Tajdida

Muhammadiyah Mencerahkan Lewat Sejarah Sosial, Bukan Sejarah Politik

2 Mins read

Riwayat Muhammadiyah dalam sejarah sosial Indonesia sangat panjang, salah satu buktinya adalah penobatan KH Ahmad Dahlan sebagai Pahlawan Nasional. Konsiderans Keppres No 297 tanggal 27 Desember 1961 tentang Penetapan KH Ahmad Dahlan sebagai Pahlawan Nasional tersebut sangatlah menarik.

Presiden RI (waktu itu, tahun 1961) melalui Keppres tersebut memberikan kesaksian bahwa Ahmad Dahlan diakui sebagai telah memberikan kepeloporannya dalam membangunkan kesadaran rakyat Indonesia bahwa dirinya menjadi bangsa yang terjajah dan karena itu harus belajar dan berbuat. Itu poin pertama dari konsideran Keppres No 297 Tahun 1961 tersebut di atas.

Harus disadari tidak semua orang Indonesia waktu zaman penjajahan itu merasa dirinya menjadi bangsa yang terjajah. Apalagi mereka yang menjadi pegawai dan aparatus pemerintahan kolonial Belanda!

Kiai Dahlan Menyadarkan Rakyat

Dahlan membangunkan kesadaran rakyat! Setelah rakyat sadar bahwa dirinya dijajah, Dahlan menanamkan kesadaran berikutnya: rakyat harus belajar dan bekerja. Oleh sebab itulah maka konsiderans Keppres tersebut dilanjutkan dengan poin yang kedua, yaitu bahwa Ahmad Dahlan telah memberikan kepeloporan di bidang pendidikan dengan membangun sekolah-sekolah sebagai sarana untuk memberikan pelayanan pendidikan. Tetapi bukan sembarang pendidikan, melainkan pendidikan yang mencerdaskan dan mencerahkan.

Adapun poin yang ketiga dari konsiderans Keppres tersebut adalah bahwa Ahmad Dahlan melalui organisasi perempuan Aisyiyah memelopori kemajuan perempuan Indonesia. Sehingga perempuan Indonesia memiliki hak, kedudukan dan derajat yang sama dengan kaum laki-laki tanpa diskriminasi.

Dahlan mendirikan sekolah khusus perempuan dan mendidik mereka menjadi tokoh pergerakan perempuan. Di mana dua orang di antara murid-muridnya angkatan pertama itulah yang kemudian menjadi pelopor dan pembicara utama Kongres Perempuan Pertama tanggal 22-25 Desember 1928, yaitu Siti Moendjijah dan Siti Hayinah. Siti Moendjijah menyampaikan pidato kunci dengan judul “Deradjat Perempoean” dalam Kongres Perempuan pertama tersebut.

Baca Juga  Hisab Rukyat (2): Menuju Kesatuan Kalender Islam

KH Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya memelopori dan mengarahkan perubahan sosial dari surau kecil, alih-alih dari Istana! Dari surau kecil Ahmad Dahlan berjuang mengangkat harkat dan martabat umat Islam. Hal ini dilakukan di tengah-tengah kehidupan bangsa yang terjajah, selalu di-nomor-dua-kan, atau bahkan di-nomor-tiga-kan, dalam struktur masyarakat kolonial.

Mempertimbangkan Sejarah Sosial

Bahkan pasca-kemerdekaan kedudukan yang terbelakang tersebut masih begitu kuatnya menyelimuti kehidupan rakyat. Oleh karena pada sejatinya rezim aparatur pemerintahan Indonesia di awal-awal kemerdekaan dalam banyak segi juga masih merupakan rezim bablasan kolonial belaka.

Muhammadiyah melakukan itu semua tidak dari Istana atau lembaga negara lainnya. Kiai Dahlan tidak membangun rakyat dari istana, atau dari kekuasaan politik, melainkan dari langgar kecil di Kauman Yogyakarta. Para pengikut Ahmad Dahlan yang tergabung dalam persyarikatan (federasi?) Muhammadiyah mengembangkan metodologi dan strategi Ahmad Dahlan tersebut ke seluruh Indonesia, bahkan ke berbagai negara. Tidak melalui “istana negara”.

Pilihan Ahmad Dahlan ini kemudian ternyata juga menjadi pilihan Ki Bagus Hadikusumo. Setelah karena panggilan sejarah bersama-sama “bapak-bapak bangsa” yang lain melalui BPUPKI dan PPKI melahirkan Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, Ki Bagus Hadikusumo kembali ke rakyat.

Sampai meninggalnya di tahun 1954, Ki Bagus Hadikusumo, tidak seperti yang anggota BPUPKI dan PPKI lainnya, tidak pernah sekalipun duduk dalam pemerintahan negara Indonesia merdeka, baik eksekutif, legislatif, maupun posisi-posisi politik lainnya. Bahkan tidak ada satu riwayat pun yang meriwayatkan, dan tidak ada sejarah yang mencatat bahwa Ki Bagus Hadikusumo pernah memasuki Istana Negara. Tak heran jika pasca kemerdekaan nama Ki Bagus Hadikusumo tidak akan ditemukan dalam penulisan sejarah politik.

Dalam konteks dan perspektif ini maka historiografi Indonesia yang masih didominasi oleh sejarah politik perlu disempurnakan dengan sejarah sosial. Agar sejarah Indonesia tidak menjadi seperti cerita wayang purwo: elitis dan istana sentris. Sejarah janganlah terlalu percaya (overestimate) bahwa pembangunan, pembaharuan, dan perubahan bangsa itu banyak ditentukan dari istana negara.

Baca Juga  Empat Solusi Permasalahan Palestina dan Israel Menurut Azra

Istana negara hanya tampak besar dalam sejarah politik. Tidak dalam sejarah sosial. Percayalah.

Editor: Nabhan

Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds