Ternyata TPA tak hanya ada di Indonesia. Itu juga ada di Saudi. Termasuk di Madinah. Di Masjid Nabawi.
Sore kapan hari itu banyak sekali anak kecil yang datang ke masjid suci itu. Dengan pakaian gamis putih panjang. Mereka membentuk beberapa kelompok. Masing-masing kelompok sekitar 10 orang dan satu ustadz. Ustadznya relatif tua, untuk ukuran TPA di Indonesia. Yaitu laki-laki sekitar 30-40 tahun, jika saya tidak salah taksir.
Di kampung saya, guru TPA adalah mbak-mbak atau mas-mas SMP/SMA. Ada juga yang lebih tua dari itu, seumuran mahasiswa.
Mungkin Anda berpikir, betapa beruntungnya anak-anak kecil yang mengaji di Masjid Nabawi ini. Sejak kecil mendapatkan pelajaran agama langsung dari sumbernya. Langsung dari pusatnya. Eh tapi apa yang dimaksud sumber itu? Apa yang dimaksud pusat itu?
Bagaimana kalau saya katakan, bukankah anak kecil yang mengaji di sekitar Al Azhar Kairo juga beruntung? Bagaimana kalau yang mengaji di sebuah kampung di pelosok Sukoharjo justru lebih beruntung?
Selama ini ada pemahaman, bahwa Islam di Saudi itulah yang terbaik. Atau Mesirlah yang terbaik. Atau Yaman. Atau mana lagi. Mereka ini dianggap pusat. Sentral. Sementara Indonesia ini pinggiran, periferi.
Tentu Anda bisa membantahnya. Kenapa pula Saudi harus menjadi pusat dari Islam? Bahwa di sana ada dua masjid suci, itu benar. Bahwa Nabi Muhammad lahir dan berdakwah di sana, itu juga benar. Tapi itu warisan sejarah.
Madinah pernah menjadi tempat sebaik-baik umat Islam. Itu benar. Tapi itu dulu. Sekarang? Lain soal.
Makkah dan Madinah adalah dua kota yang diberkati. Ekonomi di dua kota itu menggeliat begitu pesat. Lihatlah hotel-hotel mewah di sekitar Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Berapa perputaran uang yang dihasilkan. Berapa ribu orang yang mengais nafkah dari kedatangan para peziarah.
Mesir juga pernah menjadi pusat peradaban Islam. Al Azhar adalah salah satu kampus tertua di dunia. Menjadi pusat pendidikan sejak ratusan tahun silam. Otoritasnya terus bertahan sampai sekarang.
Negara-negara di Timur Tengah lain bisa jadi juga dianggap istimewa. Ada Syam yang meliputi empat negara: Palestina, Yordania, Suriah, Lebanon. Ada Yaman. Maroko. Dan lain-lain.
Bahkan pakaian Arab pun, gamis dan sebangsanya, dianggap sunah. Itu oleh sebagian muslim. Betapa terpautnya kita pada Arab.
Cerdik cendekia Indonesia tak mau kalah. Mereka bilang, Islamnya Indonesia ini tak bisa dianggap main-main. Tak bisa dianggap pinggiran. Kelas dua. Justru, Islam di Indonesia itu keren. Itu karena bisa memadukan Islam dan modernitas. Termasuk di dalamnya adalah demokrasi.
Persoalan Islam dan demokrasi ini jangan Anda anggap remeh. Timur Tengah menjadi pusaran konflik salah satunya karena hal itu. Tak selesai diskusinya. Mau pakai Islam atau demokrasi? Ada yang ngotot tetap Islam. Kalau Islam, Islam yang mana. Sunni? Syiah? Panjang lagi debatnya.
Kalo demokrasi, di mana posisi Islam? Sejauh apa demokrasi boleh diterapkan? Diskusi ini tak pernah selesai di sana. Makanya konflik di mana-mana.
Bashar Assad di Suriah ingin menolak semua bentuk demokratisasi. Rakyat ingin sebaliknya. Maka ada perlawanan, ada oposisi. Hay’at Tahrir as-Syam belum lama berhasil mengkudeta rezim Assad. Padahal HTS ini kelompok Islamis juga. Bukan partai demokratis. Jadi rezim otoritarian-militer dikudeta oleh kelompok jihadi. Sama-sama bukan demokrasi. Terus berkonflik.
Di Yaman, ada dua pemerintahan. Yang satu Islam Syiah. Didukung Iran. Yang satu lagi nasionalis. Didukung Saudi. Perang terus tanpa henti.
Mesir pernah pemilihan yang relatif fair. Dimenangkan oleh partai Islam, di bawah Ikhwanul Muslimin. Lalu muncul presiden yang Anda elu-elukan itu: Muhammad Morsi. Konon hafal Alquran 30 juz. Pemimpin umat Islam. Tapi belum ada dua tahun dikudeta oleh militer. Sekarang Mesir selalu punya pemilihan presiden. Tapi As Sisi, presiden yang baru, tetaplah otoriter. Seperti Indonesia zaman Soeharto.
Lebanon sempat mengalami masa vakum. Tidak memiliki presiden lebih dari dua tahun. Negara tanpa presiden, wasalam. Iraq juga sama. Milisi-milisi lah yang berkuasa. Tidak punya kepemimpinan tunggal yang kuat. Yang punya power atas seluruh wilayah Iraq.
Sudan dan Libya jangan ditanya.
Kondisi demokrasi yang relatif stabil di Timur Tengah adalah Turki dan Israel. Itu kalau Anda mau menganggap Israel sebagai bagian dari Timur Tengah. Sestabil-stabilnya Turki, ia tetap bergejolak. Penangkapan terjadi dimana-mana. Erdogan dicintai di Indonesia, tapi ditakuti di Turki.
Negara-negara Teluk juga stabil. Tapi stabil otoriter. Tidak ada kebebasan. Bedanya, mereka sangat kaya. Qatar, Emirat, Saudi, Bahrain, Oman, Kuwait. Iran juga stabil, tapi punya kekuatan milisi dimana-mana. Agresif dan beringas. Lalu disangsi oleh banyak sekali negara. Ekonominya tak bisa tumbuh karena dimusuhi oleh Amerika dan gengnya.
Melihat kondisi itu, sebagian aktivis di Indonesia menyebut. Negara ini terlalu baik untuk dianggap pinggiran. Indonesia, kata mereka, harus menjadi model baru. Model dimana pergantian kepemimpinan dijalankan dengan begitu mulus. Tanpa ada satu darahpun yang menetes.
Model dimana Islam dan demokrasi bersenyawa dengan begitu mulus.
Maka Anda tak perlu minder. Tak perlu inferior. Tak perlu menanggap bahwa semua yang datang dari Arab itu selalu lebih baik dari Indonesia.
Merumuskan Pancasila itu sulit. Merumuskan perpaduan agama dan sistem politik sehingga tercipta tatanan yang stabil juga sulit. Perlu diskusi yang sangat alot. Yang penting tidak sampai pakai kekerasan. Eh, Indonesia juga pakai kekerasan. Itu dulu, zaman DI/TII.