Perspektif

Al-Hikmah Al-Muta’âliyah, Gagasan Filosofis Mulla Sadra

3 Mins read

Biografi Mulla Sadra

Sosok Mulla Sadra merupakan tokoh yang berhasil melebur pemikiran filsuf muslim sebelumnya tentang paripatetik, iluminasionis, dan mistik. Sadra mendirikan mazhab sendiri sebagai konsekuensi sintesisnya yang disebut teosofi transenden (al-hikmah al-muta’âliyah). Sebuah pemikiran yang dikembangkan oleh para pengikutnya, terutama Muhsin Faidh Kasyani (w. 1680 M) dan Hazin Lahiji (1692-1766 M) di masa berikutnya.

Menurut Jalaludin Rahmat, terdapat dua konsep al-hikmah al-muta’âliyah Mulla Sadra. Dari sisi epistemologis didasarkan oleh tiga prinsip; intuisi intelektual, pembuktian rasional, dan syariat sehingga al-hikmah al-muta’âliyah disebut sebagai kebijaksanaan yang diperoleh lewat pencerahan rohani.

Disajikan dalam bentuk dan argumen-argumen rasional dan direalisasikan dengan mengikuti aturan syariat. Di sisi lain, ontologis, al-hikmah al-muta’âliyah didasarkan atas tiga hal, yakni prinsip wujud, gradasi wujud, dan gerak substansial.

Mulla Sadra tumbuh dan memulai studinya di kota kelahirannya, yakni Fars. Ia memelajari berbagai disiplin ilmu di bidang Al-Qur’an, hadis, bahasa Arab, dan bahasa Persia, kemudian melanjutkan ke Isfahan dalam usia muda.

Di Isfahan, ia bertemu dengan gurunya, di antaranya ialah Baha’ Al-Din Al-Amili (1547-1621 M), Mir Damad (w. 1631 M), dan Mir Abu Al-Qasim Findiriski (w. 1641 M). Mulla Sadra mendapatkan banyak sekali pengetahuan tentang filsafat melalui karya Mir Damad, Qabasât (Fire Brands), yang menjelaskan pergumulan antara filsafat, teologi dan gnosis.

Kemudian, Sadra mengembangkan karya tersebut ke dalam karya besarnya, al-Hikmah al-Muta`âliyah fî al- Asfâr al-Aqliyah al-Arba`ah, yang menguraikan seluruh persoalan filsafat Islam, tentang hakikat Tuhan, hakikat semesta, dan hakikat serta nasib manusia.

Tiga Pemikiran Besar Mulla Sadra

Menurut Jalaluddin Rahmat, ada tiga pemikiran besar yang memberi pengaruh dan menjadi landasan bagi sistem pemikiran Sadra. Pertama, pemikiran Ibn Sina (980–1037 M). Ajaran Ibn Sina menjadi dasar bagi seluruh pembahasan filsafat Sadra.

Baca Juga  Alasan Memilih Wujudul Hilal daripada Imkanurrukyat

Sehingga, semua persoalan selalu diawali dengan apa yang dikatakan al- Syaikh al-Râis (guru kepala) Ibn Sina. Ia juga mengambil pendapat-pendapat Ibn Sina untuk mendukung konsep-konsepnya sendiri, seperti soal realitas wujud dan kelemahan esensi.

Namun, Sadra juga mengkritik dan memodifikasi filsafat Ibn Sina. Menurut Rahman, kritik Sadra yang paling keras terhadap Ibn Sina adalah dalam soal epistemologi, yakni ketika Ibn Sina menolak kesatuan absolut antara subjek dan objek yang diketahui.

Kedua, pemikiran iluminasi Suhrawardi (1153–1191 M). Meski dalam beberapa bagian Sadra mengkritik dan menolak ajaran Suhrawardi, pemikiran tokoh ini tetap saja memberi bentuk bagi pemikiran Sadra yang khas.

Pandangan Suhrawardi bahwa esensi bukan realitas diambil Sadra dengan doktrinnya tentang ashâl al-wujûd (principiality of being) bahwa yang pokok dalam realitas bukanlah esensi, melainkan eksistensi. Esensi hanya sesuatu yang ada dalam pikiran, bukan realitas yang sebenarnya.

Sementara itu, gagasan Suhrawardi tentang jenjang cahaya mengilhami Sadra untuk menciptakan gagasannya tentang tasykîk al-wujûd (gradation of being) bahwa meski realitas adalah tunggal, tetapi ia muncul dalam berbagai tingkat intensitas dan perwujudan.

Ketiga, pemikiran Ibn Arabi mengenai tiga isu penting filsafat Islam, yaitu kenisbian esensi, realitas sifat-sifat Tuhan, dan peran eskatologis-psikologis alam citra. Gagasan tentang kenisbian esensi diambil untuk mendukung gagasannya bahwa eksistensi adalah satu-satunya realitas dan ia bukan esensi.

Doktrin tentang realitas sifat-sifat Tuhan digunakan untuk melahirkan gagasannya tentang ‘kesatuan wujud yang menyingkapkan diri’, sedangkan ajaran ‘alam citra’ dipakai untuk membuktikan ajaran kebangkitan jasmani seperti yang diyakini oleh sebagian kaum teolog.

Gerak Substansi Mulla Sadra

Salah satu yang penting dan menarik dari Sadra adalah pandangannya tentang gerak substansi (al-harakah al-jauhariyah) yang berbicara tentang terjadinya perubahan tingkat wujud semesta.

Baca Juga  Menyikapi Polemik Konsep Khilafah yang "Diperjuangkan"

Berbeda dengan pandangan filsuf sebelumnya yang menganggap spesies sebagai sesuatu yang tetap, dalam pandangan Sadra justru terjadi perubahan terus-menerus sehingga sebuah batu dimungkinkan menjadi tanaman, tenaman menjadi hewan dan seterusnya yang sekarang dikenal sebagai teori evolusionisme.

Akan tetapi, berbeda dengan evolusionisme materialistik, gerak evolosioner Sadra tidak menunjuk pada perubahan-perubahan material bersifat acak yang terseleksi alam sebagaimana dalam teori Darwin (1809–1882 M), tetapi merupakan perubahan substantif menuju tingkat wujud yang lebih tinggi karena tarikan Wujud Tertinggi, Sang Pencipta.

Dalam bahasa filosofis kontemporer, evolusioner Sadra dianggap sebagai pandangan teologis yang mengikuti asas finalisme. Secara umum, dalam kaitannya dengan pemikiran modern, pandangan Sadra serasi dengan pandangan holisme, salah satu kutub dari intelektualisme postmo.

Hanya saja, identifikasi Realitas dengan Kesadaran dalam wacana holistik postmo justru lebih cocok dengan perenialisme Suhrawardi (1153–1191 M). Meski demikian, sebagai varian filsafat perenial, filsafat Sadra kiranya bisa digunakan sebagai penangkal nihilisme postmo yang bukan saja meniadakan esensi melainkan juga meniadakan eksistensi melalui proses dekonstruksi destruktifnya.

Editor: Yahya FR

Ilmy Firdaus Hafidz
3 posts

About author
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Perspektif

Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

3 Mins read
Beberapa waktu lalu, ada seorang ustadz berceramah tentang urgensi bermadzhab. Namun ceramahnya menuai banyak komentar dari berbagai kalangan. Ia mengatakan bahwa kelompok…
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…
Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read
Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds