Seiring dengan perubahan tatanan sosial politik dari orde baru ke orde reformasi peran ulama mengalami pergeseran. Peralihan dari orde baru ke orde reformasi ditandai dengan adanya perubahan struktur sosial, membawa harapan bagi berbagai komponen salah satunya adalah peran dan posisi ulama. Ulama merespon dengan baik adanya peralihan tersebut. Peran yang diharapkan dipahami akan mendatangkan perubahan.
Pergeseran Peran Ulama
Ulama baik secara pribadi maupun kelembagaan seperti MUI yang pada awalnya bergerak pada jalur keagamaan, pemberdayaan umat, serta kultural, yang dalam bahasa Clifford Geertz (1981) disebut cultural broker (makelar budaya), sudah mengalami perubahan. Peran MUI perlahan-lahan mulai bergeser seiring dengan perubahan politik di tanah air. Peran MUI pun mulai merambah wilayah politik, ekonomi, dan hukum.
Adanya pergeseran peran MUI berdampak pada tatanan sosial masyarakat, di antaranya peran ulama yang berorientasi pada aspek politik berdampak terhadap reposisi MUI dalam hubungannya dengan umara, apalagi sekarang Wakil Presiden merupakan kyai/ulama yang pernah memegang posisi Ketua MUI Pusat. Pada aspek ekonomi, di antaranya gerakan zakat yang diperjuangkan oleh MUI berdampak pada peningkatan sadar zakat di kalangan pejabat tinggi negara, ASN, TNI, Polri, BUMN, BUMD, selebritis, dan masyarakat pada umumnya, sehingga lahirnya Undang-undang nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dan munculnya Perda-Perda zakat di daerah. Pada aspek hukum, di antaranya peran MUI berdampak pada kesadaran untuk mengimplementasikan berbagai kebijakan yang tertuang dalam Perda yang ditetapkan oleh DPRD dan pemerintah daerah.
***
Dalam pandangan Berger bahwa konstruksi sosial merupakan sebuah proses dialektika tiga tahap, yaitu eksternalisasi, objektivikasi, dan internalisasi (Berger dan Luckmann, 1990:185). Pada tahap pertama, eksternalisasi, yaitu penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia. Sedangkan pada tahap kedua, objektivitas, yaitu interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi. Kemudian pada tahap ketiga internalisasi, yaitu sebagai proses individu mengidentifikasi diri dengan lembaga-lembaga sosial tempat individu menjadi anggotanya. Ketiga proses tersebut saling berdialektika secara terus-menerus pada diri individu dalam rangka pemahaman tentang realitas (Berger dan Luckmann, 1990).
Bagaimana peran MUI dalam tatanan sosial, politik, dan budaya di Indonesia? Sebab, Indonesia adalah negara kepulauan yang besar dan kaya akan budaya dengan perbedaan suku, adat istiadat bahasa, kebiasaan, norma, juga kepercayaan, Indonesia tetap bisa berdaulat. Hal ini disebabkan adanya prinsip persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Maka MUI sebagai independen harus menguatkan nasionalisme keulamaan dalam memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa dalam bingkai keberagaman.
Pengkhidmatan MUI sebagai Wujud Nasionalisme Ulama Indonesia
MUI bukan hanya terbatas pada fatwa dan menjawab persoalan-persoalan keagamaan saja, seperti: bidang akidah dan aliran keagamaan, bidang ibadah, bidang sosial dan budaya, bidang pangan, obat-obatan, ilmu pengetahuan dan teknologi, dll. Atau lebih spesifik dengan bahasa keislamannya yakni Masail Diniyyah Asasiyyah Wathaniyyah, Masail Waqi’iyyah Mu’ashirah atau Masail Fiqhiyyah Mu’ashirah, Masail Qanuniyyah (Hukum dan Perundang-undangan). (MUI, 2011: xiii-xx)
Majelis Ulama Indonesia yang merupakan wadah himpunan ulama dan cendikiawan muslim yang menjalankan perannya dalam masyarakat yaitu kewajiban membina umat Islam. MUI memiliki tanggung jawab melakukan pembinaan dan meningkatkan pemahaman keislaman serta tuntunan kehidupan keberagaman Islam. Dalam membina umat Islam, MUI memiliki program-program dalam meningkatkan pemahaman tentang ajaran Islam kepada masyarakat minoritas dan awam akan keislaman.
Majelis Ulama Indonesia biasa disingkat MUI adalah lembaga independen yang mewadahi para ulama, zuama, dan cendikiawan Islam untuk membimbing, membina, dan mengayomi umat Islam Indonesia. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada 17 Rajab 1395 Hijriah atau 26 Juli 1975 Masehi di Jakarta Indonesia. Sesuai dengan tugasnya MUI membantu pemerintah dalam melakukan hal-hal yang menyangkut kemaslahatan umat Islam, seperti mengeluarkan fatwa dalam kehalalan makanan, penentuan kebenaran sebuah aliran dalam agama Islam, dan hal-hal yang berkaitan dengan hubungan seorang muslim dengan lingkungannya. (MUI Partner Pemerintah Capai Kemaslahatan Umat, Republika Online, diakses pada tanggal 01 Juli 2023, Jam 15.30 WIB)
***
Pemerintah ketika membentuk MUI menyatakan tiga peran dalam melayani masyarakat yaitu:
a. Memperkuat agama dengan cara yang dijelaskan Pancasila untuk memastikan ketahanan nasional.
b. Partisipasi ulama dalam pembangunan nasional.
c. Mempertahankan keharmonisan antar umat beragama di Indonesia MUI bertindak sebagai antarmuka antara pemerintah Indonesia yang sekuler, dan masyarakat Islam, perubahan masyarakat sipil setelah terjatuhnya Suharto memperluas peran MUI dan membuatnya semakin kompleks, MUI memberikan fatwa kepada masyarakat Islam, melalui ini mereka menentukan arah umum kehidupan umat Islam di Indonesia.
Tugas Pengabdian Majelis Ulama Indonesia tertuang dalam tujuh tugas MUI, yaitu:
a. Sebagai pengawal bagi penganut agama Islam.
b. Sebagai pemberi edukasi dan pembimbingan bagi penganut agama Islam.
c. Sebagai pemberi solusi bagi masalah keagamaan di dunia Internasional.
d. Sebagai penjaring kader-kader yang lebih baik.
e. Sebagai perumus konsep pendidikan Islam.
f. Sebagai pengawal konten dalam media massa. (Didin Hafidudin, Jurnal, ‘‘Tujuh Tugas MUI Untuk Mengawal Ummat”, (6 September 2015).
Peran Keumatan dan Kebangsaan MUI
Seperti yang dirangkum dari laman resmi mui.or.id, informasi seputar Majelis Ulama Indonesia atau MUI, Jumat (17/3/2023).
Bahwa visi yang diemban oleh Majelis Ulama Indonesia yakni:
“Terciptanya kondisi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan yang baik sebagai hasil penggalangan potensi dan partisipasi umat Islam melalui aktualisasi potensi ulama, zu’ama, aghniya dan cendekiawan muslim untuk kejayaan Islam dan umat Islam (izzu al-Islam Wa al-Muslimin) guna perwujudannya. Dengan demikian posisi Majelis Ulama Indonesia adalah berfungsi sebagai Dewan Pertimbangan Syariah Nasional, guna mewujudkan Islam yang penuh rahmat (rahmat li al-alamin) di tengah kehidupan umat manusia dan masyarakat Indonesia.”
Sedangkan misi yang diemban oleh Majelis Ulama Indonesia yaitu:
“Menggerakkan kepemimpinan dan kelembagaan Islam secara efektif, sehingga mampu mengarahkan dan membina umat Islam dalam menanamkan dan memupuk aqidah Islamiyah, dan menjadikan ulama sebagai panutan dalam mengembangkan akhlak karimah agar terwujud masyarakat yang khair al-ummah.”
***
Adapun Tugas Pokok dan Fungsi (TPF) Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah:
- Memberikan fatwa atau pendapat hukum Islam atas berbagai persoalan agama dan kehidupan masyarakat, baik yang berkaitan dengan keagamaan, sosial, politik, ekonomi, dan budaya.
- Memberikan nasihat, konsultasi, dan rekomendasi kepada pemerintah dan lembaga-lembaga negara dalam hal-hal yang berkaitan dengan agama dan kehidupan masyarakat.
- Menjalin hubungan dan kerjasama dengan organisasi-organisasi Islam dalam dan luar negeri, serta memperkuat solidaritas dan persatuan umat Islam di Indonesia.
- Mengembangkan dan memperkuat lembaga-lembaga pendidikan agama dan mempromosikan pendidikan agama yang sehat dan berkualitas di Indonesia.
- Mempromosikan dan mengawasi penerapan prinsip-prinsip syariah dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia.
- Mengembangkan dan memperkuat dakwah Islam di Indonesia, serta mempromosikan perdamaian, toleransi, dan kerukunan antarumat beragama di Indonesia.
- Menjaga dan mempertahankan keutuhan dan kemurnian ajaran Islam di Indonesia.
Dalam menjalankan TPF-nya, MUI bekerja secara mandiri dan tidak terikat dengan pemerintah atau lembaga negara lainnya. Keputusan dan fatwa yang dikeluarkan oleh MUI memiliki pengaruh yang besar terhadap masyarakat Muslim Indonesia, dan sering dijadikan pedoman dalam kehidupan beragama dan sosial masyarakat.
***
MUI atau Majelis Ulama Indonesia adalah Wadah Musyawarah para Ulama, Zu’ama, dan Cendekiawan Muslim di Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, Indonesia.
MUI berdiri sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air, antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Mathla’ul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan.
Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama. Ulama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI,” yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama.
***
Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat. Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima tahun, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zuama dan cendekiawan muslim berusaha untuk:
Memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala;
Memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhuwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta.
Menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penerjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional. Meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslim dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.
***
Dari visi, misi, tupoksi dan realitas sosial-politik yang melingkari kelahiran MUI, maka ada komitmen nasionalisme keulamaan (MUI) yakni, peran keumatan dan kebangsaan MUI dalam memperkokoh persatuan dalam bingkai keberagaman.
Indonesia sesungguhnya memiliki modal besar untuk menjadi sebuah bangsa yang maju, adil, makmur berdaulat, dan bermartabat. hal itu didukung oleh sinilah fakta positif yang dimiliki bangsa Indonesia titik pertama posisi geopolitik yang sangat strategis. kedua kekayaan alam dan keanekaragaman hayati titik ketiga jumlah penduduk yang besar. keempat Kemajemukan sosial budaya. namun modal dasar dan potensi yang besar itu tidak dikelola dengan optimal dan sering disia-siakan sehingga bangsa ini kehilangan banyak momentum untuk maju dengan cepat sekaligus menimbulkan masalah yang kompleks.
Dengan menghargai sejumlah kisah sukses di sejumlah bidang kehidupan seperti keberhasilan dalam demokrasi pemulihan ekonomi, dan resolusi konflik di sejumlah daerah; diakui bahwa Indonesia hingga saat ini masih menghadapi berbagai masalah nasional yang kompleks. diantaranya masalah politik ekonomi dan sosial budaya yang memerlukan prioritas dan perhatian untuk dipecahkan (PPM, 2009:9-10).
Peran Dinamisator dan Katalisator MUI
Peran dinamisator dan katalisator para ulama tempo dulu, telah ditunjukkan dengan lahirnya Piagam Jakarta yang ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1945 di Jakarta oleh Sembilan Anggota Kecil, terdiri dari: Ir. Soekarno, Drs. Mohamad Hatta, Mr. AA. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Mudzakir, H. Agus Salim, Mr. Achmad Subardjo, Wachid Hasjim, dan Mr. Muhammad Yamin. Panitia kecil ini menghasilkan dokumen negara yang berisi asas dan tujuan Negara Indonesia merdeka yang dikenal juga dengan Piagam Djakarta itu adalah:
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya;
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab;
3. Persatuan Indonesia;
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan; dan
5. Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
***
Naskah Piagam Jakarta yang disetujui dan disepakati oleh BPUPKI itu hanya berusia 56 hari. Namun, beberapa jam usai Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, “tujuh kata” (Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya) dalam sila pertama terjadi perbedaan pandangan dan pendapat. Setelah konsultasi dengan Ki Bagus Hadikusumo sebagai pemilik ide tersebut pada akhirnya demi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, “tujuh kata” tersebut diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Mohamad Hatta, sebagaimana dikutip Mohamad Damami (2000: 120-121) menulis bahwa kejadian perubahan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang diterima oleh kalangan Islam, walaupun sudah dipertahankan sekuat tenaga oleh Ki Bagus Hadikusumo telah menunjukkan bahwa para pemimpin Islam waktu itu benar-benar mementingkan nasib dan persatuan bangsa.
Peran dinamisator dan katalisator ualama terdahulu, harus menjadi spirit bagi MUI, bahwa para ulama sangat berjasa besar dalam memperjuangkan bangsa Indonesia dari tangan penjajah. Pada saat kemerdekaan pun, ulama sangat berjasa besar dalam membuat arah, tujuan dan cita-cita bangsa dengan lahirnya Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Maka tidak eranya lagi meminggirkan peran ulama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jiwa besar para ulama untuk persatuan, kesatuan dan keutuhan bangsa Indonesia disebabkan, bahwa dalam masyarakat Indonesia memiliki keberagaman antara lain meliputi: suku bangsa, agama, budaya dan antargolongan.
Faktor penyebab keberagaman masyarakat Indonesia antara lain: (1) letak strategi wilayah Indonesia; (2) kondisi negara kepulauan; (3) perbedaan kondisi alam; (4) keadaan transportasi dan komunikasi; (5) penerimaan masyarakat terhadap perubahan.
***
Keberagaman masyarakat Indonesia memiliki dampak positif sekaligus dampak negatif bagi diri sendiri masyarakat, bangsa dan negara.
Dampak positif, keberagaman memberikan manfaat bagi perkembangan dan kemajuan. Sedangkan dampak negatifnya mengakibatkan ketidakharmonisan bahkan perpecahan bangsa dan negara.
Keberagaman masyarakat Indonesia memiliki arti penting sebagai berikut:
a. Keberagaman tersebut akan menjadi modal sosial yang besar untuk membangun bangsa dan negara Indonesia yang maju dan sejahtera.
b. Sebaliknya, bila keberagaman tersebut tidak dapat dikelola dengan baik dan tidak dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika maka dapat menjadi penyebab konflik yang membahayakan keutuhan bangsa dan negara Indonesia.
Dengan demikian semboyan Bhinneka Tunggal Ika dipergunakan sebagai upaya mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Meskipun berbeda-beda suku bangsa, adat istiadat dan agama, masyarakat Indonesia, tetap bersatu dalam persatuan mengisi kemerdekaan. Untuk mewujudkan cita-cita negara yang merdeka bersatu berdaulat adil dan makmur.
Keberagaman bukan unsur perpecahan namun justru yang menciptakan kesatuan bangsa melalui semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Kesatuan adalah upaya untuk mempersatukan perbedaan suku, adat istiadat, dan agama untuk menjadi satu yaitu bangsa Indonesia.
***
Adapun cara memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, seperti dilansir dari situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, ada lima prinsip persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
1. Bhinneka Tunggal Ika
Harus disadari bahwa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia didapatkan dengan menegakkan prinsip Bhinneka Tunggal Ika.
Prinsip Bhinneka Tunggal Ika yang memaknai agar mengakui bahwa bangsa Indonesia memiliki keberagaman suku, bahasa, agama, dan adat kebiasaan.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika tercantum dalam undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2009 tentang bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan. (Pasal 46)
***
Prinsip Bhinneka Tunggal Ika, yaitu nasionalisme Indonesia, kebebasan yang bertanggung jawab, wawasan nusantara, dan persatuan pembangunan untuk mewujudkan cita-cita reformasi.
2. Nasionalisme Indonesia
Prinsip nasionalisme Indonesia yang mengajari kita untuk mencintai bangsa, membangun tali kekeluargaan antar warga menumbuhkan rasa rela berkorban bagi negara.
Prinsip nasionalisme juga membuat masyarakat memiliki cita-cita dan tujuan yang sama bagi kemajuan bangsa.
3. Kebebasan yang bertanggung jawab
Prinsip kebebasan yang bertanggung jawab adalah prinsip yang memberikan kebebasan individu untuk berperilaku dan berpendapat namun tetap mempertimbangkan kepentingan bersama.
Prinsip kebebasan yang bertanggung jawab mendorong demokrasi namun tetap mengindahkan hak asasi manusia juga kepentingan bangsa.
4. Wawasan nusantara
Wawasan nusantara adalah pedoman dan cara pandang bangsa Indonesia yang dilandaskan oleh Pancasila dan Undang-Undang Republik Indonesia.
Wawasan nusantara mempersatukan cara pandang bangsa, pedoman dan aturan dalam meraih tujuan bangsa dan mempertahankan persatuan serta kesatuan.
5. Persatuan Pembangunan
Prinsip terakhir dalam persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia adalah Persatuan Pembangunan demi mewujudkan cita-cita reformasi.
***
Prinsip ini mempersatukan masyarakat Indonesia yang beragam dalam satu tujuan yaitu mewujudkan cita-cita reformasi bangsa.
Cita-cita reformasi memiliki tujuan luhur yaitu mewujudkan bangsa Indonesia yang lebih baik maju, sejahtera dengan kebebasan demokrasi dan pemerintah yang transparan serta Pro terhadap rakyat.
Peran dinamisator dan katalisator MUI harus lebih ditunjukkan ke “akar rumput” supaya konflik vertikal dan horizontal tidak terjadi. Sebab salah satu cara memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa dapat ditempuh melalui mengimplementasikan Pancasila. Selain itu juga mengimplementasikan semangat Sumpah Pemuda dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam Pancasila merupakan pedoman hidup bangsa persatuan dan kesatuan Indonesia disebutkan dalam sila ke-3.
Dalam Sumpah Pemuda juga berisikan janji putra dan putri Indonesia yang bertumpah darah satu yaitu Indonesia, dan berbangsa satu yaitu bangsa Indonesia, dan berbahasa satu yaitu bahasa Indonesia.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika juga mempersatukan Indonesia yang berbeda-beda dalam kedaulatan bangsa.
Prinsip Bhinneka Tunggal Ika mempersatukan masyarakat Indonesia yang berbeda menjadi tetap satu.
Prinsip ini menjauhkan masyarakat Indonesia dari diskriminasi sehingga persatuan dan kesatuan dapat tercapai.
Agenda MUI dalam Memperkokoh Persatuan dalam Keberagamaan
1. Peran ulama sebagai negarawan
Ulama adalah orang yang tertanam akarnya pada masyarakat dan tumbuh dari dan tengah-tengah rakyat (Dawam R., 1996) Maka MUI harus menunjukkan sikap sebagai negarawan sejati yang tidak terbawa narasi pengkotak-kotakan umat dengan hoaks, ujaran kebencian, provokasi dan agitasi politik.
Sikap ulama-negarawan adalah mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa. Adapun contoh sikap memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa dapat dilakukan oleh MUI antara lain: menanamkan semangat gotong royong, menanamkan sikap tolong-menolong otonomi daerah, menanamkan sikap kekeluargaan, musyawarah dalam pengambilan keputusan kerjasama antar umat beragama yang berbeda, tidak membeda-bedakan suku, agama, dan ras, menegakkan HAM, saling menghormati perbedaan antara sesama manusia, peduli kepada orang lain, menjunjung tinggi demokrasi, menghargai pendapat orang lain, turut serta memajukan bangsa, bersosialisasi dengan siapa saja tanpa membeda-bedakan orang, menerima keadaan fisik setiap orang tanpa adanya diskriminasi, penegakan hukum yang adil tanpa ada diskriminasi pada minoritas maupun status sosial, tidak melakukan perbuatan yang dapat memecah persatuan seperti ekstrimisme egoisme, terorisme, sukuisme dan rasisme.
2. Peran ulama sebagai mediator
Pada era kemerdekaan para ulama menunjukkan perannya sebagai cultural brokers, dimana mereka (para ulama) berhasil merumuskan sistem budaya nasional dengan lahirnya Pancasila, yang sila-silanya sarat kultur Islam dan kultur rakyat dalam rumusan dasar negara (Burhani, 2001: 150)
Pada era Orde Baru pun ulama mampu menyikapi setiap kebijakan pemerintah terkait dengan berbagai hal, seperti: program Keluarga Berencana (KB), transmigrasi, SDSB, asas tunggal Pancasila, dll.
Begitu juga di era pasca reformasi sampai sekarang, ulama lewat MUI juga sangat berperan aktif sebagai mitra pemerintah terhadap isu-isu terkini seperti terorisme, korupsi, kerukunan antarumat beragama, aliran kepercayaan, demokrasi, judi online, HAM, LGBT, dll. Maka peran sebagai mediator sangat penting dilakukan MUI dengan bersinergi antarlembaga negara.
***
3. Peran Penjaga Hikmah
Ulama merupakan orang yang memiliki integritas moral dengan memiliki kepribadian yang komprehensif, yakni iman, ilmu dan amal saleh. Di tengah krisis karakter bangsa dan budaya bangsa, maka ulama sebagai pewaris para Nabi dan Rasul (warasatul anbiya) harus terdepan dalam memberikan teladan pada umat dan rakyat (uswatunhasanah).
Para ulama (MUI) harus menyapa batin umat dan rakyat di “akar rumput” dengan segala permasalahan ekonomi, kesejahteraan, “keterlenaan”(pengaruh negatif) budaya asing, konflik kesukuan/ras, dan permasalahan lainnya. Pada sisi lain, MUI juga menghadapi masyarakat kota yang “kelimpahan” informasi, materi, kursi, ambisi, dan gejala split of personality, dan gaya hidup kota dan selebritis lainnya. Maka MUI sebagai oase yang menjadi penyejuk spiritualitas umat dan rakyat harus berperan sebagai penjaga hikmah (moral force).
Apabila agenda di atas dapat dilaksanakan dengan baik, maka MUI sebagai lembaga yang berperan secara nonmaterial dan nirlaba sudah mewujudkan sikap sejahtera bagi umat dan rakyat Indonesia. Sebab sebagai agen perubahan MUI menunjukkan keadaan yang baik, kondisi dimana umat dan rakyat dalam keadaan makmur, sehat dan damai. Sehingga Indonesia menjadi negara dan rakyat yang bermartabat dimana hak seseorang untuk dihargai dan dihormati dan diperlakukan secara etis di mata dunia.
MUI dan Pengarus-utamaan Islam Wasathiyah di Indonesia
Dari peran-peran yang dikedepankan oleh MUI selama ini, maka dapat dipahami, bahwa MUI sangat mengedepankan atau mengarus-utamakan prinsip-prinsip Islam Wasathiyah, yakni moderat, tengahan, dinamis, adil, harmonis, atau penegah.
Pengarus-utamaan Islam Wasathiyah menjadikan MUI memiliki marwah, baik di kalangan pemerintah, umat dan rakyat Indonesia. Namun, kita juga tidak menapikan adanya orang-orang yang tidak senang dengan MUI dan kebijakannya.
Selamat Milad ke-48 MUI. Mari kita arus-utamakan Islam Wasathiyah.
Editor: Soleh