnoto Abdul Hakim
Perbincangan banyak kalangan terkait dengan efek disruptif teknologi tinggi digital era revolusi industri 4.0 yang berkembang dengan begitu cepat dan ekstensif sudah banyak dilakukan. Banyak benefit yang memang bisa diperoleh masyarakat dari revolusi digital ini.
Tidak saja komunikasi real time yang bisa dilakukan dan pola hubungan yang jauh lebih terbuka dan liberal yang tercipta, akan tetapi setiap individu memperoleh peluang yang sangat jembar untuk.
Misalnya, mengembangkan bisnis di sektor apapun dengan memanfaatkan teknologi digital semaksimal mungkin. Semakin tinggi kemampuan seseorang menguasai teknologi informasi komunikasi ini, akan semakin besar juga peluang dan benefit yang akan diperoleh. Tak terkecuali, kepentingan dan tujuan-tujuan sosial, politik dan ideologi berbagai kelompok interest groups dilakukan melalui media digital ini.
Tak heran kalau kemudian setiap individu akan menyaksikan dengan terang benderang dan bahkan terlibat, misalnya, dalam rivalitas dan bahkan pertentangan yang panas dan berkepanjangan di kalangan kelompok-kelompok sosial, politik dan ideologis melalui media-media digital. Bahkan hal ini juga terjadi dengan melibatkan sentimen agama di kalangan masyarakat.
Era digital ini menawarkan sebuah karakteristik yaitu “ketakterbatasan dan keterbukaan.” Teknologi digital adalah sebuah wilayah yang tidak ada pembatasnya dan begitu terbuka (borderless and open area) dimana secara bebas setiap individu bisa memasuki. Hemat penulis ini menjadi isu yang sangat penting untuk dicermati karena menimbulkan berbagai implikasi serius, antara lain adalah:
Pertama, secara kultural setiap individu bisa berselancar dan melakukan visits secara bebas serta melakukan kontak dengan siapapun dengan latar belakang etnis, bangsa dan agama apapun secara tak terbatas.
Ini memberikan ruang yang besar juga bagi setiap individu untuk melakukan dialog dan saling berakomodasi dan bahkan berbenturan saling menyerang dengan berbagai alasan.
Setiap individu, secara bebas bisa menyatakan pandangan dan sikap untuk menghormati atau tidak menghormati, saling melindungi atau saling merusak wilayah dengan orang dari latar belakang budaya, ideologi dan politik yang berbeda.
Kedua, secara ideologis teknologi digital menjadi instrumen penting propaganda dan pergumulan berbagai ideologi dunia yang mapan dan bahkan juga merupakan bagian penting melahirkan ideologi baru.
Contoh yang sangat kongkrit yang muncul dan berkembang serta kemudian mempengaruhi publik secara ekstensif di media sosial di Indonesia antara lain ialah propaganda kapitalisme, hedonisme, liberalisme, komunisme, Islamisme, sekularisme dan permisivisme.
Ketiga, secara keagamaan, teknologi digital menjadi bagian atau faktor sangat penting menguatnya spirit relijiusitas di kalangan masyarakat untuk mendalami dan mempraktekkan ajaran agama.
Informasi dan kajian Keislaman bidang Aqidah, Fiqih, Tasawuf dan bidang bidang lain yang jauh lebih spesifik dan mendalam seperti Tafsir Alquran, Hadis dan pemikiran para Ulama dari berbagai Madzhab sebagaimana yang tertuang dalam banyak Kitab memperoleh kemudahan dan berkembang cukup pesat melalui teknologi digital ini.
Ekspose berbagai komunitas, organisasi dan kekuatan-kekuatan muslim secara kultural dan politik juga memperoleh peluang yang lebar dan leluasa. Bahkan, kecenderungan dan sentimen komunalistik di kalangan Muslim juga muncul. Ini, misalnya, terlihat dari sikap klaim atas diri dan kelompoknya sebagai yang paling atau lebih “Islami” dari pada yang lain. Namun demikian, gagasan Wasatiyatul Islam yang memang merupakan mainstream di Indonesia tentu saja menjadi penting antara lain untuk menjaga agar gerakan dan faham ideologis Salafy Irhaby tidak masuk dan mempengaruhi masyarakat.
Keempat, teknologi digital menjadi tempat penyemaian dan penyebaran yang baik nilai-nilai moral dan etika kehidupan baik yang bersumber dari agama maupun dari filsafat, ideologi dan sistim kepercayaan apapun.
Sifat keterbukaan teknologi digital ini pada akhirnya menjadi arena terbuka kontestasi nilai-nilai tersebut. Tidak ada jaminan bahwa nilai-nilai agama dan juga nilai nilai lain menjadi dominan dan memenangkan kontestasi sehingga benar-benar berpengaruh terhadap seluruh sistim tindakan masyarakat.
Tidak ada jaminan misalnya Hoax, bully, viktimisasi, hate speech, pornografi dan lain lain akan berhenti. Begitu juga tidak ada jaminan bahwa seluruh nilai luhur yang diajarkan agama akan mewarnai seluruh program yang tersedia di media sosial. Inilah yang juga menjadi perhatian banyak kalangan terkait dengan soal nasionalisme.
Bagaimana nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila secara meyakinkan dan efektif bisa diinternalisasikan, dipahami dan diimplementasikan oleh generasi digital? Bagaimana nasionalisme bisa diyakinkan kepada generasi yang telah terdisrupsi sedemikian rupa oleh elemen-elemen budaya dan gambaran lifestyle global yang dalam berbagai hal sebetulnya tidak bersesuaian dan bahkan bertentangan dengan nilai-nilai kepribadian luhur Indonesia? Tentu ini tantangan serius.