IBTimes.ID – Azyumardi Azra, dalam Kajian Titik Temu Nurcholish Madjid Society tahun 2017 menyebut bahwa ada enam prasyarat bagi kebangkitan kedua umat Islam. Prasyarat pertama adalah sistem politik yang stabil. Semakin tidak stabil politik sebuah negara, maka semakin kecil kemungkinannya dia bisa menjadi lokomotif kebangkitan,
Menurutnya, Baghdad bisa mencapai kemajuan karena politik Baghdad hingga masa Harun Ar Rasyid dan Al Ma’mun begitu stabil. Maka tidak heran jika banyak ulama fiqih siyasah, termasuk Al Ghazali dan Imam Mawardi yang mengharamkan anarkisme atau kekacauan.
“Kekacauan satu hari itu membuat kita tidak bisa beribadah. Beribadah bukan hanya soal salat. Tapi apa yang kita lakukan sehari-hari itu sebenarnya adalah ibadah juga. Apa yang kita lakukan untuk kemaslahatan diri, kemaslahatan keluarga, dan kemaslahatan umat itu adalah ibadah,” ujar Azra.
Mencari rezeki, imbuhnya, sama sekali bukan tindakan keduniawian. Mencari rezeki adalah tindakan keagamaan. Bukan tindakan yang sekular yang terpisah dari agama. Azra menyebut bahwa stabilitas politik adalah hal yang sangat krusial. Tanpa stabilitas politik, kebangkitan kedua umat Islam hanya ilusi.
Kedua, ekonomi. Semakin tergantung ekonomi sebuah negara pada sumber daya alam mentah maka semakin kecil kemungkinannya untuk maju. Sepanjang sejarah, minyak selalu menjadi kutukan ekonomi.
Nigeria sebagai negara penghasil minyak malah menjadi negara yang mundur. Di Timur Tengah, tidak banyak dana minyak yang dibelanjakan untuk umat Islam yang miskin. Tidak ada investasi yang jumlahnya signifikan di negara-negara muslim.
“Investor terbesar di Indonesia itu ya tetap saja Singapura, Malaysia, Jepang, Korea, Inggris, dan Amerika. Sepuluh besar saja negara Timur Tengah itu tidak termasuk. Ekonomi yang berpijak pada SDA seperti itu harus segera diubah menjadi manufaktur dan services,” imbuh Azra.
Ketiga, pemahaman agama. Di sini ada dua kekuatan, yaitu moderasi versus sektarianisme. Semakin sektarian semakin tidak bisa menjadi pelopor kebangkitan. Semakin inklusif pandangan, semakin punya peluang untuk maju. Karena dia memberikan ruang yang besar untuk kompromi dan akomodasi.
Sementara, imbuhnya, orang sektarian tidak memiliki ruang untuk kompromi. Logikanya adalah menang atau kalah. Maka umat Islam harus memiliki sifat tenggang rasa.
Keempat, pemikiran dan praksis Islam. Pemikiran Islam yang adaptif terhadap modernitas memiliki peluang yang besar untuk bangkit. Semakin pemikiran Islam berorientasi ke belakang, ke masa nabi seperti salafi, semakin kecil peluangnya untuk maju. Apalagi pemikiran salafi yang tekstual.
Menurut Azra, salah satu aspek modernitas adalah tidak takut dengan ilmu. Semakin eksklusif cara berpikir terhadap ilmu, semakin kecil peluang untuk bisa maju. Kedokteran yang maju di Baghdad diambil dari tradisi Persia pra Islam. Angka 0 diambil dari India. Maka, umat Islam seharusnya tidak takut terhadap ilmu-ilmu yang berkembang dari Barat.
Kelima, sistem sosial budaya. Semakin budaya didominasi oleh laki-laki, semakin kecil peluang umat Islam untuk bangkit. Semakin perempuan didomestifikasi, semakin kecil peluang umat Islam untuk bangkit.
Keenam, ketergantungan terhadap kekuatan asing. Semakin sebuah negara tegantung pada kekuatan asing, semakin sulit ia untuk bangkit. Misalnya, Mesir sangat tergantung secara ekonomi pada Amerika. Mesir adalah penerima bantuan dari Amerika kedua setelah Israel. Di Saudi ada beberapa pangkalan militer milik Amerika. Hal yang sama juga terjadi di Kuwait.
“Sudah banyak yang bilang kalau ada kebangkitan kedua umat Islam, kebangkitan itu akan bermula dari Indonesia. Pertama, Indonesia adalah negara yang paling stabil secara politik. Perjalanan demokrasi Indonesia relatif berjalan dengan smooth. Ini harus kita pertahankan,” ujar Azra.
Kedua, ekonomi Indonesia bertumbuh walaupun sedikit. Selain itu, Islam Indonesia adalah Islam wasathiyah. Islam ini menjadi kekuatan dahsyat yang tidak ditemukan di tempat lain. Puluhan ormas Islam mainstrean yang moderat di Indonesia tidak ditemui di negara-negara lain.
Di sisi lain, umat Islam di Indonesia bersifat independen, tidak bisa dikooptasi oleh negara. Hampir 100% masjid di Indonesia dibangun oleh umat Islam sendiri. Honor khatibnya dibayar dari kotak infak, bukan oleh negara.
“Ada optimisme. Tapi kita masih punya banyak PR. Termasuk akhlak dan ilmu. Akhlak sosial kita ini lemah. Tidak ada disiplin. Akhlak untuk tidak mencuri. Akhlak untuk tidak korupsi. Ini kita masih lemah,” tutup Azra.
Reporter: RH