Perspektif

Muhammadiyah Tidak Dikenal, Tapi Dirasakan!

4 Mins read

DALAM studi tentang gerakan keagamaan di Indonesia, Muhammadiyah pada umumnya dikelompokkan sebagai gejala Islam perkotaan. Secara salah kaprah, pengelompokan ini sering difahami bahwa Muhammadiyah hanya cocok untuk masyarakat kota, sementara untuk masyarakat pedesaan kurang sesuai. Sehingga, kadang Muhammadiyah dianggap tidak dikenal.

Dianggap Islam Perkotaan, Muhammadiyah Tidak Dikenal?

Fakta bahwa Muhammadiyah lebih banyak memiliki basis di perkotaan sering dijadikan sebagai dasar untuk membenarkan pandangan itu. Barangkali pernyataan seperti ini benar untuk suatu masa dulu, namun dalam konteks masa kini perlu kembali dipertimbangkan. Revisit (kajian ulang) terhadap sebuah teori memang menjadi bagian tak terpisahkan dari kajian ilmiah, terlebih teori yang menyangkut manusia.

Namun sejujurnya, saya tidak tahu persis, apakah ada data yang benar-benar berbasis riset bahwa Muhammadiyah memang hanya sesuai untuk masyarakat perkotaan? Ataukah pandangan itu lahir karena label Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modernis? Sementara secara umum ada pandangan bahwa orang kota lebih identik dengan hal-hal yang modern, sementara orang desa tradisional?

Jika dasar pandangan itu adalah modernitas, dan modernitas itu dirujuk kepada “modernisasi” yaitu sebuah proses ketika masyarakat mengalami pemodernan secara fisik, misalnya melalui penggunaan alat-alat canggih; maka kota dan desa sudah tidak ada bedanya, kini.

Menjadi Fenomena Pedesaan

Dalam arus perubahan sosial yang demikian cepat ini, saya meyakini Muhammadiyah sudah tidak mengenal basis teritorial kota dan desa secara eksklusif. Nyatanya, di kota ada Muhammadiyah, di desa pun ada Muhammadiyah, bahkan di masa lalu, ketika teknologi belum digunakan seluas sekarang dan tanpa batas.

Daripada terus berteori, saya ingin hadirkan kisah saya sendiri dalam kaitannya dengan Muhammadiyah. Saya lahir dan tumbuh di sebuah dusun terpencil di kawasan pesisir utara Lamongan. Mencorek, nama dusun itu. Saking terpencilnya, hingga listrik pun baru menyinari dusun saya itu pada tahun 2000. Hanya selisih satu tahun dengan kelulusan saya sebagai sarjana di UMM. Di dusun terpencil itu, yang ada hanya sekolah Muhammadiyah. Bahkan, sampai kini, masyarakat dusun itu tak menganut faham keagamaan lain selain Muhammadiyah.

Baca Juga  IMM: Aku Islam, Maka Aku Indonesia

Gairah berorganisasi masyarakatnya luar biasa. Maka, siang hari bertani dan beternak, malam hari ber-Muhammadiyah adalah hal yang biasa. Kepada Prof. Zainuddin Maliki yang pada suatu ketika memberikan pengajian di dusun saya itu, saya bisikan: “Prof, jika melihat jumlah jamaahnya, satu ranting ini saja, sama dengan jamaah setingkat Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota, di sebuah kota di Jawa Timur.” Prof. Zainuddin manggut-manggut, mungkin karena menemukan kebenaran dari informasi saya itu.

Saya ingat persis, pada dasawarsa 1980-an, di dusun itu tidak ada sekolah. Semua anak usia sekolah dikumpulkan di sebuah surau. Tak peduli umur berapa, semua mendapatkan pelajaran yang sama. Bertahun-tahun proses seperti itu berlangsung, hingga pada suatu hari, kami diajak keluar dari surau itu. Rupanya, kami diarak menuju ke sebuah gedung. Sesampianya di depan gedung itu, kami berbaris, dan lalu dipanggil masuk kelas berdasarkan umur masing-masing.

Saya masuk kelas III Madrasah Ibtidaiyah, tanpa melewati, jangankan TK, kelas I dan II pun tidak. Kami bergembira dengan sekolah baru itu, tanpa peduli itu sekolah apa. Meskipun para guru menjelaskan bahwa nama resmi sekolah itu adalah Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah (MIM-05) Mencorek, namun kami tidak terlalu faham dan mungkin juga tak peduli. Barulah setelah semakin dewasa, kami memahami bahwa sekolah itu didirikan dan dikelola oleh sebuah organisasi Islam bernama Muhammadiyah.

Saya membayangkan, seandainya tidak ada Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah itu, barangkali saya dan banyak anak-anak dusun lainnya tak akan mengenyam pendidikan. Ya, karena sekolah terdekat ada di tetangga desa, dan tak semua orang di dusun kami memiliki kemampuan untuk menjangkau sekolah yang di luar dusun itu. Karena itu, pada poin ini saya sering mengungkapkan bahwa kehadiran sekolah Muhammadiyah itu benar-benar telah menjadi sarana bagi lahirnya mobilitas sosial bagi masyarakat di dusun terpencil yang kini perlahan mulai sejajar dengan tetangga-tetangganya itu.

Baca Juga  Dakwah Muhammadiyah itu Kultural, Bukan Gegap-Gempita

Muhammadiyah Tidak Dikenal, Tapi Dirasakan!

Dari cerita itu, saya hendak menggariskan dua poin. Pertama, bahwa Muhammadiyah hadir, tak hanya di kota, bahkan di dusun terpencil, yang sekolah pemerintah pun tidak memasukinya. Kedua, ternyata meskipun Muhammadiyah masuk ke pedesaan dengan mengusung karya dan melayani masyarakat, tak dengan sendirinya pengambil manfaat dari kehadiran Muhammadiyah itu tahu bahwa Muhammadiyah adalah pelakunya.

Jadi, sangat mungkin masyarakat tak mengenal Muhammadiyah sebagai sebuah nama. Namun, masyarakat mengenal Muhammadiyah melalui karya dan pelayanan. Muhammadiyah mungkin tidak dikenal, tapi dirasakan.

Masih banyak lagi cerita lain tentang bagaimana masyarakat, elit maupun rakyat jelata, yang merasakan karya dan pelayanan Muhammadiyah dalam berbagai bidang, tetapi tidak tahu bahwa yang berkarya itu adalah Muhammadiyah. Maka, bagi Muhammadiyah, yang paling utama adalah berkarya dan melayani manusia dan kemanusiaan. Persoalan ada yang tak mengenalnya, atau ada yang menyebut Muhammadiyah tak hadir di masyarakat, itu sama sekali tak harus jadi persoalan besar.

Sebelum dikenal luas dengan sebutan UMM, Universitas Muhammadiyah Malang dikenal masyarakat sekitar, dan bahkan masyarakat di Jawa Timur dengan nama “Unmuh Malang”. Fakta bahwa “Unmuh” itu singkatan dari Universitas Muhammadiyah, rupanya tak banyak disadari oleh orang. Apatah lagi kesadaran bahwa pemilik Unmuh itu adalah sebuah organisasi Islam besar bernama Muhammadiyah. Tapi mungkin karena ketidaktahuan tentang hubungan antara Unmuh dan Muhammadiyah inilah, masyarakat dengan aneka latar belakang, lalu tak canggung masuk ke UMM yang kini tumbuh menjadi kampus pilihan masyarakat.

Salah Sebut Muhammadiyah

Nah, melengkapi fakta tentang masyarakat yang tak mengenal Muhammadiyah ini, saya ingat beberapa cerita. Dr. Suyoto, mantan Bupati Bojonegoro yang cemerlang, sering menuturkan bahwa masyarakat di desa kelahirannya memang tidak mengenal Muhammadiyah, betapapun Muhammadiyah telah ada di sana dan memiliki kegiatan yang aktif. Ya, mereka tak mengenal Muhammadiyah, karena yang mereka tahu adalah “Kamandolah.” Apakah “Kamandolah” itu? Ini persoalan dialek. Karena orang-orang di desa Kang Yoto tak bisa menyebut Muhammadiyah dengan baik, yang keluar adalah kata “Kamandolah,” yang kemudian menjadi sebutan sehari-hari. Begitu Kang Yoto sering bercerita.

Baca Juga  Tiga Gerakan Pelopor Kebangkitan Nasional Indonesia

Cerita lainnya berasal dari Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin. Saat menjabat Staf Khusus Presiden, dan saya menjadi salah satu asistennya, Dr. Ruhaini bercerita tentang salah satu pertemuan dengan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Usai pertemuan itu, Dr Ruhaini menceritakan dengan sedikit rasa kesal karena berkali-kali Ganjar menyebut Muhammadiyah dengan “Kamandiyah.” Tentu, sebagai kader Muhammadiyah, mendengar Muhammadiyah dilafalkan dengan “Kamandiyah,” itu akan terasa sebagai sebuah pelecehan.

Namun, belakangan saya tahu dari beberapa kawan, salah satunya Yudhi Najibullah, salah satu pengurus Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, bahwa bagi sebagian orang di Jawa Tengah, mengucapkan kata “Muhammadiyah” secara baik dan benar, memang sulit. Apalagi jika harus melibatkan makharijul huruf yang baik. Sehingga menurut Yudhi, sebutan “Kamandiyah” itu sama sekali tidak dimaksudkan sebagai pelecehan. “Memang bisanya begitu,” kata Yudhi.

Jadi, sepertinya kita memang harus mengakui bahwa tidak semua kalangan masyarakat mengenal Muhammadiyah, meskipun sudah menikmati karya dan pelayanan Muhammadiyah. Praktiknya, ada yang mengenal rumah sakit ‘Aisyiyah, tetapi tidak tahu bahwa itu di bawah Muhammadiyah. Atau seperti cerita di atas, mereka mengenal Muhammadiyah namun penyebutannya berlainan.

***

Maka, sebuah cerita yang berkembang luas di media sosial (saya yakin itu cerita anekdot), tentang pesan seorang ayah kepada anaknya yang hendak kuliah di Yogyakarta menarik untuk dihadirkan untuk menutup tulisan ini.

Kata Sang Ayah: “Nak, di Yogyakarta nanti, kamu boleh kuliah di kampus mana saja, asal bukan di Universitas Muhammadiyah.”

Sang anak berangkat ke Yogyakarta, dan kemudian melapor kepada ayahnya. “Yah, aku tidak kuliah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Tapi, aku kuliah di Universitas Ahmad Dahlan (UAD).”

Sang ayah pun bahagia, karena ia menganggap UAD bukan kampus Muhammadiyah, oleh karena tak memakai nama Muhammadiyah. “Alhamdulillah, kamu tidak kuliah di kampus Muhammadiyah, Nak.”

Editor: Nabhan

37 posts

About author
Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds