Report

Muhammadiyah on the Track: Intelektual Independen di Tengah Kecenderungan Menguatnya Aliansi Politik-Ulama di Indonesia

2 Mins read

IBTimes.ID – Dilaksanakan secara online, Kader IMM AR. Fakhruddin Kota Yogyakarta dan Fokal IMM UMY adakan diskusi buku ’’Islam, Authoritarianism, and Underdevelopment: A Global and Historical Comparison’’ Karya Ahmet T Kuru, Jum’at (22/10/2021).

Buku yang diterbitkan oleh Cambridge University Press, di tahun 2019 tersebut mendapatkan anugerah ’’The best book in international history and politics’’ oleh American Political Science Association dan dianggap sebagai buku phenomenal yang akan menjadi rujukan classic dalam diskursus pembaharuan dunia Islam.

Bertindak sebagai Panelists, Moh. Nizar (mahasiswa PhD di University Utara Malaysia), M Hamzah Fansuri (mahasiswa PhD di Heidelberg University, Jerman), Zain Maulana (PhD dari University of Leeds, the United Kingdom), dan Faris Al-Fadhat (PhD dari Murdoch University, Australia). Dengan dipandu oleh moderator Rijal Ramdani (mahasiswa PhD di University of Eastern Finland). Semua panelist dan moderator tersebut merupakan kader IMM AR. Fakhruddin dan anggota FOKAL IMM UMY. Acara tersebut juga dihadari oleh penulis Buku, Ahmet T Kuru, yang bergabung dari San Diego, Amerika.

Kemunduran Dunia Islam

Dalam paparannya, Moh Nizar mengulas tesis utama Kuru mengenai kemunduran dunia Islam di dalam bukunya. Pertama, bahwa tidak ada yang salah dengan ajaran Islam dan sejarah telah membuktikan bahwa ajaran Islam itu compatible dengan kemajuan zaman, misalkan di abad ke-7 sampai 10 M. Kedua, kolonialisme bukanlah sumber utama kemunduran dunia Islam, karena sebelum adanya kolonialisme pun, negara-negara berpendudukan mayoritas muslim sudah memiliki masalah. Ketiga, kemunduran dunia Islam itu sebetulnya terjadi akibat adanya aliansi antara ulama dengan militer, dan tidak adanya ruang bagi kaum intelektual dan pengusaha muslim untuk membangun dinamika sosial-ekonomi di tengah-tengah masyarakat.

Baca Juga  Irfani: Basis Akhlak Mulia Berorganisasi

“Oleh karenanya, kemajuan di dunia Islam itu akan lahir apabila masyarakat bisa melahirkan, ulama, intelektual, dan pengusaha muslim independen yang siap melakukan contour power terhadap pemerintah, apabila pemerintah tersebut tidak sesuai dengan yang seharusnya. Itulah argumentasi Kuru” jelas Nizar.

Secara kritis, dalam konteks Indonesia, Zain Maulana melihat adanya kecenderungan menguatnya aliansi politik-ulama bisa membahayakan bagi demokrasi di Indonesia. Terutama Ketika, basis masa dari ulama tersebut menjadi alat legitmasi dari kebijakan pemerintah dan siap berhadapan dengan kelompok Islam lain untuk membela kebijakan pemerintah yang dicurigai sebahagiannya ditunggagi oleh kepentingan oligarkhi.

“Di tambah, di Indonesia juga kecenderungannya kelompok Islamist-politik, seperti dalam kasus gerakan 212, Pilpres 2019, dan Pilkada DKI, ingin mengambil alih peran oposisi yang biasanya dilakukan oleh partai politik” tandas Zain.

Muhammadiyah on the Track: Intelektual Independen

Sementara itu, secara specific Faris Al-Fadhat melihat, apa yang dilakukan oleh Muhammadiyah di Indonesia, sebagai bagian dari narasi besar gerakan pembaharuan dunia Islam, melalui Lembaga Pendidikannya sudah on the track dalam melahirkan intelektual independen yang bisa menjadi control terhadap pemerintah.

“Kalau kita lihat, Perguruan Tinggi Muhammadiyah itu tidak hanya berhasil mencerdaskan generasi muda di Indonesia, tapi juga melahirkan intelektual Independen. Coba anda bayangkan berapa PhD, Doktor, dan Professor (muslim), yang dimiliki kampus-kampus besar Muhammadiyah seperti UMY, UAD, UMS, dll”. Tanya Faris.

***

Selain itu, menurut Faris, independenitas Muhammadiyah pun bisa dilihat dari bagaimana kemampuan kampus-kampus Muhammadiyah dalam menyekolahkan intelektualnya dengan pembiayaan mandiri tanpa sepenuhnya tergantung terhadap beasiswa dari Pemerintah.

“Ditambah, dengan dinamika intelektual yang ada di internal organisasi, baik IMM maupun IPM, telah banyak melahirkan tokoh intelektual. Jadi peran Muhammadiyah itu sudah luar biasa” tambah Faris.

Baca Juga  Belajar Mengutamakan Allah dari Yusuf Mansur

Akan tetapi, Faris memberikan catatan bahwa di dalam melahirkan kaum borjuasi atau pengusaha Muslim, Muhammadiyah itu memiliki tantangan di tengah kuatnya arus kapitalisme yang menguasai sektor-sektor ekonomi penting di Indonesia.

“Jadi, pengusaha Muhammadiyah itu, atau bahkan pengusaha Muslim di Indonesia, akan sangat berat untuk bisa bersaing dengan konglomerat-konglomerat group besar, yang telah lama dan malang melintang melakukan aktivitas bisnisnya di Indonesia.” Tandas Faris.

Sementara, prof Kuru, yang hadir dalam diskusi, mengapresiasi peran Muhammadiyah di Indonesia dan tertarik untuk lebih lanjut mempelajari dan melihat aktivitas-aktivias intelektual di Muhammadiyah.

(Reporter—RR)

Admin
188 posts

About author
IBTimes.ID - Rujukan Muslim Modern. Media Islam yang membawa risalah pencerahan untuk masyarakat modern.
Articles
Related posts
Report

Haedar Nashir: dari Sosiolog Menjadi Begawan Moderasi

2 Mins read
IBTimes.ID – Perjalanannya sebagai seorang mahasiswa S2 dan S3 Sosiologi Universitas Gadjah Mada hingga beliau menulis pidato Guru Besar Sosiologi di Universitas…
Report

Siti Ruhaini Dzuhayatin: Haedar Nashir adalah Sosok yang Moderat

1 Mins read
IBTimes.ID – Siti Ruhaini Dzuhayatin Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menyebut, bahwa Haedar Nashir adalah sosok yang moderat. Hal itu terlihat…
Report

Hamim Ilyas: Islam Rahmatan Lil Alamin Tidak Sebatas Jargon

1 Mins read
IBTimes.ID – Hamim Ilyas Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyampaikan, Islam Rahmatan Lil Alamin harusnya tidak sebatas jargon belaka,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *