IBTimes.ID, Depok – Acara Pengukuhan Pimpinan Cabang Muhammadiyah Bojongsari (PCM Bojongsari) Periode 2022-2027 dilaksanakan di Aula Masjid Al-Muhajirin, Komplek Perumahan Bumi Mentari, Kelurahan Pondok Petir, Kecamatan Bojongsari, Depok, 17 September 2023. Seluruh pimpinan cabang yang akan dikukuhkan menggunakan pakaian adat Betawi, yaitu baju koko putih, celana batik, dan peci warna.
Menurut Dr. Zamah Sari, M.Ag., Ketua PCM Bojongsari yang baru saja dikukuhkan oleh Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Depok (PDM Kota Depok) bahwa penggunaan baju khas Betawi sebagai bentuk pengakuan bahwa Muhammadiyah tidak anti budaya lokal. Bahkan, budaya lokal harus terus dipertahankan sebagai bagian dari nilai luhur kebudayaan bangsa kita.
“Dakwah kita adalah berbasis kebudayaan lokal. Jadi, kami sengaja menggunakan baju khas Betawi dalam pengukuhan di hari ini. Karena kami sadar bahwa kami akan berdakwah di Bojongsari yang notabene-nya warga pribumi Betawi. Sehingga dengan menggunakan pendekatan kebudayaan, gerakan Muhammadiyah akan menjadi tak asing di tengah-tengah masyarakat Bojongsari,” ungkap Buya Zamah, panggilan akrab Dr. Zamah Sari, M.Ag., di sela-sela sambutannya.
Buya Zamah melanjutkan bahwa jangan sampai gerakan Muhammadiyah di akar rumput menjadi asing, gara-gara kebudayaan lokal tidak mendapatkan perhatian penting bagi warga Muhammadiyah. Bahkan, PCM Bojongsari akan menjadikan kebudayaan lokal Betawi sebagai sarana dakwah di tengah-tengah masyarakat Bojongsari.
“Pada saat Musyawarah Cabang Ke-1 (Musycab Ke-1) yang dilaksanakan pada tanggal 13 Agustus 2023 lalu di Yayasan Al-Hasra Bojongsari, kami sengaja mendatangkan oplet dan sepasang ondel-ondel. Bahkan, di acara pembukaan Musycab, kami hadirkan tarian asli Betawi dari anak-anak SMA Muhammadiyah Sawangan. Tujuannya satu, jangan sampai kebudayaan yang adi luhung ini tidak dikenal oleh generasi mendatang atau bahkan punah karena tak ada peminatnya,” tambah Buya Zamah.
Buya Zamah menambahkan bahwa keberpihakan pada kebudayaan lokal sebagai bentuk kepanjangan tangan kita terhadap keberpihakan pada lokalitas yang ada di Bojongsari dan sekitarnya. Jangan sampai, keabaian kita terhadap lokalitas, kita akan digusur oleh kebudayaan luar yang datang membanjiri Bojongsari.
“Muhammadiyah telah bersepakat bahwa keberadaan Indonesia ialah sebagai darul ahdi wa syahadah. Dengan demikian, konteks darul ahdi ialah negara ini sebagai sebuah konsensus kita bersama. Sedangkan konteks darul syahadah ialah dimana kita menjadi saksi meluruskan arah kiblat negeri ini. Sikap ini bukan hanya milik Muhammadiyah di tingkat Pusat, tetapi di tingkat Cabang bahkan hingga Ranting, harus bisa terimplementasi dengan baik,” tambah Buya Zamah.
Menurut Buya Zamah, konteks darul ahdi wa syahadah di tingkat Cabang dan Ranting salah satunya ialah bagaimana kita bisa berpihak terhadap lokalitas yang ada di tempat kita masing-masing tinggal. Jangan sampai, lokalitas terusir oleh kebudayaan yang datang membanjiri tempat kita. Pada akhirnya, kita akan terusir dari tempat tinggal kita hanya gara-gara negara tidak berpihak kepada lokalitas.
Bahkan, Buya Zamah menyampaikan bagaimana pandangan keberpihakan Muhammadiyah terhadap lokalitas yang ada di Pulau Rempang. Muhammadiyah dengan tegas menolak atas nama apapun untuk mengusir warga lokal Pulau Rempang. Karena, mereka berhak hidup dan tinggal di tanah mereka yang telah diwariskan oleh moyang mereka.
“Maka, konteks darul ahdi wa syahadah di Bojongsari ialah bagaimana kita secara bersama-sama kompak menjaga lokalitas ini. Sehingga, alasan apapun yang melatarbelakangi untuk mengusir lokalitas, kita siap mempertahankannya,” pungkas Buya Zamah.
(Hamli/Soleh)