Benarkah Muhammadiyah Islam Protestan?
Muhammadiyah merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan dunia di bidang pelayanan sosial, terutama dalam gerakan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Mirip Reformasi Protestan di Eropa, Muhammadiyah dinilai sarjana dalam dan luar negeri sebagai model gerakan reformasi Islam di Indonesia.
Adalah Sukidi, dalam tulisannya berjudul Etika Protestan Muslim Puritan Muhammadiyah sebagai Reformasi Islam Model Protestan menyandingkan Muhammadiyah dengan Kristen Protestan. Argumen utamanya adalah prinsip-prinsip dasar gerakan reformasi Islam Muhammadiyah, pada tingkat tertentu, mirip dengan Reformasi Protestan Calvinis. Karena itu, Muhammadiyah pantas disebut sebagai Reformasi Islam model Protestan, dengan argumen berikut:
Kemiripan Muhammadiyah dengan Protestan
Seperti halnya Reformasi Protestan di Eropa, Muhammadiyah dinilai sarjana dalam dan luar negeri sebagai model gerakan reformasi keagamaan dalam konteks Indonesia. Lalu, apa kesamaan antara Muhammadiyah dan Protestan?
Pertama, kembali kepada kitab suci. Muhammadiyah mengajarkan ar-ruju’ ila quran wa sunnah (kembali kepada Alquran dan Sunah). Sementara Kristen Protestan mengajarkan dokrtin sola scriptura (kembali pada kitab suci, dalam hal ini Bibel). Bibel dan Alquran pun diletakkan sebagai sumber utama otoritas dan legitimasi.
Kedua, memahami bahwa tidak ada perantara antara manusia dengan Tuhan. Muhammadiyah menganggap penganut agama Islam bertanggung jawab langsung kepada Allah dengan disertai etos kerja. Muhammadiyah juga memiliki ritual-ritual yang cenderung sederhana.
Sementara itu, kecenderungan semacam ini tergambarkan dalam doktrin sola fide dalam Kristen Protestan. Ketiadaan perantara antara manusia dengan Tuhan ini tergambarkan dalam minimalisasi unsur sakramen, deligitimasi radikal atas sistem Imamat, dan penolakan terhadap gereja yang hierarkis dan korup.
Ketiga, menolak piranti magis dalam pencarian keselamatan. Muhammadiyah di awal kehadirannya dicirikan dengan gerakan menolak tahayul, bid’ah, serta khurafat. Karena Muhammadiyah memandang elemen-elemen magis adalah nonrasional dan harus dibersihkan dari praktik Islam serta urusan-urusan dunia. Teologi dan praktik Calvinis pun menolak segala piranti magis dalam pencarian keselamatan.
Keempat, kemiripan dalam hal rasionalisasi sebagai konsekuensi dari poin ketiga. Muhammadiyah menganggap keharusan untuk bersikap kritis, berlawanan dengan sikap taklid (mengikuti pendapat orang lain secara membabi-buta). Taklid pun harus diganti dengan pemikiran rasional dan independen (ijtihad).
Sejak awal didirikan, kerapian organisasi pun menjadi ciri khas Muhammadiyah. Hal ini seiring dengan kebutuhan efisiensi dan administrasi dunia modern. Begitu pula dengan Calvinisme yang dipandang memiliki pencapaian secara lebih jenius untuk organisasi sosial dibanding Lutheran.
Kelima, kesederhanaan. Protestan asketis, terutama Calvinis, memilih cara-cara asketis untuk mengubah dunia. Hal serupa diterapkan oleh warga Muhammadiyah yang menerapkan tasawuf modern tanpa melarikan diri dari hal-hal duniawi, seperti pekerjaan, perekonomian, dan semacamnya.
Mengapa Etika Protestan Mengakar di Muhammadiyah?
Tesis Weber yang dikutip oleh Sukidi menyebutkan bahwa Protestan asketis (Calvinis, Pietis, Methodis, dan sekte Baptis) menjadi kekuatan-kekuatan efektif dalam menumbuhkan spirit kapitalisme rasional modern di Barat. Hal ini didukung dengan fakta empiris industriwan, pengusaha, ahli keuangan, dan tenaga kerja di bidang lain yang cakap ternyata didominasi Protestan ketimbang Katolik.
Berdasarkan kesamaan-kesamaan Muhammadiyah dengan Protestan Protestan khususnya Calvinis tersebut, lalu muncul pertanyaan: apa yang menyebabkan Etika Protestan mengakar di Muhammadiyah? Ada beberapa penjelasan yang disebutkan oleh Sukidi.
Pertama, Kiai Dahlan dan Haji. Setelah pulang dari tanah suci, Kiai Dahlan terinspirasi gerakan reformisme Islam. Seperti pentingnya kembali kepada Alquran dan Sunnah, purifikasi Islam, penalaran rasional, penolakan takhayul, bidah dan khurafat, serta kontekstualisasi ajaran Islam yang selaras dengan tuntutan dunia modern.
Selain terkait pemikiran, ternyata terdapat kaitan erat antara haji dengan saudagar. Kebanyakan orang-orang yang telah menunaikan ibadah haji cenderung modal dan jiwa berwirausaha dibanding rekan-rekan di pedesaan. Para wirausahawan inilah yang kemudian banyak berkontribusi terhadap Muhammadiyah.
Kedua, warga Muhammadiyah yang terlibat usaha batik di Yogyakarta. Seperti telah diketahui bersama, Kiai Dahlan adalah sosok pemuka agama yang sederhana sekaligus juga pengusaha batik yang tentu saja bertujuan meraup keuntungan. Selain itu, di antara seluruh perusahaan batik di Yogyakarta, mayoritas dimiliki dan dijalankan oleh Muslim puritan Muhammadiyah.
Ketiga, prinsip-prinsip muslim borjuis tertanam dalam Muhammadiyah. Warga Muhammadiyah didorong untuk hidup sederhana sekaligus memiliki etos kerja yang baik, dengan penghasilan yang diperoleh secara mandiri. Spirit semacam ini mengindikasikan model etika kaum borjuis yang individual dan rasional.
***
Dengan demikian, warga Muhammadiyah adalah potret Muslim puritan yang asketis. Warga Muhammadiyah selain saleh secara individu juga mengabdikan dirinya secara rajin dan jujur pada aktivitas bisnis maupun sosial-keagamaan. Berdasarkan kesamaan-kesamaan tersebut, benarkah Muhammadiyah dapat disebut sebagai “Islam Protestan”?
Editor: Yahya