Hari ini, Rabu 18 November 2020/8 Dzulhijah 1442 H, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia yaitu Muhammadiyah merayakan Milad yang ke 108 tahun. Tentu usia yang terbilang sudah sangat tua. Ada yang berbeda dari perayaan tahun-tuhun sebelumnya. Pada perayaan milad kali ini dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19. Itu berarti akan menjadi tantangan tersendiri bagi Muhammadiyah.
Sebagai organisasi yang bergerak dalam gerakan sosial-keagamaan, yang menurut Nurcholish Madjid, Muhammadiyah merupakan organisasi Islam modern terbesar di dunia. Hal ini dilihat dari segi kontribusi baik dari bidang keagamaan, kesehatan, ekonomi, politik, pendidikan, budaya, sosial dan kebangsaan. Karena itu menurut Cak Nur, begitu Nurcholish Madjid disapa, Muhammadiyah adalah salah satu cerita sukses di kalangan Islam, tidak hanya secara nasional tapi juga internasional. Ungkapan Cak Nur merupakan bagian dari pujian serta rasa optimis.
Muhammadiyah selalu dilebeli sebagai gerakan pembaru (tajdid). Namun pada umumnya masyarakat menerima begitu saja (taken for granted) pelebelan Muhammaiyah sebagai gerakan tajdid. Mengapa demikian, hal ini didasari oleh pemikiran dan gerakanya pada para ilmuan dan pembaru muslim seperti Rasyid Ridha, Jamaludin al-Afghani, dan Muhammad Abduh.
Ada juga pandangan lain terhadap Muhammadiyah, misalanya menurut Djohan Efendi dan Azyumardi Azra yang menyatakan dalam bidang keagamaan dan pemikiran sering dikatakan sebagai gerakan salafiyah, neo-salafiyah, bahkan akstrimnya dikatakan gerakan ortodoks.
Hal ini tentu didasari oleh prinsip ideologi gerakan yang menghendaki pemurnian (purifikasi) dalam aspek akidah dan ibadah. Pemurnian (purifikasi) Muhammmadiyah yang paling diprioritaskan dalam kegiatan dakwah iyalah memberantas takhayul, bidah, dan khurafat, atau dalam kalangan warga Muhammmadiyah dikenal dengan singkatan TBC.
Gerakan Pembaru
Pada aspek praksisi misalnya, Muhammmadiyah patut disebut sebagai gerakan pembaru. Dalam teologi al-Maun atau disebut al-Maunisme, warga Muhammadiyah mampu membuktikan diri sebagai gerakan dakwah yang prioritas pentingnya amal saleh.
Dengan demikian apabila warga Muhammadiyah yang menekuni wilayah praksisi sosial keagamaan ini menjadi ukuran melaksanakan prinsip a faith with action, atau dalam istilah lain dakwah bil hal (mengajak dengan amalan dan tindakan konkret). Makna kalimat tersebut adalah mempraktekan ajaran, sedikit berbicara, banyak bekerja, disiplin, bekerja keras dan selalu tanggung jawab terhadap organisasi.
Berkat ajaran tersebut, Muhammadiyah sampai saat ini selalau mendapatkan kepercayaan dari umat sehingga amal usaha hampir tersebar di seluruh Indonesia baik dari Sabang sampai Merauke, misalnya di bidang pendidikan, TK/TPQ: 4.623, SD: 2.604, SMP: 1.772, SMA/SMK: 1.143, Pondok Pasantren: 67, Perguruan Tinggi: 172 dan masih banyak lagi amal usaha lainya.
Namun, di satu sisi amal usaha yang begitu banyak, di sisi lain dihadapkan dengan berbagai persoalan, misalnya, terlalu memfokuskan pada pengembangan amal usaha, sampai nyaris energinya habis untuk mengurus persoalan-persolan lain di luar amal usaha.
Meminjam istilah beberapa inteletual muda, yang mengatakan Muhammadiyah saat ini semakin lambat dalam memberikan respon terhadap tantangan zaman. Sehingga, respon pemikiran terhadap isu-isu sosial keagamaan terasa kurang. Dengan demikian perlu revitalisasi ideologi agar menjadi gerakan amal sekaligus gerakan ilmu. Sebagaimana yang dikatakan oleh Buya Syafi’i Maarif, Muhammadiyah harus mampu menyandingkan gerakan praksisme dan gerakan intelektualisme.
Muhammadiyah Hadir di Tengah Polemik
Hadirnya Muhammadiyah sebagai gerakan intelektual, selain gerakan praksis, akan sangat mencerminkan arah gerak dan perjuangan. Intelektualisme dapat menjadi sumber kekuatan yang luar biasa bagi Muhammadiyah, terutama dalam memberikan pencerahan, sosialisasi, dan edukasi pada kehidupan keberagamaan. Sebab, tidak bisa dipungkiri kondisi keberagaam Indonesia akhir-akhir ini banyak diwarnai gejolak, dan masalah yang bermacam-macam, diantaranya persekusi terhadap ulama dan keresahan umat terhadap pemerintah.
Tindakan persekusi terhadap ulama, bukan lagi kasus yang baru di Indonesia, seharusnya tindakan ini tidak lagi terjadi di negara yang berasaskan Pancasila, namun ironinya ada beberapa alim ulama yang dipersekusi dengan ancaman agar tidak berdakwah di daerah tertentu. Bahkan, ada ulama yang ditusuk dengan senjata tajam. Aksi dan tindakan seperti ini jelas melenceng dari hak demokrasi setiap warga negara.
Keresahan umat terhadap pemerintah akhir-akhir ini sering terjadi, baik itu dalam bentuk kritik di media sosial dan juga melakukan demonstrasi. Satu tahun kepemimpinan Presiden Jokowi dan Wapres Ma’aruf Amin, masyarakat belum merasakan sentuhan program yang dijanjikan.
Belum lagi konsep-konsep para menteri yang kadang menuai banyak kontroversi. Banyak kebijakan pemerintah yang justru tidak pro rakyat sehingga menimbulkan keresahan. Misalnya, di tengah pandemi Covid-19 pemerintah menganjurkan untuk tetap melasanakan Pilkada, juga UU Omnibus Law, yang menuai protes oleh ulama, buruh, dan mahasiswa, namun akhirnya disahkan juga.
Melihat polemik keberagamaan dan kebangsaan yang semakin bergejolak ini, sebagai organisasi yang sampai saat ikut ambil dalam memerjuangkan kepentingan umat dan kemajuan bangsa secara independen. Muhammadiyah bisa berdiri sebagai penengah dan juga bisa menampilkan diri sebagai mediator. Dengan demikin Muhammmadiyah dapat menjalankan fungsi management of ideas di tengah polemik yang terjadi.
Editor: Dhima Wahyu Sejati