Pada hari Rabu-Jum’at 24-26 Muharam 1446/31 Juli-2 Agustus 2024 telah diselenggarakan “Seminar Sistem Istinbath Hukum Islam Bahtsul Masail: Metode Penentuan Awal Bulan Hijriah” bertempat di Hotel University Yogyakarta. Kegiatan ini merupakan kerjasama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), Kementerian Agama RI, dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Salah satu persoalan yang diangkat adalah perlunya sidang Isbat setiap awal bulan kamariah. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga konsistensi umur bulan kamariah karena “9 bulan non isbat” juga di dalamnya ada hal-hal terkait persoalan ibadah, seperti puasa ayyamul bid, Asyura, dan nisfu Syakban.
Dalam sambutannya, Rektor UIN Sunan Kalijaga Al Makin berterima kasih dipercaya menjadi tuan rumah. Sementara itu K.H. Zulfa Mustofa, Wakil Ketua Umum PBNU dalam sambutannya menjelaskan kerangka berpikir dan sistem kerja Lembaga Bahtsul Masail yang termuat dalam Peraturan Perkumpulan Nahdlatul Ulama (PPNU) No 7 Tahun 2024 tentang Pembahasan dan Penetapan Hukum atau Masalah Keagamaan dan Kemasyarakatan.
Menurutnya, para ulama zaman dahulu memiliki kemampuan menguasai turats yang sangat bagus dan memiliki kemampuan kontekstualisasi. Oleh karena itu, ia berharap dalam Bahtsul Masail yang perlu dikembangkan “manhajnya bukan aqwalnya” sehingga produk-produknya lebih membumi dan sesuai tuntutan zaman.
Selanjutnya, Kyai Zulfa menjelaskan aktivitas Bahtsul Masail telah dilakukan sejak awal. Namun secara kelembagaan baru lahir pada Muktamar NU di Yogyakarta tahun 1410/1989 dan kerangka berpikir akademiknya dirumuskan sejak Munas Alim-Ulama pada tanggal 16-20 Rajab 1412 bertepatan 21-25 Januari 1992 di Lampung. Setelah itu mengalami dinamika untuk merespons perkembangan zaman. Bahkan kini aspek Maqasid asy-Syari’ah juga menjadi perhatian. Begitu pula kitab-kitab yang dijadikan rujukan mengalami penambahan.
Di sisi lain, hasil kajian yang dilakukan oleh Ahmad Zahro menyimpulkan bahwa selama 78 tahun (1344-1420/1926-1999) telah dilaksanakan sebanyak 39 Bahtsul Masail. Berdasarkan penelitiannya terdapat 6 Bahtsul Masail yang tidak ditemukan datanya. Dengan kata lain, selama 33 kali Bahtsul Masail menghasilkan 505 keputusan (428 tentang fikih dan 77 tentang non fikih). Dijelaskan pula bahwa pada Bahtsul Masail tersebut, terdapat 20 kitab yang menjadi rujukan utama untuk menjawab persoalan-persoalan yang diajukan yaitu I’anatut Talibin hingga Fathul Qarib.
Dalam konteks hisab rukyat, harus diakui NU mengalami perkembangan pemikiran yang luar biasa. Namun jika ditelusuri lebih jauh dan dikaitkan dengan metode istinbat yang dikembangkan oleh Lembaga Bahtsul Masail, maka dinamika pemikiran hisab rukyat masih didominasi pola pikir qauli dan ilhaqi.
Hal ini sejalan dengan kesimpulan Ahmad Zahro bahwa Bahtsul Masail menggunakan metode qauli sebesar 84,6 %, ilhaqy sebesar 7,7 %, manhajy sebesar 1,9 %, dan tidak jelas metodenya sebesar 5,8 %. Akibatnya, hingga kini rukyat menjadi pilihan utama dan penentu untuk menetapkan awal bulan kamariah sejak Muharam hingga Zulhijah.
Gerakan “Manhaji” sebagaimana pesan Kyai Zulfa di atas perlu menjadi kesadaran para pengurus Lembaga Falakiyah dari tingkat pusat hingga daerah. Jika hal ini bisa dilakukan, maka dialog tentang Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) akan lebih cair dan tidak mustahil NU akan menerima untuk mengimplementasikannya.
Hal ini sebagaimana semangat K.H. Hasyim Asy’ari ketika berpesan untuk dibuatkan lambang NU oleh Kyai Ridwan Abdullah. Salah satunya memasukkan Q.S. Ali Imran ayat 112 berbunyi “Wa’tasimu bihablillahi Jami’a Wala Tafarraqu” disimbolkan dengan tali tambang mengelilingi bola dunia sebagai tanda ukhuwah Islamiyah.
KHGT telah ditanfidz pada tanggal 7 Muharam/13 Juli 2024 berarti resmi digunakan Muhammadiyah sebagai pedoman dalam penentuan awal bulan kamariah sekaligus “mengembangkan” konsep wujudul hilal yang selama ini dipedomani.
Muhammadiyah sebagai kakak tertua dari NU perlu melakukan sosialisasi lebih intensif dan berdialog secara substantif dengan berbagai ormas Islam di Indonesia.
Sosialisasi dan dialog, khususnya dengan NU perlu dilakukan pada level Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Jika pertemuan hanya dilakukan pada level Majelis dan Lembaga yang sifatnya hanya sebagai “pembantu”, maka hasilnya kurang maksimal sebagaimana yang berjalan selama ini.
Dialog substantif tentang penentuan awal bulan kamariah antara kakak dan adik sangat diperlukan. Hal ini sejalan dengan teori habitus yang dikembangkan oleh Pierre Bordieu. Mengapa? Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama memiliki “modal dan kekuatan” mengajak arus bawah untuk mengimplementasikan KHGT.
Keberhasilan dialog dan kesepakatan yang dirumuskan kedua belah pihak akan berdampak bagi masyarakat luas baik nasional maupun internasional. Keduanya memiliki perwakilan di berbagai belahan dunia melalui Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) dan Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU). Keberadaan PCIM dan PCINU bisa menjadi jembatan dan duta bagi keduanya.
KHGT mengadopsi hasil pertemuan Turkiye 1437/2016 merupakan produk yang dihasilkan melalui ijtihad kolektif para pakar dari berbagai belahan dunia Islam dengan segala kelebihan dan kekurangannya saat ini. Salah satu tujuan utamanya adalah untuk mewujudkan ukhuwah Islamiyah dalam penjadwalan waktu ibadah dan muamalah tingkat global.
Bagi NU, untuk memahaminya perlu menggunakan pendekatan manhaji dan maqasidi dengan mempertimbangkan kehidupan kontemporer sebagaimana semangat yang tertuang di PPNU No 7 Tahun 2024 tentang Pembahasan dan Penetapan Hukum atau Masalah Keagamaan dan Kemasyarakatan di atas, khususnya yang tertuang pada pasal 15 tentang prosedur Istinbat Jama’i.
Untuk itu, perlu dijadwalkan secara berkesinambungan pertemuan antara Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama mendialogkan kerangka berpikir dalam beristinbat ala NU dan KHGT yang dikembangkan Muhammadiyah.
Dengan kata lain, mendialogkan kerangka kerja beristinbat dan konsep KHGT untuk mewujudkan ukhuwah Islamiyah tingkat global. Hal ini memang tidak semudah membalikkan tangan namun harus diupayakan. Dengan demikian, tidak terkesan persoalan hisab dan rukyat atau implementasi KHGT terjadi tarik-menarik antara “projek anggaran dan projek peradaban”.