Istilah pluralisme positif dalam buku ini dipinjam dari gagasan almarhum Kuntowijoyo dalam Muslim Tanpa Masjid (2001). Pak Kunto membedakan antara pluralisme positif dan pluralisme negatif.
Ada yang menyebut istilah pseudo-tolerance untuk pengertian serupa dengan pluralisme negatif, yang dimaknai sebagai sikap berpura-pura atau tidak berterus terang dalam menganut suatu keyakinan, dan dalam kasus tertentu bahkan cenderung mencampuradukkan agama. Bisa disebut pluralisme artifisial. Padahal, sikap genuine dengan keyakinan sendiri yang disertai keterbukaan dan kesediaan menghargai keyakinan berbeda, menjadi modal utama relasi antaragama.
Dalam konsep pluralisme positif Muhammadiyah, peserta didik diarahkan untuk percaya diri dengan keyakinan yang dipeluknya disertai sikap menghargai agama orang lain yang berbeda dan bersedia hidup bersama. Pluralisme positif mencakup beberapa aspek. Pertama, sikap positif terhadap suatu keyakinan dan memeluk salah satu agama, bukan ateis atau agnostik. Kedua, sikap positif terhadap orang lain yang berbeda keyakinan. Ketiga, memahami dan menerima orang lain yang berbeda secara kepercayaan. Keempat, memberikan akomodasi bagi orang lain agar dapat melaksanakan keyakinannya (hlm 116).
Cara pandang dan perilaku Muhammadiyah yang menjunjung pluralisme positif bisa ditelusuri pada perilaku tokoh awal Muhammadiyah, dokumen-dokumen resmi organisasi, dan aktivitas Muhammadiyah di semua bidang. Pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan memiliki jejak persahabatan dengan banyak kalangan.
Kiai Dahlan antara lain bersahabat dengan seorang misionaris bernama Domine Baker hingga Pastor Van Lith di Muntilan, berteman akrab dengan para tokoh komunis dan sosialis semisal Alimin, Soedarsono, hingga Sema’un. Alwi Shihab dalam Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (1998) menyebut bahwa kelahiran Muhammadiyah merupakan wujud respons yang tidak konfrontatif terhadap Barat.
Keterbukaan Muhammadiyah dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif turut didorong oleh pandangan Kiai Dahlan. Misalnya dalam Kongres Al-Islam di Cirebon, Kiai Dahlan menyatakan, “Jadi orang Islam itu bersifat dua, yaitu sifat guru dan sifat murid” yang menunjukkan peran untuk terus belajar dan berbagi pengetahuan tanpa memandang latar belakang.
Di bagian lain dikatakan, “Manusia wajib mencari tambahnya ilmu pengetahuan, jangan sekali-kali merasa telah cukup pengetahuannya, apalagi menolak pengetahuan orang lain… Manusia itu perlu dan wajib menjalankan dan melaksanakan pengetahuannya yang utama, jangan hanya sekedar sebagai pengetahuan semata.”
Dokumen awal seperti asas PKU menyebut bahwa aktivitas kemanusiaan Muhammadiyah tidak dalam kerangka memaksa orang menjadi Islam dan menjadi Muhammadiyah. Dokumen resmi Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah (1946) di salah satu poinnya menyatakan, “Hidup bermasyarakat itu adalah sunah (hukum qudrat-iradat) Allah atas kehidupan manusia di dunia ini.”
Prinsip serupa menjadi sifat utama yang tercantum dalam Kepribadian Muhammadiyah (1962). Dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (2000), dinyatakan bahwa warga Muhammadiyah diharapkan senantiasa menjalin persaudaraan dan relasi yang tidak diskriminatif dengan semua anggota masyarakat. Warga Muhammadiyah harus selalu membina hubungan harmonis dengan semua, termasuk yang beragama non-Muslim.
Salah satu penggalan PHIWM misalnya, “Dalam bertetangga dengan yang berlainan agama juga diajarkan untuk bersikap baik dan adil, mereka memperoleh hak-hak dan kehormatan sebagai tetangga, memberi makanan yang halal dan boleh pula menerima makanan dari mereka berupa makanan yang halal, dan memelihara toleransi sesuai dengan prinsip-prinsip yang diajarkan agama Islam.”
