Oleh: Iqbal Aji Daryono*
Etika jurnalisme tak lagi berjalan penuh di zaman digital ini. Bisa jadi karena media dan para wartawan sudah terjerat penghambaan kepada klikbait, sekaligus kepada kontestasi kecepatan dalam merilis berita. Atau bisa jadi semuanya tanpa kesengajaan, namun kebiasaan penghambaan itu membuat para wartawan kehilangan sensitivitas di hadapan fakta. Dalam tulisan ini, Muhammadiyah Melawan Klikbait dan Wartawan Pemalas.
Tenang, saya tidak hendak mengkritik semua wartawan. Jadi kawan-kawan wartawan jangan menuduh saya menghina profesi hehehe. Apa yang akan saya sampaikan ini semata-mata terkait topik berita yang satu ini: Muhammadiyah kecewa Nadiem Makarim jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Dari sekian berita yang tertangkap mata saya di lini masa, racikan judulnya tampak berbeda-beda. Namun sebagian besar mengangkat muatan pesan yang sama, yaitu bahwa Muhammadiyah kecewa karena kursi Mendikbud tidak lagi berada di tangan kadernya.
Saya kutip beberapa sampelnya ya, Sodara.
CNNIndonesia menuliskan judul “Muhammadiyah Kecewa Berat Soal Nadiem jadi Mendikbud Jokowi”. Tribunnews menuliskan “Kecewa Jokowi Pilih Nadiem jadi Mendikbud, Muhammadiyah: Pendidikan Bukan Hanya Persoalan Teknologi”. TirtoID menyusul dengan “Muhammadiyah Kecewa Jokowi Memilih Nadiem Makarim sebagai Mendikbud”. Vivanews pun turut nge-gong-i dengan judul “PP Muhammadiyah Kecewa Nadiem Makarim Jadi Mendikbud”.
Pertanyaannya, betulkah judul-judul itu akurat dan memang menggambarkan peristiwa yang mereka tuliskan? Bahkan lebih simpel lagi: betulkah judul-judul itu mewakili badan berita yang mereka sajikan?
Mari kita cermati dulu faktanya.
Wartawan Tidak Pantas Awam
Alkisah, dalam diskusi bertajuk “Kabinet Bikin Kaget” yang digelar di Menteng, Jakarta, ada narasumber yang mengatakan bahwa Muhammadiyah kecewa dengan susunan kabinet yang baru. Narsum tersebut adalah Pak Fahmi Salim, Wakil Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Pak Fahmi mengatakan “kami kecewa”, kira-kira demikian poin utamanya. Informasi seperti itulah yang juga tertulis di badan berita-berita dengan judul yang saya kutip tadi.
Bagi orang awam, wajar saja bila pernyataan Pak Fahmi dianggap sebagai pernyataan Muhammadiyah. Pak Fahmi memang salah satu pengurus di PP Muhammadiyah. Masalahnya, semestinya wartawan dan segenap insan pers tidak termasuk ke dalam golongan awam itu.
Awam soal Muhammadiyah sih tidak mengapa, toh tidak semua orang harus mengerti kemuhammadiyahan. Tapi wartawan tidak pantas awam dalam cara mencerna informasi, apalagi gegabah dalam menyimpulkan.
Wartawan menulis dengan berpijak pada hasil pengambilan data di lapangan, dan dalam pengambilan data tersebut seharusnya ada mekanisme cek, ricek, dan tripple cek. Dalam konteks diskusi di Menteng, ada satu unsur yang sangat membutuhkan mekanisme pemeriksaan berulang itu, yaitu: seberapa representatifkah posisi Pak Fahmi Salim dalam menyuarakan sikap Muhammadiyah?
Wartawan Perlu Paham Struktur Pengurus Muhammadiyah
Pertanyaan atas representasi itu sangat penting. Sebab, Pak Fahmi tidak membawa surat edaran atau semacamnya, yang berisi sikap resmi persyarikatan Muhammadiyah. Informasi yang disampaikan Pak Fahmi tentang kekecewaan Muhammadiyah itu verbal semata. Pak Fahmi pun bukan Ketua PP Muhammadiyah, melainkan “hanya” Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah.
Lantas, seberapa kuatkah posisi seorang Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah dalam mewakili PP Muhammadiyah, lebih-lebih lagi dalam mewakili Muhammadiyah?
Di sinilah para wartawan seyogianya berusaha memahami peta dan duduk perkaranya. Peta itu bisa diperoleh dengan cara sangat sederhana, yakni membuka Google dan menyimak susunan pengurus PP Muhammadiyah.
Cara cek dan ricek seperti itu tidak mengeluarkan tenaga besar, apalagi biaya besar. Cukup sambil duduk leyeh-leyeh tanpa menggeser pantat semilimeter pun, seorang wartawan bisa membuka ponselnya, mengetik di kolom pencarian Google dengan kata kunci “susunan pengurus PP Muhammadiyah”. Seketika, ia akan diantar menuju laman Muhammadiyah.or.id pada tautan berjudul “Susunan Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2015-2020”.
Nah, di situ Mas atau Mbak Wartawan dengan amat mudah bisa membaca deretan 17 nama. Ada 13 Ketua PP yang terdiri atas 1 Ketua Umum dan 12 Ketua, diikuti Sekretaris Umum dan Sekretaris, lalu Bendahara Umum dan Bendahara.
Itu saja. Dan tidak ada nama Pak Fahmi Salim dalam susunan nama Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Lho, kok bisa? Lalu di mana posisi Wakil Ketua Majelis Tabligh? Silakan buka halaman lain pada situs resmi Muhammadiyah itu.
