Perkembangan teknologi informasi semakin mendominasi peradaban dunia, di mana pemikiran dan kekuatan fisik manusia sudah berangsur ditinggalkan. Imbasnya, ketika sesuatu yang ingin di selesaikan rujukannya langsung pada teknologi, khususnya bidang informasi, baik itu dalam masalah pengetahuan maupun di luar, seperti aktifitas fisik.
Dalam revolusi industri 4.0 ini proses transfer pengetahuan lewat internet lebih mendominasi daripada melalui figure seorang tokoh terdidik atau ahli. Manusia lebih sering meng-akses informasi dan pengetahuan lewat jejaring sosial daripada klarifikasi secara langsung, seperti melalui membaca buku, majalah, koran, diskusi dan lainya. Hal itu sangat berbeda dengan revolusi sebelumnya yang hanya berpusat pada pergantian kekuatan fisik manusia dengan mesin.
Tingkah laku sosial pun kian mengalami perubahan. Di mana manusia lebih sering dan lebih asik bertemu di dunia maya, ketimbang bertemu di dunia nyata secara langsung. Aktifitas bermain ponsel lebih asik daripada berdiskusi untuk melakukan sambung fikir dan sambung rasa! Mungkin bisa dikatakan, fenomena tersebut menjadi salah satu faktor munculnya perpecahan dan permusuhan di Negara ini semakin meluas.
Selain karena perbedaan ideologi dan pemikiran, saat ini banyak guru-guru baru di media sosial yang merubah pola fikir seseorang. Ditambah perang argumentasi di media sosial, semakin tidak ada sekat pembatas dan kontrol, tak jarang akhirnya berujung pada proses hukum. Pertanyaannya, apa langkah, dan bagaimana cara Muhammadiyah menghadapi gelombang tersebut? Apalagi pertengkaran dan permusuhan di group group chat semakin menjadi!
Realitas tersebut menjadi penyebab utama munculnya ke-salah-paham-an, dan sering kali menjadi faktor utama munculnya kekerasan atas nama agama, dan kebanyakan dipengaruhi oleh perebutan eksistensi masing-masing pihak yang mempunyai kepentingan, dengan beragam varian dan pembenaran (Weber, 2012).
Selain itu, sebagian lainnya merasa kurang mendapatkan perhatian dari penguasa, karena setiap aspirasinya tidak mendapat balasan dan merasa di marginalkan atas segala bentuk kebebasan dalam semangat inklusif dan demokratis (Sutikno, 2015: 57).
Disisi lain, semua itu terjadi juga karena sebagian umat Islam mulai mengalami alienasi dalam kehidupanya, baik dalam memaknai hidup maupun dalam interaksi sosialnya, semua karena terpenjaranya sikap progresif, dari pemahaman yang komprensif menjadi sempit. Kesalahan dalam menangkap perkembangan teknologi menjadi faktor paling berpengaruh, karena teknologi di jadikan candu, bukan sebagai sarana pendukung keberlangsungan hidup (Sutikno, 2015: 117).
Bagaimana Muhammadiyah?
Jika ditelisik secara dalam, wajah keterbukaan Muhammadiyah pada perkembangan teknologi akan nampak jelas, meskipun belum bisa dikatakan sepenuhnya peduli akan itu. Sebagai perkumpulan yang berikrar sebagai gerakan Islam, menjadi keharusan untuk senantiasa menebar kebajikan, perdamaian serta selalu menanam benih persaudaraan yang diramu dalam bingkai kemanusiaan universal, dengan catatan harus senantiasa melakukan terobosan baru di tengah derasnya perkembangan pemikiran dan teknologi dunia, khususnya revolusi teknologi informasi.
Sikap tanpa tebang pilih, tidak memandang suku, agama, ras maupun golongan, dengan landasan, Islam sebagai agama rahmatan lil alamin, yang senantiasa memberikan kesejukan bagi alam dan penikmatnya, harusnya seperti apapun tantangannya, akan dengan mudah diselesaikan, apalagi hanya sekedar tantangan perkembangan teknologi. Pertanyaannya apakah realitas di lapangan sejalan dengan itu?.
Buktinya ada beberapa peneliti yang mengatakan Muhammadiyah dahulu dengan sekarang mengalami pergeseran cukup serius, baik secara ideologi maupun praksis (Sholikh, 2017). Hal itu terjadi di tengarai karena kurangnya pengetahuan jamaah di akar rumput, terkait Muhammadiyah dan tantangan perkembangan pemikiran secara menyeluruh, kurangnya sosialisasi hingga akar rumput ditengarai menjadi factor utama.
Celah itu, dengan cerdas di manfaatkan oleh aktor-aktor penyebar ideologi Islam garis keras maupun ideologi dunia lainya, seperti sosialis, liberal, radikal dan berbagai varian lainnya.
Dimana apabila tidak ada bekal berbagai perkembangan pengetahuan tersebut pada jamaah akar rumput, maka yang terjadi adalah saling klaim kebenaran, dengan keterbatasan pengetahuan masing masing, karena pengetahuan dan informasi yang diterima instan, tanpa ada guru yang mengarahkan. Sehingga para pucuk pimpinan yang mempunyai pemikiran komprehensif harus mau terun gunung, untuk langsung mentransfer secara langsung berbagai persoalan yang telah disebutkan.
Cidera-nya Perdamaian
Fenomena bebasnya berpendapat dan meng-akses informasi di dunia maya, membuat perwujudan perdamain mudah ternodai, kenyataan tersebut mengungkap tabir, sifat manusia yang selalu merasa paling benar, paling mengerti serta paling berkuasa.
Karakter bawaan tersebut menimbulkan gejolak kesenjangan sosial, mengakibatkan perpecahan, permusuhan, serta yang paling hebat adalah peperangan yang berkepanjangan. Baik itu peperangan fisik, psikis secara langsung ataupun melalui propaganda konspirasi. Tontonan kekerasan dan terror menggunakan simbol agama menjadi keprihatinan bersama dan sebagai fakta bahwa agama belum mampu menundukkan ego dan nafsu binatang manusia.
Organisasi yang didirikan KH. Ahmad Dahlan ini, harusnya mampu terus mencerahkan kehidupan manusia lewat pendidikan dan keberpihakan pada fakir miskin serta anak yatim. Cara dakwah yang digunakan adalah lebih pada dialogis, damai, toleran dengan mengedepankan nilai cinta kasih dan welas asih, bukan dengan terror, takfiri maupun marginalisasi, apalagi kemudian di sebar begitu bengisnya di media sosialnya, seakan-akan semua orang masuk neraka selain dan hanya dirinya dan golongannya yang masuk surga.
Para founding father Muhammadiyah tersebut, telah memberikan gambaran bagaimana pedulinya organisasi ini pada nilai nilai perdamaian dan persaudaraan, hingga membuat Indonesia terkenal sebagai Negara yang toleran, damai dengan simbol bineka tunggal ika, namun faktanya saat ini, mungkin setiap jam, setiap menit dan bahkan setiap detik, ujaran kebencian, adu domba begitu banyak beredar di media sosial.
Sebagai seorang muslim, harusnya mengikuti apa yang telah diajarkan dalam al-Qur’an dan Hadits secara utuh, dengan menggunakan berbagai pendekatan dalam menafsirkannya. Dalam arti tidak memahami dua sumber ajaran itu, hanya untuk menguntungkan kepentingan individu atau kelompoknya semata. Sehingga yang terjadi adalah mengambil ayat yang mendukung kepentingannya dan membuang ayat yang bertolak belakang dengan itu, saat ini realitas tersebut sangat mudah kita ketahui di media sosial.
Padahal al-qur’an telah menjelaskan dengan sangat gamblang bahwa Allah adalah pemelihara keselamatan, perdamaian dan menjaga keamanan. (Qs. al Hasyr: 23). Dan Allah juga membebaskan manusia untuk memilih jalan untuk beriman ataupun memilih kufur, dan orang-orang tersebut akan mendapat balasan dari Allah sesuai pilihan masing-masing (QS. al Nahl: 125, al Baqarah: 256). Allah telah menunjukkan jalan bagi semua manusia agar mencapai keselamatan dan perdamaian tersebut.
Lantas, apakah kita akan terus ikut dengan gelombang adu domba, ujaran kebencian dan pembenaran sepihak, di era kemajuan teknologi informasi ini? Jika ingin umat Islam berkembang, maka sudah seharusnya kita menjauhi itu semua. Sudah seharusnya mulai berfikir dan melangkah untuk gerakan yang lebih produktif yang mengarahkan pada kemajuan bangsa dan Negara. Sebagaimana cita cita Islam Bekemajuan!