Review

Bagaimana Kebebasan Berfikir dalam Islam?

2 Mins read

Antara Iman dan Akal

Bagaimana mendudukan iman dengan akal? Apakah akal terlebih dahulu? Atau akal terlebih dahulu? Saya sering sekali mendapati diskusi dalam kelompok yang masih saja mempertanyakan perihal hubungan akal dengan iman. Entah dengan tujuan mencari jawaban terbaik atau hanya sekadar melontarkan pertanyaan untuk memantik diskusi.

Kali ini, kita akan membahas buku yang diterbitkan dengan judul yang cukup membuat kita tertarik mengambilnya ketika berada di rak sebuah toko buku. Karena judulnya saja sudah membuat orang bertanya-tanya.

Bagaimana Kebebasan Berfikir dalam Islam itu?

Bukankah dalam Islam itu sudah ada pedoman Al-Qur’an dan hadis? Tetapi kenapa dari judul buku ini memberikan gambaran bahwa ada kebebasan berfikir dalam Islam? Apa yang dimaksud dalam kebebasan berfikir? Berfikir bebas atau kebebasan berfikir yang dimaksud Abdul Majid an-Najjar ini?

Sebelum kita masuk pada pembahasan bab, kita akan dihantarkan Prof. Dr. Thaha Jabir Elwany dengan penjelasan detail dan mendalam. Dalam pengantarnya, beliau juga memasukan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis sebagai legitimasi dan bentuk dukungan dengan terbitnya buku ini.

Salah satu yang menjadikan saya tertarik dari pengantar beliau adalah tentang hadis Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam al-Malahim dan at-Tirmidzi dalam Fatan, “Jihad yang mulia adalah kata-kata hikmah terhadap penguasa sewenang-wenang”.

Sebagai tambahan, beliau juga menerangkan bahwa sebagai umat Islam, justru saling memotivasi untuk mengembangkan kebebasan berfikir. Kemudian, umat Islam diharapkan memahami sebagai kewajiban. Bukan hanya sekadar hak dalam mempersatukan visi untuk mengutuk segala bentuk kemungkaran. Sekaligus harus mengorbankan jiwa dan raganya.

Pembagian BAB dalam Buku Kebebasan Berfikir Dalam Islam Upaya Mempersatukan Pemikiran Visi Pemikiran Dalam Islam

Buku ini dibagi menjadi 3 BAB. Bab pertama, kita akan dibawa dalam penjelasan awal yaitu kesatuan visi pemikiran Islam. Nah, di Bab pertama ini, kita akan dihantarkan terlebih dahulu apa itu pemikiran, kesatuan visi pemikiran, faktor pendukung, bahkan secara detail juga dijelaskan terkait faktor-faktor visi kesatuan visi pemikiran Islam secara rinci.

Baca Juga  Menemani Minoritas: Paradigma Islam Membela Mustadh'afin

Pada bagian bab kedua dijelaskan tentang kebebasan berfikir dalam Islam dan kesatuan visi pemikiran Islam. Secara rinci pada bagian bab ini menjelaskan secara detail tentang bagaimana konsep kebebasan berfikir dalam Islam tersebut relevan dalam membaca suatu keadaan dengan berbagai teori dan metode.

Kemudian dilanjutkan pada bagian bab ketiga dijelaskan tentang kebebasan berfikir dan kesatuan visi pemikiran keislaman modern. Jadi secara garis besar variabel yang disampaikan dalam buku ini membawa kita dari penjelasan awal dengan berangkat dari definisi dan pendapat, kemudian kita di ajak untuk membaca keadaan atau fenomena yang sedang terjadi.

Yang menarik tentang isi buku ini ada di bab terakhir yang membahas tentang kebebasan berfikir dan kesatuan visi pergerakan. Dijelaskan dengan singkat padat dan jelas bahwasanya pergerakan keislaman merupakan agenda jangka panjang. Salah satunya adalah pendidikan sebagi upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.

Abdul Majid an-Najjar menjelaskan adanya pengekangan tentang upaya Islam untuk mencerdaskan kehidupan bangsa ini. Salah satu wujudnya adalah ada yang salah paham bahkan tabu dalam memaknai ijtihad. Jika hal ini terjadi, maka akan menyempitkan kebebasan berfikir sehingga pergerakan keislaman akan menjadi sebuah pergerakan yang modern.

***

Secara lebih tegas dijelaskan bahwa dengan adanya fenomena di atas, akan berimplikasi pada sikap keterbukaan dalam menerima pendapat orang lain, kebebasan berkarya juga akan termarginalkan.

Hal ini akan mendorong munculnya kelompok-kelompok yang itu akan menambah perpecahan yang saling bersebrangan baik di kalangan internal maupun eksternal umat Islam.

Abdul Majid an-Najjar juga menambahi tentang bagaimana pentingnya mengasah nalar agar sikap idealisme dan angan-angan tidak berada di antara langit dan bumi. Akhirnya dengan pendidikan tersebut secara invidu akan menciptakan keakraban berfikir secara kritis dan argumentatif. Bukan sentimen.

Baca Juga  Islam di Asia Tenggara: Masuk dengan Perdamaian, Bukan Kekerasan

Secara keseluruhan buku ini bersifat sebagai pengantar dialog tentang diskursus “kebebasan berfikir” dengan pemaparan yang saya nilai profokatif dalam penggunaan bahasa yang mudah dipahami.

Terlihat dari halaman yang tidak genap 100 ini kita akan terbawa ke dalam narasi yang seakan-akan ingin menyelesaikanya dalam 1 hari dan menerapkanya dalam kehidupan sehari-hari.

Editor: Yahya FR

Predianto
8 posts

About author
Kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Ponorogo
Articles
Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *