Usia yang semakin senja membawa kita pada dua hal. Dua hal itu adalah melemahnya imun, atau menguatnya daya tahan tubuh karena vitalitas terjaga. Begitu pula ketika kita melihat organisasi Muhammadiyah. Organisasi ini semakin lama semakin gemuk semakin tua. Ibarat tubuh, ia adalah gajah yang tambun. Ia akan begitu sulit bergerak, berjalan, dan melangkah cepat. Sebagai organisasi yang sudah tua, sebenarnya Muhammadiyah dengan pengalaman dan segenap potensinya, bisa semakin kuat dan mantap dalam menggairahkan dakwah berkemajuan.
Akan tetapi, bila kita tilik lebih jeli dalam rentang satu abad ini, Muhammadiyah mengalami banyak problem internal dalam tubuh organisasinya. Baik berupa persoalan perkaderan, persoalan amal usahanya, sampai dengan persoalan kebangsaan yang menuntut Muhammadiyah untuk cepat dan tepat memberikan responnya.
Masalah Perkaderan
Pada persoalan perkaderan misalnya, Muhammadiyah dihadapkan pada melemahnya persoalan perkaderan. MT Arifin dalam bukunya Potret Muhammadiyah Yang Berubah (2018) menyebutkan bahwa adanya kader-kader yang mendompleng di tubuh Muhammadiyah yang menggunakan Muhammadiyah sebagai batu loncatan dan mengejar kepentingan pribadi menjadi tanda krisis perkaderan di tubuh persyarikatan.
Gejala kemunduran dalam perkaderan ini bisa dilihat dari semakin kurangnya pengetahuan para kader Muhammadiyah mengenai sejarah dan tauladan para tokoh Muhammadiyah di masa lampau. Selain tidak mengenyam pendidikan di Muhammadiyah, para kader ini juga tidak digembleng dari tingkat perkaderan paling bawah. Sehingga mereka tak mengetahui arah dan perkembangan perkaderan yang berjenjang itu.
Secara ideologisasi, mereka belum begitu matang. Sementara kebutuhan orang di tubuh amal usaha hanya sekadar mensyaratkan formalitas seperti pernah ikut ortom dan aktif di cabang atau ranting. Sementara, dalam realitas di lapangan, seorang kader dituntut untuk melakukan perannya sebagai individual maupun sebagai insan organisasi yang memberikan kontribusi penting dalam tubuh organisasi.
Masalah Kebudayaan
Bila almarhum Kuntowijoyo menyebut Muhammadiyah amat sangat lemah dalam hal kebudayaan, maka Abdul Munir Mulkhan menilai Muhammadiyah kehilangan ruhnya sebagai pencetak ulama. Semakin hilangnya kader Muhammadiyah yang bisa membaca kitab kuning menjadi persoalan yang serius. Muhammadiyah kehilangan sekolah pencetak ulama yang fasih fiqih tarjih tapi juga memahami berbagai kitab. Ahmad Syafii Maarif juga mengatakan bahwa peranan pendidikan atau kampus Muhammadiyah menciptakan ilmuwan yang kontributif terhadap persoalan umat masih belum kentara.
Muhammadiyah saat ini lebih condong pada membangun fisik dan juga wajah bangunannya. Bila Syafii Maarif melihat bangunan Madinah dan Mekkah yang begitu kemilau dan megah, maka Muhammadiyah pun tidak ketinggalan jauh. Universitas, dan kantor-kantor dari pusat hingga daerah kini makin dipercantik. Sementara itu, Muhammadiyah masih menghadapi kesenjangan dan makin menjauh dari “wong cilik”.
Barangkali kita bisa merenungkan apa yang ditulis oleh Munir Mulkhan “Kebesaran Muhammadiyah mungkin kini tinggal sisa-sisas keindahan yang romantik. Gerakan ini tampak terperangkap ke dalam institusionalisasi dan pelembagaan keagaaman dengan menjadikan tarjih sebagai “ideologi” dan ruh gerakan, sehingga cenderung anti kebudayaan dan anti keberagamaan “wong cilik”.
Pembaharuannya menjadi matisuri yang mendorong elite aktivisnya mencari media peran dalam birokrasi dan politik. Ironisnya, hal ini justru membawa Muhammadiyah dalam kancah konflik. Selain Muhammadiyah anti terhadap keberagamaan wong cilik, rakyat kecil itu pun semakin sulit bisa merasakan manfaat kehadiran Muhammadiyah dengan segala bentuk kegiatan sosialnya.”
Membumikan Ideologi
Tantangan ke depan Muhammadiyah semakin kompleks dengan dakwah milenial. Muhammadiyah dihadapkan pada bagaimana membumikan ideologisasi dengan mengikuti gaya kaum milenial. Artinya, muhammadiyah dituntut semakin masuk dalam era digital dan trend dakwah anak muda. IPM, IMM, NA, maupun Pemuda Muhammadiyah dituntut untuk lebih kreatif menggaet kaum milenial dalam menggairahkan dakwah Muhammadiyah. Channel IMM TV, maupun Pemuda Muhammadiyah TV, dituntut untuk lebih responsif dan menangkap sosial media sebagai media untuk berdakwah. Sayangnya, Muhammadiyah masih belum merespon tradisi keberagamaan kaum milenial.
Dalam lingkup sosial kemanusiaan, Muhammadiyah dituntut lebih responsif terhadap persoalan kemanusiaan seperti kemiskinan, pendidikan dan kebudayaan. Semakin majunya Muhammadiyah, justru semakin menutup diri dari orang miskin untuk memperoleh pendidikan yang layak. Peranannya sebagai gerakan yang membela kaum mustadafin semakin redup.
Meskipun Muhammadiyah memiliki lembaga kebudayaan, tapi belum mampu untuk membumi dan menyentuh dakwah kultural sebagaimana yang dicontohkan KH Ahmad Dahlan kala itu. Kuntowijoyo mengatakan bahwa Muhammadiyah perlu merancang strategi sosial-budaya dengan meletakkan beragam tradisi lokal agraris dan tradisi kota industrial dalam satu nafas.
Dalam lingkup literer, belum banyak karya keilmuan Muhammadiyah yang menyentuh wacana akar rumput dan kontributif bagi wacana keislaman maupun ilmu pengetahuan. Jumlah perguruan tinggi yang banyak di seluruh Indonesia menuntut adanya sumbangsih yang signifikan terhadap kemajuan ilmu pengetahuan. Terlebih lagi mandeknya pelajaran mantiq di perguruan tinggi Muhammadiyah menjadi faktor penyebab mundurnya gerakan keilmuan Muhammadiyah.
Padahal Kiai Dahlan pernah berpesan “ Semua orang islam harus menjalankan dua fungsi, yaitu ; murid dan guru. Sebagai murid harus selalu mencari ilmu dan sebagai guru menyebarkan ilmu yang sudah diperoleh tersebut. Kunci terpenting memenuhi dua fungsi itu ialah dengan belajar filsafat (mantiq) yang umat islam umumnya memandang haram dipelajari.” (Dahlan, 1923).
Matahari hijau itu kini sudah berusia tua, energinya makin terkuras, ia dituntut untuk terus menerus bekerja, berkreasi, berinovasi di tengah gencarnya arus zaman serta krisis multidimensi.