Sejak berdiri dari tahun 1912 hingga saat ini, dakwah dan kiprah Muhammadiyah terhadap bangsa Indonesia setidaknya telah melewati 7 fase kepemimpinan presiden. Mulai dari era presiden Soekarno hingga Joko Widodo, Muhammadiyah mampu bertahan di tengah kondisi bangsa yang begitu dinamis. Lalu, bagaimana hubungan Muhammadiyah dan Soeharto?
Muhammadiyah di Benak Soeharto
Ujian yang dialami Muhammadiyah sangat terasa ketika berada dalam era Orde Baru. Sistem politik yang totaliter membuat organisasi yang saat itu bertahan mau tidak mau harus menunjukkan sikap yang kooperatif dan pro terhadap pemerintah. Beruntung saja saat itu Muhammadiyah dipimpin oleh KH AR Fachruddin, sosok yang mampu bersikap adaptif terhadap kondisi bangsa.
Seperti kebijakan Orde Baru mengenai asas tunggal Pancasila yang memicu perdebatan dimana-mana. Muhammadiyah sendiri baru menerima asas tunggal tersebut setelah melalui perdebatan yang cukup serius dalam Muktamar ke-41 di Surakarta. KH AR Fachruddin, Ketua PP Muhammadiyah saat itu, mengibaratkan asas tunggal seperti “helm” bagi pengendara motor. Artinya, asas tunggal hanya dijadikan pelindung dari kemungkinan kecelakaan dalam perjalanan.
Hal ini kemudian dijelaskan kembali melalui tesis Yasri Sulaiman mengenai kepemimpinan AR Fachruddin yang memiliki orientasi politik moderat dan akomodatif terhadap pemerintah. Untuk mengalokasikan nilai-nilai Islam kepada Presiden Soeharto, AR Fachruddin melakukannya dengan jalan bertemu langsung, bertatap muka, mengutamakan dialog, dan menghindari kritik terbuka.
Konon, tidak jarang dalam dialog dengan Presiden Soeharto, AR Fachruddin menggunakan bahasa Jawa krama inggil sehingga semakin mendekatkan, sekaligus mencairkan pembicaraan. Dengan cara demikian, maka diplomasi dan lobi Muhammadiyah memiliki peluang yang besar untuk didengarkan dan diterima presiden. Dengan demikian, Muhammadiyah di benak Soeharto bisa dibilang memiliki posisi yang spesial.
Amanat Presiden Soeharto
Pidato resmi Presiden Soeharto di acara Muhammadiyah pertama kali disampaikan ketika sidang Tanwir Muhammadiyah tahun 1967 di Yogyakarta. Pada kesempatan tersebut Presiden Soeharto menyampaikan bahwa perjuangan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam memliki fungsi politk riil dalam merealisasikan perjuangan Orde Baru dan Demokrasi Pancasila.
Beliau juga menyosialisasikan mengenai wacana satu Partai Islam baru yang sesuai dengan UUD 1945 serta landasan-landasan Orde Baru yang telah digariskan oleh MPRS. Di akhir pidato, beliau berpesan dengan tegas agar Muhammadiyah mampu memahami pandangan pemerintah mengenai wacana satu partai Islam baru.
Setahun setelahnya, Presiden Soeharto kembali menghadiri hajatan Muhammadiyah dalam penutupan Muktamar Muhammadiyah ke 37 di Yogyakarta. Di awal sambutan, beliau menyampaikan kepercayaaanya terhadap peran Muhammadiyah dalam pembangunan bangsa.
“Saya pribadi, selamanya menaruh perhatian terhadap setiap gerak dan langkah Muhammadiyah, bahkan terus terang, saya mempunyai harapan dan keyakinan, bahwa dengan bantuan nyata dari Muhammadiyah maka tugas-tugas berat yang dipikulkan oleh rakyat diatas pundak saya, pasti akan lebih berhasil”.
Di sela-sela sambutan, beliau juga mengingatkan akan peran aktif Muhammadiyah dalam rencana pembangunan lima tahun (Pelita). Sebagai organisasi yang bergerak di bidang sosial dan pendidikan, kontribusi Muhammadiyah sangat dibutuhkan untuk mencapai target pembangunan sososial dan pembangunan mental bangsa Indonesia.
Bibit Muhammadiyah
Presiden Soeharto kemudian hadir kembali dalam pembukaan Muktamar Muhammadiyah ke 41 di Surakarta pada tahun 1985. DI kesempatan ini beliau menyampaikan bahwa dulu pernah mengenyam pendidikan di SMP Muhammadiyah Yogyakarta. Tak lupa beliau menyinggung kiprah Muhammadiyah yang selama ini diberikan terhadap bangsa Indonesia,
“Muhammadiyah mempunyai tempat khusus di hati rakyat Indonesia umumnya dan kaum muslimin khususnya. Siapakah yang tidak tahu Muhammadiyah? Sejak bangsa kita masih dalam belenggu penjajahan dahulu, Muhammadiyah telah dikenal oleh rakyat Indonesia terutama di bidang dakwah, pendidikan dan sosial”.
Muktamar Muhammadiyah kemudian seterusnya dibuka secara resmi oleh Presiden Soeharto hingga Muktamar Muhammadiyah yang 43 di Banda Aceh pada tahun 1995. Selain menyampaikan kesiapan bangsa dalam menyongsong abad ke 21, beliau juga mengapresiasi amal usaha Muhammadiyah yang telah menyebar di berbagai daerah sebagai bentuk tanggung jawab nyata untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Tanpa tedeng aling-aling saya katakan: saya ini bibit Muhammadiyah yang ditanam di bumi Indonesia, dan mendapat kepercayaan untuk memimpin bangsa. Semoga yang saya lakukan tidak mengecewakan Muhammadiyah”.
Pernyataan Presiden Soeharto secara umum tidak hanya membanggakan warga Muhammadiyah saja, tapi juga memudahkan gerak langkah organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini. Setelah Soeharto mengaku sebagai bibit yang ditanamkan Muhammadiyah, banyak di antara tokoh pemerintahan yang mengaku simpatisan atau anggota Muhammadiyah.
Riwayat hidup Soeharto memang tak bisa dilepaskan dari Muhammadiyah. Meskipun tidak memiliki nomor baku Muhammadiyah (NBM) sebagai tanda keanggotaan secara resmi, Soeharto bisa dikatakan sebagai calon kader Muhammadiyah karena menurut Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-43 di Banda Aceh, lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah ditetapkan sebagai salah satu sumber calon kader Muhammadiyah.
Editor: Nabhan