Pernyataan ini menyadari bahwa Islam merupakan agama toleran, dan praktiknya telah dicontohkan sejak di masa awal Nabi Muhammad menerima wahyu pertama, dan lalu berkosultasi dengan seorang rahib Nasrani, yang populer dikenal dengan nama Waraqaf bin Naufal. Demikian juga riwayat semisal tentang perlindungan Raja Najasyi pada umat Islam ketika awal mula hijrah ke Habasyah, riwayat Nabi yang membiarkan utusan Kristen Najran melakukan kebaktian di masjid, dan seterusnya.
Bagaimana dengan praktik pluralisme positif di lingkungan Muhammadiyah? Meskipun banyak dipraktikkan di berbagai institusi Muhammadiyah, namun belum banyak tulisan yang mendokumentasikan praktik tersebut. Abdul Mu’ti dan Fajar Riza Ul Haq melalui buku Kristen-Muhammadiyah: Konvergensi Muslim dan Kristen dalam Pendidikan (2009) berhasil membuka mata banyak orang tentang Muhammadiyah.
Orang baru menyadari bahwa Muhammadiyah tidak hanya berwacana tentang pluralisme, namun mewujudkannya dalam praktik nyata. Kajian ini mengungkap konvergensi Muhammadiyah dengan masyarakat agama Kristen dan Katolik di Ende, Nusa Tenggara Timur; Puttusibau, Kalimantan Barat; dan Serui, Papua.
Buku Pluralisme Positif, Konsep dan Implementasi dalam Pendidikan Muhammadiyah ini mencoba menunjukkan secara lebih lugas tentang pandangan dan implementasi pluralisme positif Muhammadiyah. Terkhusus dalam aktivitas pendidikan yang dijalankan sejak seabad yang lalu.
Institusi pendidikan Muhammadiyah di Indonesia Timur menjalankan peran penting mencerdaskan kehidupan bangsa hingga pelosok terjauh dan sekaligus sebagai duta perdamaian di tengah keragaman. Sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah menyediakan wadah untuk saling bertegur sapa, mengenal, dan berkolaborasi. Muhammadiyah dengan prinsip “fastabiqul khairat” mengajak semua warga negara yang berbeda secara latar belakang untuk maju bersama.
Menurut telusuran penulis buku ini, terdapat paling minimal enam Perguruan Tinggi Muhammadiyah di kawasan Indonesia Timur yang memiliki persentase peserta didik non-Muslim dalam kisaran angka 70-80 persen. Empat institusi di Papua dan dua lainnya di Nusa Tenggara Timur.
Lembaga tersebut adalah Universitas Muhammadiyah Sorong, Universitas Pendidikan Muhammadiyah Sorong, STKIP Muhammadiyah Manokwari, STIKOM Muhammadiyah Jayapura, Universitas Muhammadiyah Kupang, dan IKIP Muhammadiyah Maumere (hlm 168-169).
Demikian halnya dengan pluralisme positif yang diterapkan oleh lembaga pendidikan Muhammadiyah di tingkatan Sekolah Menengah Atas. Semisal di SMA Muhammadiyah 4 Porong dan beberapa SMA Muhammadiyah di Kupang. Institusi pendidikan Muhammadiyah menyediakan guru agama yang direkomendasikan komunitas agama setempat sesuai dengan agama peserta didik.
Praktik ini bahkan sudah dijalankan Muhammadiyah sebelum adanya Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
Keterangan Buku
Judul : Pluralisme Positif, Konsep dan Implementasi dalam Pendidikan Muhammadiyah
Penulis : Abdul Mu’ti dan Azaki Khoirudin
Penerbit : MPI PP Muhammadiyah dan Universitas Muhammadiyah Jakarta
Cetakan : I, Agustus 2019
ISBN : 978-602-60970-4-0
Editor: Nabhan