Tajdida

Muktamar 2020: Muhammadiyah Butuh Figur Ulama

3 Mins read

Mendekati Muktamar yang akan diadakan Muhammadiyah di Surakarta nanti, banyak para pemikir, tokoh atau cendekiawan Muhammadiyah yang mulai disibukkan mendiagnosa dan mendeteksi terkait apa-apa saja yang menjadi masalah krusial Muhammadiyah saat ini. Agar dalam Muktamar, dapat dibahas dan dirundingkan untuk kemudian dicari solusinya bersama-sama.

Salah satu yang didapat dari hasil kerja diagnosa tersebut ialah krisis ulama yang melanda Muhammadiyah. Hal ini mendapat perhatian penuh dari Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti. Yang demikian dapat dilihat dari isi ceramah beliau di hadapan peserta Rapat Kerja Nasional (Rakornas) Majelis Pendidikan Kader Pimpinan Pusat Muhammadiyah (MPK PPM) di Bengkulu. Beliau mengatakan, “Di internal Muhammadiyah muncul kekhawatiran tentang kelangkaan ulama.”

Padahal, kata beliau, Muhammadiyah dalam kepribadiannya mendeklarasikan diri sebagai gerakan Islam, gerakan dakwah amar makruf nahi munkar yang berlandaskan al-Quran dan sunah. Karenanya untuk mengatasi hal tersebut, Mu’ti mengingatkan, “Regenarasi menjadi penting karena Muhammadiyah menghadapi tantangan yang sangat berat.”

Sejarah Ulama di Muhammadiyah

Sejarah tokoh atau pimpinan di Muhammadiyah dari era KH. Ahmad Dahlan sampai dengan KH. AR Fachruddin, sejatinya adalah sejarah ulama. Hampir semua dari mereka yang menjabat sebagai pengurus Muhammadiyah adalah orang-orang yang berlatar belakang agama dan umumnya dikenal sebagai kiai. Kiai dalam konotasinya sering diartikan sebagai orang yang memiliki wawasan keagamaan yang mendalam, menguasai turats (kitab kuning), berakhlak dan mempunyai pesantren.

Seluruh ketua umum sebelum era Prof. Dr. Amien Rais adalah mereka yang memiliki baghround agama dan dikenal sebagai kiai. Silakan perhatikan daftar ketua umum Muhammadiyah dari era awal hingga sekarang.

Makanya ada yang menyebut kepemimpinan ulama berhenti di tangan Amien Rais. Setelah ia menjadi ketua umum, Muhammadiyah menjadi kekurangan ulama. Dominasi intelektual-cendekiawan menguat di Muhammadiyah. Sesuatu yang disebut oleh Ahmad Najib Burhani, Peneliti LIPI, sebagai era baru Muhammadiyah. Jabatan-jabatan yang ada di Muhammadiyah diisi oleh mereka yang berlatar belakang umum, bukan agama. Ada yang dari jebolan politik, sosiologi dan sejarah.

Baca Juga  Muhammadiyah: Tajdid Irfani Sebagai Alternatif

Ketika menyebut sejarah pimpinan Muhammadiyah sebagai sejarah ulama, penulis sebenarnya tidak sedang berandai-andai. Karena hakikatnya memang begitu. Ada banyak ulama-ulama yang dimiliki Muhammadiyah dahulunya. Ki Bagus Hadikusumo, misalnya. Beliau adalah ulama Muhammadiyah yang tampil dalam merumuskan ideologi negara di sidang BPUPKI. Di lain itu juga ada KH. AR Fachruddin, ulama jenaka yang menyampaikan Islam dengan frasa kegembiraan, teduh, dan yang terpenting, bahasanya mampu diserap oleh masyarakat akar rumput.

Buya Hamka, ulama yang banyak menulis buku tentang Islam. Ulama Muhammadiyah yang pemahaman keagamaannya tidak hanya menjadi rujukan warga persyarikatan, namun juga bagi mereka yang non-Muhammadiyah. Bahkan, dalam suatu artikel yang pernah penulis baca dalam Suara Muhammadiyah, Gus Dur atau Abdurrahman Wahib, tokoh NU yang kemudian menjadi Presiden RI ke-4, pernah berguru kepada ulama Muhammadiyah di Yogyakarta.

Ulama Seperti Apa?

Setelah pada bagian awal dikemukakan, bahwa Muhammadiyah kini mengalami krisis ulama, maka mau tidak mau, kaderisasi dan produksi ulama secara serius menjadi sebuah keniscayaan. Namun sebelum itu, perlu ditengarai di sini, ulama seperti apa yang hendak dibentuk dan dikonstruk Muhammadiyah? Mengingat ia sangat penting agar ulama-ulama yang dilahirkan kelak mempunyai pandangan dan garis perjuangan yang selaras dengan cita-cita dan visi Muhammadiyah. Jangan sampai ulama Muhammadiyah yang ada nantinya justru terkesan ulama Muhammadiyah rasa NU, rasa Salafi, rasa Jamaah Tabligh dan rasa Ikhwanul Muslimin.

Untuk itu, demi menghindari ulama-ulama Muhammadiyah dengan rasa yang lain di atas, calon-calon ulama Muhammadiyah seyogyanya harus memahami benar dan menghayati dengan sungguh ideologi Muhammadiyah. Secara garis besar, hal tersebut setidaknya ada tiga: Pertama, paham keagamaan Muhammadiyah. Mereka yang akan menjadi ulama Muhammadiyah harus memahami ini demi menanggulangi infiltrasi dari ideologi dan paham keagamaan kelompok lain.

Baca Juga  Muhammadiyah itu "Salafi Reformis"

Kedua, hakikat atau kepribadian Muhammadiyah yang kemudian terbagi lagi menjadi tiga, yakni Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah, dan Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid (pembaharuan). Di antara ketiganya, hal yang sering diabai dan dilupakan adalah yang terakhir, Muhammadiyah dalam identitasnya sebagai gerakan pembaharuan. Sehingga tidak jarang produk pemikiran yang ditampilkan cenderung rigid dan kaku.

Karenanya ulama-ulama Muhammadiyah harus memastikan agar pandangannya berjalan-beriringan dengan nilai-nilai kemajuan, di mana suatu pemahaman yang dihasilkan merupakan proses dialektik terhadap zaman untuk menjawab tantangan-tantangannya. Ketiga, misi, fungsi, dan strategi perjuangan Muhammadiyah.

***

Selain itu, ada beberapa karakter yang harus dimiliki ulama Muhammadiyah. Di antara yang sering digembar-gemborkan ialah bahwa ulama Muhammadiyah harus moderat atau wasath dalam memahami agama. Tidak tertarik dalam dua ekstrem: tekstual dan liberal. Dan juga harus netral dalam urusan politik. Tidak menceburkan diri dalam pertarungan politik praktis. Mampu menahan diri.

Kemudian fakta yang juga tak dapat ditampik bahwa ulama-ulama Muhammadiyah saat ini, banyak berasal dari lulusan kampus Timur Tengah, khususnya Arab Saudi. Itu tak masalah. Selama mereka tidak mengikuti jejak-jejak lulusan Arab Saudi pada umumnya yang hobinya adalah menghujat dan menjelek-jelekkan kelompok lain. Sebisa mungkin harus moderat dan bijaksana dalam menyikapi keragaman pikiran yang ada. Prof. Yunahar Ilyas kiranya dapat menjadi tauladan kader-kader Muhammadiyah lulusan kampus Timur Tengah.

Sebagai tambahan, penulis juga memiliki harapan besar agar ulama-ulama Muhammadiyah kelak, adalah yang seimbang penguasaannya terhadap kitab kuning (klasik) dan kitab putih (modern). Artinya ia dapat menempatkan satu kakinya di kitab klasik, kemudian kaki yang lain di kitab modern. Dengan demikian, ulama yang dihasilkan Muhammadiyah merupakan, meminjam istilah KH. Imam Zarkasyi, ulama yang intelek. Ulama yang dapat menjawab persoalan-persoalan mutakhir dengan bekal pengetahuan klasiknya dan analisa ilmu-ilmu modernnya seperti sosiologi, antroplogi, psikologi dan lain-lain.

Baca Juga  Arah Baru Penyatuan Kalender Islam

Akhirnya, penulis mengucapkan: Selamat ber-Muktamar! Semoga muktamar kali ini menelurkan gagasan-gagasan yang dapat mencerahkan dan memajukan semesta sekaligus menjadi muktamar yang kondusif, aman, dan damai.

Editor: Yahya FR
Avatar
21 posts

About author
Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan PC IMM Ciputat
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds