Sebagai salah satu organisasi keagamaan terbesar dan terkaya di dunia, Muhammadiyah menempati posisi strategis dalam membentuk arah peradaban Islam kontemporer. Dengan status sebagai ormas Islam terkaya keempat di dunia, Muhammadiyah memiliki bukan hanya aset material, tetapi juga warisan ideologis, intelektual, serta jaringan sosial dan institusional yang kuat. Dengan seluruh modal sosial dan kapital yang dimiliki oleh Muhammadiyah, maka sangat mungkin Muhammadiyah dapat menawarkan peradaban baru untuk Islam secara global.
Namun, bagaimana posisi Muhammadiyah dalam kancah global dan nasional saat ini? Apa tantangan hubungan organisasi ini dengan ranah politik? Dan bagaimana prospeknya sebagai pelopor peradaban Islam modern yang rasional, inklusif, dan transformatif?
Ketegangan Internal: Politik dan Loyalitas Kader
Dalam beberapa tahun terakhir, keterlibatan kader Muhammadiyah di pemerintahan menghadirkan dinamika yang kompleks. Ketika sebagian kader bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah, sebagian lainnya justru menjalin sinergi. Friksi ini, meski akhirnya mereda, memunculkan kesan disharmoni di mata warga akar rumput.
Situasi ini menunjukkan tantangan nyata dalam menjaga keseimbangan antara peran Muhammadiyah sebagai gerakan sosial-keagamaan dan keterlibatan individu kader dalam politik praktis. Isu-isu seperti benturan ideologi, loyalitas ganda, hingga pengelolaan aset organisasi menjadi sorotan yang tak terelakkan.
Muhammadiyah secara tegas menyatakan tidak terlibat dalam politik praktis, memberi kebebasan kepada warga persyarikatan untuk memilih sesuai nurani. Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, menegaskan bahwa Muhammadiyah tidak akan mengarahkan dukungan kepada calon manapun dalam Pemilu 2024. Namun, kekhawatiran tetap muncul bahwa keterlibatan kader dalam partai politik membawa kepentingan eksternal ke dalam ruang-ruang organisasi. Ketua LPCR Muhammadiyah, Jamaluddin Ahmad, juga mengingatkan agar perbedaan pandangan politik tidak merusak suasana musyawarah dalam organisasi.
Selain itu, tantangan ideologis juga kian nyata. Beberapa kader mulai tertarik pada kelompok lain yang memiliki pandangan berbeda, khususnya aliran Salafi. Gejala ini menandakan adanya kelemahan dalam internalisasi nilai-nilai ideologis Muhammadiyah serta longgarnya penguatan kaderisasi. Moderatisme yang menjadi ciri khas Muhammadiyah seharusnya tidak mengaburkan prinsip ideologi, tetapi justru mendorong keluwesan dalam beragama tanpa kehilangan arah.
Keputusan Muhammadiyah untuk menerima tawaran pengelolaan tambang batu bara dari pemerintah juga menjadi polemik. Sebagian kader melihat hal ini sebagai peluang dakwah, namun sebagian lainnya khawatir hal ini merusak citra Muhammadiyah sebagai gerakan sosial-keagamaan. Meski teknologi informasi kian canggih, komunikasi internal organisasi masih perlu ditingkatkan agar kebijakan strategis tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Untuk mengatasi potensi konflik, Muhammadiyah menekankan pentingnya islah (rekonsiliasi) dan ukhuwah (persaudaraan). Haedar Nashir berulang kali mengingatkan bahwa perbedaan pendapat merupakan hal yang wajar, selama dikelola dengan matang. Meskipun Muhammadiyah telah teruji dalam medan dakwah, potensi konflik internal tetap harus diantisipasi dan diselesaikan secara ihsan.
Modal Peradaban: Antara Kapital Sosial dan Ideologi Islam Berkemajuan
Lahir pada 1912 sebagai respons terhadap kemunduran umat Islam dan kolonialisme, Muhammadiyah hadir dengan tawaran Islam yang rasional, modern, dan bersih dari takhayul. Kini, dengan lebih dari 170 perguruan tinggi, ribuan sekolah dan rumah sakit, Muhammadiyah bukan hanya gerakan dakwah, tetapi kekuatan peradaban.
Lalu, apa daya tawar Muhammadiyah bagi peradaban dunia?
Kapital sosial dan budaya Muhammadiyah terbilang mapan. Jaringan ekonomi, aset institusional, dan gerakan filantropi berbasis nilai Islam menjadi kekuatan utama. Kekayaan Muhammadiyah bukan sekadar nominal, tetapi institusional dan transformasional—dari pengelolaan zakat modern, ribuan amal usaha, hingga tata kelola wakaf yang transparan.
Kapital intelektual dan ideologisnya juga telah terbukti kokoh selama lebih dari satu abad. Ideologi Islam Berkemajuan menjadi tawaran khas Muhammadiyah: Islam yang memadukan wahyu dan akal, tidak anti-modernitas, serta aktif membangun tatanan dunia baru yang adil. Konsep darul ‘ahdi wa syahadah menegaskan bahwa negara adalah tempat kesepakatan dan kesaksian umat untuk menjalani keislaman dan keindonesiaan secara bersamaan.
Muhammadiyah dan Politik: Kekuatan Moral Bukan Kekuasaan
Prinsip politik kebangsaan menjadi pegangan Muhammadiyah. Artinya, Muhammadiyah bukan partai, tetapi memiliki kapasitas mobilisasi sosial yang sangat besar—jutaan kader tersebar di birokrasi, sektor pendidikan, kesehatan, dan profesional lainnya. Ruang advokasi tetap terbuka, melalui Majelis Tarjih, MPKU, dan amal usaha. Dalam isu HAM, keadilan sosial, hingga korupsi, Muhammadiyah konsisten sebagai oposisi moral.
Namun, kedekatan kader dengan kekuasaan bisa menjadi pedang bermata dua. Elitisme politik dapat mengaburkan posisi kritis Muhammadiyah dan memperlemah daya juangnya. Muhammadiyah tidak anti-politik, tapi selektif secara ideologis. Tantangannya bukan pada politik itu sendiri, melainkan pada nilai apa yang dibawa ketika seorang kader berpolitik.
Tawaran Peradaban Muhammadiyah: Dari Indonesia untuk Dunia
Muhammadiyah menawarkan Islam Berkemajuan sebagai alternatif dari dua ekstrem: fundamentalisme dan stagnasi. Pendidikan Islam modern yang memadukan sains, etika, dan spiritualitas menjadi kontribusi nyata. Model civil Islam ala Muhammadiyah—yakni gerakan sipil yang mampu menciptakan perubahan meski di luar struktur negara—menjadi bukti bahwa perubahan tidak harus datang dari atas.
Peran Muhammadiyah sebagai penengah ideologis, penopang etika publik, serta penguat demokrasi berbasis partisipasi rasional dan moral menjadikannya modal penting bagi peradaban dunia. Amal usaha yang mandiri dan akuntabel menjadi contoh Islam praktis yang membumi.
Muhammadiyah dan Masa Depan Peradaban Umat Global
Peluang Muhammadiyah untuk menjadi pelopor peradaban Islam global sangat besar. Syaratnya, penguatan institusi, kaderisasi ideologis melalui Ortom dan perguruan tinggi, serta dukungan umat yang lintas kelas harus terus dijaga. Yang lebih penting, soliditas anggota dalam mengawal kebijakan persyarikatan secara kritis dan beradab menjadi modal utama.
Namun, tantangan tetap ada—baik internal seperti konservatisme sebagian warga dan resistensi terhadap pembaruan ideologis, maupun eksternal seperti kooptasi politik, marginalisasi dalam kebijakan negara, dan tekanan global terhadap Islam.
Sebagai kader dan simpatisan, kita patut optimis bahwa Muhammadiyah memiliki kapasitas, legitimasi, dan kredibilitas untuk menjadi pelopor peradaban Islam masa depan. Hal ini akan terwujud hanya jika kita mampu menjaga otonomi ideologis dari politik pragmatis, menghidupkan militansi intelektual dan praksis sosial, membangun jejaring global, serta menghadirkan narasi Islam progresif yang mampu menjawab problem dunia: kemiskinan, ekologi, pendidikan, dan perdamaian.
Muhammadiyah tak cukup besar secara institusi. Ia juga harus tajam secara ideologi, dan visioner dalam mengubah dunia.
Editor: Assalimi