PP Muhammadiyah dan Majelis-majelisnya
Masih dengan sama mudahnya, Anda akan menemukan bahwa Pimpinan Pusat Muhammadiyah dibantu oleh majelis-majelis. Ada 13 majelis yang bertugas membantu kerja-kerja para anggota pimpinan pusat. Saya tulis semuanya saja biar jelas.
Ini dia nama-nama majelisnya: Majelis Tarjih dan Tajdid; Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan; Majelis Tabligh; Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian, dan Pengembangan; Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah; Majelis Pendidikan Kader; Majelis Pembina Kesehatan Umum; Majelis Pelayanan Sosial; Majelis Wakaf dan Kehartabendaan; Majelis Pemberdayaan Masyarakat; Majelis Hukum dan HAM; Majelis Lingkungan Hidup; dan Majelis Pustaka dan Informasi.
Fiuhhhh, banyak sekali ya. Dari situ Mas dan Mbak Wartawan dapat melihat bahwa Majelis Tabligh cuma salah satu di antara ke-13 majelis. Adapun Pak Fahmi Salim juga hanyalah salah satu di antara 6 orang wakil ketua di dalam Majelis Tabligh.
Lihat, dengan struktur seperti itu, bagaimana bisa para wartawan dengan entengnya menulis “Muhammadiyah Kecewa”?
Jika dianalogikan dengan pemerintahan negara, anggota PP Muhammadiyah yang 17 orang itu dapat disejajarkan dengan presiden dan wapres, lah. Adapun majelis-majelis merupakan kementerian.
Para ketua majelis adalah menteri-menteri, dan wakil ketua majelis adalah wamen alias wakil menteri. Jadi, kira-kira posisi Pak Fahmi Salim di PP Muhammadiyah setara dengan seorang wakil menteri dalam pemerintahan Republik Indonesia terbaru nanti.
Sekarang ambil contoh wamen yang paling ngetop, misalnya pak siapa itu yang dulu Ketum Projo itu. Ah, saya lupa namanya. Sebut saja Mas Wamen Projo. Bayangkanlah Mas Wamen Projo menyatakan di depan media, “Pemerintah melihat bahwa nama-nama yang terpilih sebagai para wakil menteri sudah oke banget.”
Nah, apakah wartawan sah-sah saja membuat judul berita “Pemerintah Puas dengan Nama-nama Para Wamen”? Tidak, kan? Kata kuncinya: representasi. Seberapa representatif seorang Mas Wamen Projo dalam mewakili pemerintah?
“Lho, kata Pak Fahmi memang Muhammadiyah kecewa, kok! Kami kan cuma mengutip beliau!” Pasti itu yang akan Anda sampaikan. Dan persis itulah yang saya permasalahkan.
Melatih Lagi Logika Berbahasa Indonesia
Pertama, seorang wartawan semestinya punya kecerdasan yang sangat cukup untuk tidak menelan mentah-mentah sebuah pernyataan. Kedua, bila yang menyatakan itu seseorang yang dirasa tidak cukup representatif dalam mewakili suatu lembaga, semestinya dalam judul disebutkan personnya.
Saya bantu mengambil pilihan judul yang bernalar itu. Misalnya, “Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah: Muhammadiyah Kecewa Nadiem jadi Mendikbud”.
Gimana? Cocok, kan?
Atau Anda tidak ingin menuliskan nama jabatan pada judul, karena terlalu panjang? Itu pun masih mungkin. Salah satu contoh cerdasnya disodorkan oleh Kompas.com, yang menyajikan judul:
“Muhammadiyah Disebut Kecewa Nadiem Makarim Ditunjuk jadi Menteri”
Perhatikan, ada kata “disebut” dalam kalimat judul di Kompas.com itu. Siapa yang menyebut? Tentu saja Pak Fahmi Salim. “Kecewa” dan “disebut kecewa” adalah dua hal yang sama sekali berbeda.
Kalau logika bahasa Anda cukup, Anda akan langsung paham dan mampu membedakan keduanya. Adapun kalau logika bahasa Anda dirasa masih kurang tajam, Anda bisa segera membaca buku keren berjudul Berbahasa Indonesia dengan Logis dan Gembira. Dapatkan di toko buku dan lapak-lapak daring.
Jangan berprasangka dulu, saya tidak dibayar Kompas untuk ini. Buktinya, saya pun melihat judul di Kompas.tv sama-sama ngawurnya: “PP Muhammadiyah: Sejarah Mendikbud Lekat dengan Kami”.
Muhammadiyah Melawan Klikbait dan Wartawan Pemalas
Dengan segala kepelikan itu, tak heran jika kemudian Ketua PP Muhammadiyah, yakni Pak Dadang Kahmad di hadapan banyak media membantah klaim yang telanjur tersebar bahwa Muhammadiyah kecewa atas penunjukan Nadiem. Tak lain hal ini menjadi upaya Muhammadiyah melawan klikbait dan wartawan pemalas.
Ketua PP Muhammadiyah itu cukup representatif untuk mewakili Muhammadiyah. Apalagi Pak Dadang menegaskan bahwa spoke person resmi Muhammadiyah adalah Pak Haedar Nashir, Ketum PP Muhammadiyah. Jadi, selain yang senada dengan apa yang disampaikan Pak Ketum tidaklah mewakili sikap resmi Muhammadiyah.
Klaim itu memang kekeliruan Pak Fahmi Salim, itu mesti diakui. Akan tetapi, peran para wartawan yang kebelet klikbait sekaligus malas memahami duduk perkara suatu fakta juga sangat signifikan dalam mengacaukan pemahaman publik.
*) Pemerhati bahasa dan pengamat judul-judul berita.