Tasawuf

Apakah Muhammadiyah Anti-Tasawuf?

4 Mins read

Stigma tentang Tasawuf

Sebagai seseorang yang lahir dari rahim tradisi intelektual dan kebudayaan Muhammadiyah, tentu membincang tentang tasawuf menjadi hal yang tidak begitu familiar.

Hal ini menyebabkan ketika awal berkenalan dengan ilmu tasawuf, seolah bertemu dengan suatu ilmu baru yang dekat dengan asumsi mistis dan terkesan angker.

Tidak sekadar itu, konsepsi tasawuf sebagai ilmu yang ‘terlarang’ seolah melekat kuat, hampir menyamai stigma negatif filsafat, yang dipandang juga sebagai ‘ilmu terlarang’ oleh beberapa kalangan.

Perjalanan awal mengenal ilmu tasawuf ini bermula ketika masuk di salah satu perguruan tinggi ternama di Timur Tengah. Mengingat bahwa kepakaran seorang tokoh di sana, dipandang tidak Sekadar kelas regional maupun nasional, akan tetapi diakui dalam skala internasional.

Dan ternyata ilmu tasawuf diajarkan dan menjadi suatu menu wajib dalam pembelajaran agama di tempat tersebut.

Tentu kenyataan ini mengusik alam bawah sadar, bahwa ternyata ilmu yang selama ini masuk dalam kategori mistis atau bahkan stigma negatif kerapkali melekat, ternyata justru dipandang sebagai ilmu yang sangat populer dan lekat dalam keseharian para guru di perguruan tinggi tersebut.

Berkenalan dengan Tasawuf

Maka untuk menuntaskan rasa penasaran tersebut, lewat saran seorang senior mulailah mencari buku dengan tema tasawuf. Tentu yang terpendam dalam benak ketika itu adalah, bahwa ilmu tasawuf paling hanya berupa pembahasan singkat tentang suatu hal tertentu.

Namun kenyataan lagi-lagi mencengangkan, ketika bertanya pada salah satu toko buku, ternyata penjaga toko tersebut mengatakan bahwa buku tasawuf itu bermacam jenisnya, tinggal kita menginginkan judul apa dan siapa penulis dari buku tersebut.


Perkenalan singkat dengan literatur tasawuf tersebut menjadi awal membuka khazanah tasawuf lebih luas. Secara lingkungan juga sangat mendukung untuk hal tersebut. dari sana kemudian menciptakan suatu pemahaman bahwa ilmu tasawuf merupakan suatu ilmu yang sangat legal, sebagaimana ilmu keislaman lainnya.

Baca Juga  Muhammadiyah dan NU, Benci Tapi Rindu

Tidak ada yang aneh dari ilmu tasawuf, karena memang berangkat dari sumber ajaran agama, sebagaimana ilmu keislaman yang lainnya.

Kesan aneh itu muncul sebenarnya karena memang selama menjalani pendidikan dengan iklim Muhammadiyah pada umumnya tidak begitu kenal dengan ilmu tasawuf ini.

Mungkin banyak juga dari teman-teman Muhammadiyah yang tidak kenal dengan ilmu tasawuf. Perkenalan itu mungkin baru terjalin ketika masuk di perguruan tinggi. Itupun terkadang ilmu tasawuf hanya dikenalkna sebagai suatu mata kuliyah, yang secara praktis seolah tidak menyentuh sisi kehidupan manusia secara langsung.

Berbeda misalnya dengan ilmu tauhid ataupun ilmu fikih, yang memang terkait dengan pola keilmuan Islam dan dalam praktik keseharian menjadi laku. Cara pandang semacam itu jelas timpang karena sebenarnya ilmu tasawuf adalah juga ilmu yang lekat dalam kehidupan, setali seikat dengan ilmu tauhid maupun ilmu fikih.

Sikap Muhammadiyah kepada Ilmu Tasawuf

Kembali lagi lantas apakah Muhammadiyah sebenarnya tidak mengakui tasawuf sebagai suatu bagian ilmu yang integral dari ilmu keislaman?

Tentu sama sekali tidak demikian. Muhammadiyah memiliki tokoh kharismatik Buya Hamka yang menulis buku Tasawuf Modern. Paling tidak buku tersebut dapat menjadi suatu platform bagaimana Muhammadiyah memaknai ajaran ilmu tasawuf.

Karena dalam buku tersebut, Buya Hamka memaparkan tentang ilmu tasawuf sebagai bentuk praksis atas konsepsi ajaran akhlak, yang merupakan nilai luhur dari sebuah agama.

Kenyataan demikian tentu tidak sekadar isapan jempol, karena memang seringkali orang Muhammadiyah terjebak pada sikap antipasti dengan cover dalam memahami ilmu tasawuf.

Sudah terlanjur terdengar bahwa tasawuf adalah ilmu yang ‘aneh’, akan tetapi ketika disebut sebagai ilmu akhlak atau ilmu tazkiyah, penerimaan itu akan datang dengan sendirinya.

Baca Juga  Muhammadiyah Milik Semua

Karena pada dasarnya ajaran tasawuf memang ajaran tentang akhlak, tentu tidak terbatas akhlak sesama makhluk, akan tetapi juga bagaimana perwujudan akhlak dengan Sang Khalik.

Karena dari sekian definisi yang dikemukakan para ulama, terdapat pengertian yang beragam tentang ilmu tasawuf. Dan di antara definisi tersebut adalah at takhalluq bi akhlaqil Khaliq (yaitu berakhlak sebagaimana akhlak Allah Swt).

Yang dimaksud disini adalah berakhlak mulia sebagaimana sifat jamal-nya Allah Swt. Bukan dengan sifat Jalal yang tentu hanya patut disandang oleh Allah Swt. Maka sampai di sini, seseorang yang anti akan ilmu tasawuf sekalipun, akan mudah menerima tasawuf sebagai ajaran, karena basisnya adalah tentang ilmu akhlak.

Hal inilah yang kemudian dalam literatur tasawuf disebut dengan tasawuf suluki. Yaitu suatu laku yang baik mengalir dalam setiap tarikan nafas seorang manusia. Kebaikan akhlak tersebut terejawantahkan dalam suatu laku baik dalam kehidupan. Dan seperti inilah Muhammadiyah mempraktikkan ilmu tasawuf.

Dalam ilmu tasawuf ada yang namanya tariqat, yang berlaku ibarat suatu madrasah dalam belajar tasawuf. Dalam hal inilah memang Muhammadiyah tidak menerima konsepsi tariqat sebagaimana dalam hal fikih, Muhammadiyah juga tidak mengikatkan diri dengan salah satu mazhab tertentu.

***

Apa yang berlaku dalam ilmu fikih perspektif Muhammadiyah, juga tidak berlaku juga dalam ilmu tasawuf sepertinya. Apakah dalam hal belajar ilmu tasawuf hal ini menjadi legal?

Tentu menjawabnya adalah tergantung perpektif. Ketika membacanya dari kacamata ideal sebuah ilmu harus diajarkan, bisa jadi tidak ideal memang.

Akan tetapi terdapat juga ulama besar kita yaitu Ibnul Qayyim al Jauziyah, salah seorang murid kenamaan Ibnu Taimiyah, yang juga menganut tasawuf tanpa masuk dalam madrasah tariqat.

Baca Juga  Siti Bariyah: Ketua Aisyiyah Pertama dan Perintis Soeara Aisjiah

Kenyataan ini tentu mengeliminir tuduhan sebagian orang, bahwa Ibnul Qayyim al Jauziyah anti tasawuf. Beliau tidak anti tasawuf, akan tetapi memang menjalankan tasawuf suluki, tanpa mengikat diri pada tariqat. Kalau beliau dikatakan anti tasawuf, sangat tidak tepat, karena beliau menulis buku yang sangat terkenal dalam hal ini yang berjudul Madariju Salikin Baina Manazili Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in.

Muhammadiyah Tidak anti Tasawuf

Kitab tersebut adalah kitab dengan genre tasawuf yang begitu kental. Akan tetapi banyak dari kalangan Muhammadiyah mengkaji kitab tersebut. Maka benang merahnya, sebenarnya tidak benar jika dikatakan Muhammadiyah anti tasawuf, soal bagaimana kemudian memilih untuk bertasawuf dengan tanpa bertariqat, tentu hal itu merupakan pilihan jalan yang ditempuh oleh jamaah Muhammadiyah dalam skala makro tentunya.

Maka tasawuf ala Muhammadiyah adalah dengan laku yang baik, berakhlak dengan terpuji kepada sesama, serta memiliki akhlak yang baik kepada Allah Swt tanpa ikut dalam pakem dzikir tertentu yang menjadi semacam platform masing-masing tariqat. Apakah kemudian Muhammadiyah menganggap hal tersebut sebagai sebuah kesalahan? Tentu saja tidak, sepanjang tidak melenceng dari ajaran Al-Qur’an dan hadis.

Editor: Yahya FR

Fakhruddin
1 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Articles
Related posts
Tasawuf

Tasawuf di Muhammadiyah (3): Praktik Tasawuf dalam Muhammadiyah

4 Mins read
Muhammadiyah tidak menjadikan tasawuf sebagai landasan organisasi, berbeda dengan organisasi lainnya seperti Nahdlatul Ulama. Akan tetapi, beberapa praktik yang bernafaskan tentang tasawuf…
Tasawuf

Tasawuf di Muhammadiyah (2): Diskursus Tasawuf dalam Muhammadiyah

4 Mins read
Muhammadiyah pada awal mula berdirinya berasal dari kelompok mengaji yang dibentuk oleh KH. Ahmad Dahlan dan berubah menjadi sebuah organisasi kemasrayarakatan. Adapun…
Tasawuf

Urban Sufisme dan Conventional Sufisme: Tasawuf Masa Kini

3 Mins read
Agama menjadi bagian urgen dalam sistem kehidupan manusia. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, pasti memiliki titik jenuh, titik bosan, titik lemah dalam…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds