Report

Mukhtasor tentang RUU EBT: Cegah Energi Terbarukan Ditunggangi Kelompok Bisnis!

5 Mins read

Pada hari Kamis (4/2), Dewan Energi Mahasiswa (DEM) Universitas Riau berkolaborasi dengan Laboratorium Lingkungan dan Energi Laut, Departemen Teknik Kelautan ITS, mengadakan sebuah diskusi berjudul ‘Webinar RUU EBT: Menilik Urgensi RUU EBT di Indonesia’. Acara tersebut menghadirkan Prof. Dr. Mukhtasor sebagai narasumber ahli dalam mengupas RUU EBT (Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Terbarukan). Diskusi dipantik oleh Rifqi Nuril Huda, Wasekjend Hukum dan Advokasi DEM Indonesia dan dimoderatori oleh Dr. Sony Junianto.

Dalam forum tersebut, Mukhtasor menyoroti beberapa aspek dalam RUU EBT yang penting dalam pengelolaan energi terbarukan di Indonesia. RUU EBT termasuk RUU prioritas yang saat ini sedang dibahas oleh DPR guna mengatur taka kelola energi baru dan terbarukan di Indonesia.

Energi Terbarukan adalah Isu Bersama

Guru Besar ITS ini menekankan bahwa masalah energi terbarukan adalah topik yang sangat penting dan patut untuk dikawal dan didukung oleh publik. Namun beliau menegaskan bahwa pegembangan energi terbarukan dapat ditempuh dengan beberapa strategi, dan strategi yang saat ini ada RUU EBT perlu disoroti karena potensi risiko sosial ekonomi dan menjadi beban pembangunan.

“(RUU) EBT ini menjadi penting kalau isinya ini betul-betul baik, caranya baik. Maksudnya sudah baik (yaitu) untuk mengembangkan energi terbarukan, tetapi caranya perlu dihindari. Jangan sampai ada kepentingan yang lain yang justru lebih membahayakan bagi pembangunan energi itu sendiri ataupun bagi pembangunan Indonesia secara umum.” ujar Mukhtasor.

Mukhtasor menekankan pentingnya energi terbarukan untuk dijadikan modal pembangunan nasional. Oleh karena itu, perlu dibuat skema nasional yang mampu menunjang pengembangannya hingga menjadi aset bagi negara. Cara yang justru menggunakan energi untuk kepentingan yang merugikan rakyat dan negara harus dihindari dan dicegah.

Terdapat berbagai pasal dalam RUU EBT, baik yang pokok maupun yang tambahan. Menurut Anggota Dewan Energi Nasional (2009-2014) ini, bahasan energi terbarukan dalam RUU EBT yang perlu dicermati adalah mengenai tata kelola bisnis energi di Indonesia.

Pemerintah Wajib Membeli Tenaga Listrik Swasta

Mukhtasor menyoroti beberapa pasal dalam RUU EBT ini yang berdampak signifikan pada tata kelola energi di Indonesia. Pasal-pasal tersebut diantaranya adalah pasal 39, 40, dan 51.

Dalam pasal 39, RUU EBT membahas mengenai pihak-pihak yang diizinkan melakukan penyediaan energi terbarukan di Indonesia. Selain badan usaha milik negara, daerah, dan desa, badan usaha milik swasta, perorangan, dan badan usaha yang sesuai ketentuan peraturan lain juga diizinkan. Bahasan ini menjadi penting saat dihubungkan dengan pasal 40 dan 51. Dalam pasal 40 ayat 1 dan 2, RUU EBT mewajibkan perusahaan listrik milik negara untuk membeli listrik dari energi terbarukan.

Baca Juga  Islamisasi di Bumi Nusantara

“Pasal 40 angka 1 itu nanti perusahaan listrik kayak PLN itu wajib—ini wajib, ya. Tidak ada tawar menawar lagi— PLN berkewajiban membeli tenaga listrik yang dihasilkan dari energi terbarukan kalau dijual oleh koperasi, badan usaha milik desa, daerah, (hingga) swasta. Pengalaman selama ini, kontribusi terbesar itu bukan koperasi atau badan usaha milik desa, itu kecil-kecil banget dan daya tawar mereka rendah. Umumnya harga yang bisa dijual ke PLN nggak besar. Kita banyak catatan dan banyak pengalaman melihat itu. Tetapi yang kontribusinya besar adalah badan usaha milik swasta dan sebagiannya asing. Itu yang terjadi sekarang.” tegas beliau.

Apabila pasal ini diterapkan, maka wajib bagi PLN untuk membeli dari badan usaha milik swasta di Indonesia. Jika harga listrik yang diproduksi perusahaan swasta kepada PLN itu mahal dan PLN diwajibkan membelinya, maka itulah masalahnya.

Karena RUU EBT, Listrik Akan Lebih Mahal

Setelah PLN diwajibkan membeli di Pasal 40, Mukhtasor menunjukkan adanya tarif masukan (feed-in tariff) sebagai penetapan harga jual listrik yang ditetapkan oleh pemerintah, yang diatur di Pasal 51. Berkaca dengan pengalaman, tarif masukan ini akan membuat harga jual produksi listrik menjadi lebih mahal.

Hal ini berbeda dengan praktek selama ini, bisnis niaga tenaga listrik menggunakan tender, sehingga memungkinkan harga listrik yang lebih murah sebagaimana hukum pasar yang terjadi tawar-menawar. Karena penentuan harga dari regulasi tarif masukan, ia menjadi lebih mahal.

“Secara umum, pengalaman di Indonesia kalau namanya feed-in tariff—dan pengalaman di dunia juga umumnya—itu akan lebih mahal dari tarif biasa. Kalau tarif biasa berdasarkan bisnis (tender) tadi, itu kan dari transaksi bisnis bisa menjadi lebih murah. Justru karena ada pemaksaan oleh aturan yang ditetapkan oleh pemerintah maka harga itu bisa menjadi lebih tinggi. Kalau tidak lebih tinggi, tidak perlu ditetapkan. Itu otomatis orang akan berbisnis mencari harga pasar.” ujar beliau dalam menjelaskan dampak dari ayat 1 pasal 51 ini.

Baca Juga  Kemenlu: Jadikan Indonesia Sebagai Contoh Penerapan Islam Rahmatan lil Alamin

Beban Kemahalan ditanggung APBN

Setelah PLN diwajibkan membeli listrik dari swasta dengan tarif masukan yang ditetapkan oleh pemerintah, RUU EBT ini mewajibkan agar dana APBN secara legal dapat digunakan menutup kerugian PLN apabila membeli listrik yang lebih mahal daripada yang didistribusikan dan dijual ke masyarakat dan industri.

Dalam pasal 51 ayat 4, RUU EBT mengatur apabila harga yang ditetapkan pemerintah melalui tarif masukan lebih mahal dari harga pokok penyediaan listrik PLN, maka pemerintah wajib mengganti selisih tersebut kepada PLN. Dengan adanya perbedaan harga antara yang ditetapkan dengan yang diproduksi PLN, maka PLN akan rugi, sehingga kerugian tersebut diganti oleh pemerintah.

Mukhtasor menyorot ayat ini dengan tajam, karena akhirnya kompensasi tersebut akan menggunakan APBN. Beliau mengatakan bahwa, jika RUU ini ditetapkan, DPR dan pemerintah seakan-akan sudah mengetahui bahwa tarif masukan akan lebih mahal dan dengan sengaja meletakkan ayat 4 ini.

“Akibatnya, mereka yang menyusun RUU ini sudah tahu, dan sudah mengantisipasi atau bahkan memang sengaja (untuk menetapkan RUU ini dengan konsekuensi pembayaran kompensasi dari pemerintah).” Jelasnya.

Risiko Jika RUU EBT Tidak Diubah

Mukhtasor menekankan bahaya dari konsekuensi pasal-pasal tersebut dengan menjelaskan kekacauan keuangan yang sedang dialami PLN sekarang (per April 2020) dari publikasi Institute for Energi Economics and Finansial Analysis. Apabila RUU EBT ini diterapkan dengan segala konsekuensi finansialnya, maka RUU EBT telah ditunggangi oleh kepentingan lain.

“Kalau kemudian ini (kekacauan finansial PLN) ditambahi oleh RUU EBT ini dengan alasan energi terbarukan harus at all cost, harus dibeli mahal, itu berarti energi terbarukan ditunggangi, (RUU EBT telah) digunakan. Konsekuensinya, harga listrik akan naik, PLN harus membeli listri produksi swasta, APBN akan disedot untuk menutup kemahalan harga, maka alokasi dana pembangunan non listrik akan berkurang, dan kondisi APBN tidak bagus maka ada risiko tarif listrik akan naik lagi, perekonomian akan terganggu, rakyat akan semakin sulit”

Mukhtasor menjelaskan pengalaman PLN dan juga di dunia bahwa energi terbarukan bisa diproduksi lebih murah, tidak harus mahal sebagaimana anggapan yang populer. Dari perkembangan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) di berbagai daerah sejak tahun 2015-2020, harga energi terbarukan semakin murah.

Baca Juga  Peranan Islam dalam Kancah Politik di Indonesia

Pada tahun 2017, harga pengadaan listrik PLTS oleh PLN sudah berkurang sekitar 50% dari harga listrik PLTS di tahun 2015. Demikian juga pada 2019, harga listrik PLTS turun sekitar 50% dari harga pada tahun 2017. Pada tahun 2020, harga listrik PLTS sudah bisa sekitar USD Cent 5/kWh.

Ini berarti dari waktu ke waktu, harga listrik energi terbarukan semakin kompetitif. Dengan fakta ini, Mukhtasor menegaskan bahwa feed-in tariff  dalam RUU EBT dan kewajiban membeli listrik swasta oleh PLN tidak diperlukan. “Jika sudah bisa harga wajar, kenapa dimahalkan?”, tanyanya.

Solusi: Bangun Sistem Energi Nasional

Sebagai solusi, Mukhtasor menekankan pentingnya untuk menghayati semangat UUD 1945 pasal 33 dan menjalankan amanat UU nomor 30 tahun 2007 dan Keputusan Energi Nasional PP nomor 79 tahun 2014 untuk memaksimalkan energi terbarukan dengan memperhatikan keekonomian.

BUMN harus menjadi instrumen dalam menjadikan energi sebagai modal pembangunan. Alokasi dana energi terbarukan dari APBN digunakan mempercepat pengembangan energi terbarukan meleluai penyertaan modal negara ke BUMN. PLN dan Pertamina sebagai BUMN harus ditugasi untuk melakukan penyediaan energi terbarukan lebih kompetitif dengan jumlah yang lebih banyak.

Dengan masuknya perumusan dana kompensasi tarif masukan dari pasal 51 tadi, menurut Mukhtasor, ada asumsi bahwa negara memiliki APBN yang cukup untuk membayar kompensasi tersebut. Mukhtasor menyarankan agar dana APBN tersebut dialokasikan lebih banyak pada pengembangan energi terbarukan dan penetapan harga yang adil.

Untuk melakukan itu, maka negara harus membangun sistem kemampuan nasional dalam bidang energi terbarukan. Hal ini bisa diwujudkan dengan membangun industri beserta rantai pasok energi terbarukan beserta pengadaan penyedia teknologi, perguruan tinggi, dan lembaga riset terkait. Perusahaan swasta nasional dan koperasi tidak boleh dimatikan. Mereka difasilitasi dan didorong berbisnis bersama-sama membangun rantai pasok energi terbarukan tersebut.

Jika solusi ini diterapkan, maka dana alokasi energi terbarukan dari APBN dapat menjadi aset negara. Bukan berpotensi hangus akibat membayar kompensasi tarif masukan produsen listrik swasta.

Reporter: Shidqi Mukhtasor

Avatar
1420 posts

About author
IBTimes.ID - Rujukan Muslim Modern. Media Islam yang membawa risalah pencerahan untuk masyarakat modern.
Articles
Related posts
Report

Hilman Latief: Kader Muda Muhammadiyah Harus Paham Risalah Islam Berkemajuan

2 Mins read
IBTimes.ID – Hilman Latief, Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Republik Indonesia menyebut, kader muda Muhammadiyah harus paham isi daripada…
Report

Ema Marhumah: Islam Agama yang Ramah Penyandang Disabilitas

1 Mins read
IBTimes.ID – Ema Marhumah, Dosen Tafsir dan Hadis Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta mengatakan bahwa Islam adalah agama yang ramah terhadap…
Report

Salmah Orbayinah: Perempuan Penyandang Disabilitas Berhak Atas Hak Pendidikan

2 Mins read
IBTimes.ID – Salmah Orbayinah Ketua Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah (PPA) menyebut, perempuan penyandang disabilitas berhak atas hak pendidikan. Pendidikan menjadi hak dasar…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds