Falsafah

Mulla Shadra (4): Filsafat Wujud

4 Mins read

Mulla Shadra: Studi tentang Wujud

Landasan “teosofi transenden” dan seluruh metafisika Mulla Shadra adalah ilmu tentang wujud (wujud), yang dipergunakannya untuk menunjuk eksistensi, baik dalam pengertian eksistensi objek-objek maupun eksistensi yang sama sekali bukan privatif (menegasikan), melainkan malah memuat Prinsip Ilahi, Wujud Murni, dan bahkan Yang Mutlak, yang berada di luar Wujud seperti yang lazim dipahami.

Kebanyakan tulisan Mulla Shadra, termasuk hampir semua bagian pertama karyanya Asfar, dipusatkan pada masalah ini dan ia kembali dan kembali lagi pada masalah ini dalam karya-karyanya yang lain, seperti Al-Syawahid Al-Rububiyyah, Al-hikmah Al-‘Arsyiyyah, Al-Mabda’ wa Al-Ma’ad, dan khsusunya Kitab Al-Masya’ir yang merupakan ikhtisar terpenting subjek ini dalam tulisan-tulisannya.

***

Pada ini seluruh penjelasan filosofis Mulla Shadra terdapat pengalaman gnostik tentang Wujud sebagai Realitas. Pengalaman kita tentang dunia biasanya adalah pengalaman tentang sesuatu yang ada. Pengalaman biasa inilah yang menjadi basis metafisika Aristotelian yang didasarkan atas hal-hal yang ada (existent, maujud).

Namun, menurut Mulla Shadra, di sini ada suatu visi yang di dalamnyaia melihat keseluruhan eksistensi bukan sebagi objek-objek yang ada (exist) atau maujud-maujud (existent), melainkan sebagai realitas tunggal (wujud) yang karena dibatasi oleh berbagai kuiditas (mahiyyat) memunculkan suatu kemajemukan yang “ada” dengan berbagai maujud yang saling berdiri sendiri satu sama lian.

Heidegger mengeluh bahwa metafisika Barat telah tersesat sejak zaman Aristoteles karena terlalu memfokuskan kajiannya pada yang maujud (das Seiende), meminjam kosakata yang digunakannya, padahal subjek metafisika yang sebenarnya adalah eksistensi itu sendiri atau das Sein yang dengan studinya ia memulai suatu babak baru dalam pemikiran filsafat Barat.

Sejauh filsafat Islam dikaji, pemisahan Mulla Shadra yang menuntut pengalamannya sendiri telah menerima sebuah visi tentang realitas melalui inspirasi yang di dalamnya segala sesuatu itu tampak sebagai tindakan-tindakan eksistensi (wujud) dan bukan objek-objek yang ada (maujud). Perkembangan luas metafisika Shadra sesungguhnya didasarkan atas pengalaman dasar akan Realitas tersebut dan perbedaan-perbedaan konseptual selanjutnya yang dibuat atas dasar pengalaman tentang wujud ini adalah satu, bertingkat-tingkat, dan sejati.

Baca Juga  Mendidik dengan Filosofis, Mendidik yang Benar

***

Mulla Shadra membedakan dengan tegas antara konsep tentang wujud (mafhum al-wujud) dan realitas wujud (haqiqah al-wujud). Yang pertama, adalah konsep yang terjelas dan yang paling mudah di pahami dari semua konsep, sedangkan yang kedua, adalah yang terkabur dan tersulit karena ia mensyaratkan persiapan mental ekstensif dan juga penyucian jiwa agar memungkinkan intelek yang berada dalam diri seseorang berfungsi sepenuhnya tanpa selubung-selubung nafsu, dan agar dapat melihat wujud sebagai Realitas.

Itulah sebabnya mengapa salah seorang pengikutnya yang terkenal, Hajji Mulla Hadi Sabzawari, menulis dalam Syarh Al-Manzhumah, yang merupakan rangkuman doktrin-doktrin gurunya, berikut ini:

Gagasan [tentang wujud]-nya adalah sesuatu yang sudah umum diketahui. Namun, realitas terdalamnya berada di ujung ketersembunyiannya.

Konsekuensi dari pengalaman gnostik tentang wujud adalah realisasi (kesadaran) akan kesatuannya, yang disebut sebagai wahdah al-wujud. Doktrin metafisika sufi yang mendasar ini dinisbahkan pada Ibn ‘Arabi, meskipun mempunyai banyak interpretasi, yang merentang dari interpretasi ekstrem terhadapnya oleh sufi dan filosof Andalusia, Ibn Sab’in, yang menurutnya hanya Tuhan yang riil dan tidak lainnya yang riil, kemudian interpretasi Ibn ‘Arabi, yang melihat tatanan wujud yang nyata sebagai penampakan-penampakan (tajlliyyat) dari Nama-Nama dan Sifat-Sifat Tuhan pada cermin ketiadaan, hingga pandangan Mulla Shadra, yang memahami kesatuan wujud dalam hubungannya dengan kemajemukan eksistensi bagaikan cahaya-cahaya matahari dalam hubungannya dengan matahari itu sendiri.

Cahaya-cahaya matahari bukanlah matahari dan pada saat yang sama tidak lain, kecuali matahari. Dalam Asfar, yang berisi sejarah filsafat Islam dan ajaran-ajarannya sendiri, Mulla Shadra menguraikan secara ekstensif berbagai pemahaman mengenai doktrin penting ini sebelum menjelaskan pemahamannya sendiri. Bagaimanapun, wahdah al-wujud adalah batu fondasi metafisika Shadrian, yang tanpa itu seluruh pandangan dunianya akan runtuh.

***

Doktrin lainnya adalah doktrin tasykik al-wujud atau gradasi wujud. Wujud tidak hanya satu, tetapi merentang dalam suatu gradasi atau hierarki, dari wujud Tuhan hingga eksistensi sebutir pasir di pantai. Setiap tingkat wujud yang lebih tinggi mengandung semua realita yang termanifestasi pada tingkat di bawahnya.

Baca Juga  Berfilsafat adalah Aktivitas Memanusiakan Manusia

Di sini, Mulla Shadra mendasarkan diri pada doktrin Suhrawardian tentang diferensiasi (pembedaan) dan gradasi. Segala sesuatu dapat dibedakan satu sama lain melalui sesuatu yang menyatukan mereka, sebagaimana cahaya lilin dan cahaya matahari dipersatukan oleh cahaya, tetapijuga dibedakan satu sama lain oleh cahaya yang ada dalam dua benda itu berdasarkan perbedaan derajat intensitas masing-masing. Wujud adalah seperti cahaya tersebut dalam arti ia memiliki derajat intensitas, walaupun sebagai realitas tunggal.

Karena itu, alam semesta dalam kemajemukannya yang luas bukan hanya satu dan menyatu, melainkan juga hierarkis. Kita barangkali dapat mengatakan bahwa Mulla Shadra menerima gagasan “mata rantai wujud” yang mempunyai riwayat hidup panjang di Barat sejak Aristoteles hingga abad ke-18 M, tetapi berdasarkan sudut pandang kesatuan wujud yang memberikan makna yang sama sekali berbeda pada doktrin tentang hierarki kosmik dan alam semesta.

Pandangan tentang wujud di atas dilengkapi dengan prinsip ashalah al-wujud atau keutamaan eksistensi. Untuk memahami doktrin ini, pertama-tama kita perlu beralih ke perbedaan klasik dalam filsafat Islam anatar eksistensi (wujud dalam maknanya yang terkait dengan dunia yang majemuk) dan mahiyyah atau kuiditas yang dalam bentuk orisinal Latinnya diturunkan langsung dari bahasa pertama, yang berkaitan dengan jawaban atas pertanyaan “apa?”, dan kedua, atas pertanyaan “bagaimana?”.

Pertanyaan yang diajukan dalam filsafat Islam terkemudian, dan khususnya oleh Mulla Shadra, adalah manakah di antara kedua unsur ini yang lebih utama dan memberikan realitas kepada suatu objek. Guru Mulla Shadra sendiri, Mir Damad dan Suhrawardi, dianggap sebagai pengikut mazhab keutamaan kuiditas (ashalah al-mahiyyah), sementara Ibn Sina dipandang sebagai pengikut ashalah al-wujud, walaupun dalam kasus Ibn Sina, doktrin ini mendapat makna yang sama sekali berbeda dengan makna yang terdapat dalam karya-karya Mulla Shadra karena Ibn Sina tidak percaya pada wahdah al-wujud.

***

Betapapun, pada masa mudanya, Mulla Shadra mengikuti pandangan gurunya, Mir Damad, dan baru setelah pengalaman visioner dan gnostiknya ia mulai menyadari bahwa wujud-lah yang memberikan realitas kepada sesuatu dan bahwa mahiyyah secara literal bukan apa-apa dalam dirinya sendiri, melainkan diabstraksikan oleh akal dari keterbatasan-keterbatasan suatu tindakan tertentu wujud. Ketika kita mengatakan ada seekor kuda, dengan mengikuti akal sehat kita berpikir bahwa kuda itu adalah suatu realitas yang eksistensinya merupakan tambahan baginya.

Baca Juga  Manusia Paripurna (Insan Kamil) Menurut Ibnu Arabi

Namun, dalam realitas, apa yang kita pahami adalah tindakan tertentu wujud yang melalui fakta itulah ia tampak secara terbatas pada bentuk tertentu yang kita pahami sebagai kuda. Bagi orang-orang yang telah menyadari kebenaran tersebut, fakta bahwa seekor kuda itu ada kemudian ditransformasikan ke dalam realitas yang telah dimanifestasikan, oleh tindakan wujud itu sendiri ke dalam suatu bentuk tertentu yang kita sebut kuda. Bentuk atau mahiyyah kuda tidak mempunyai realitas sendiri, tetapi mendapatkan semua realitasnya dari tindakan wujud.

Jadi, realitas itu tak lain bukan adalah wujud, yang satu sekaligus bergradasi, yang mengeksistensikan realitas segala sesuatu. Metafisika Mulla Shadra sebetulnya dapat dipahami bukan hanya dengan memahami prinsip-prinsip ini, melainkan juga dengan memahami hubungan antarprinsip itu.

Wujud bukan hanya satu, melainkan juga bergradasi. Dan wujud bukan hanya bergradasi, melainkan juga sejati atau, dengan perkataan lain, yang memberikan realitas kepada semua kuiditas, yang itu tidak memiliki realitas yang sama sekali dalam diri mereka.

Bangunan metafisis raksasa yang diciptakan oleh Mulla Shadra serta teologi, kosmologi, psikologi, dan eskatologinya semua bertumpu pada tiga prinsip wahdah al-wujud, tasykik al-wujud, dan ashalah al-wujud dan hanya dari sudut pandang ketiga prinsip inilah doktrin-doktrin Mulla Shadra yang lain dapat dipahami.


Azaki Khoirudin
110 posts

About author
Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan
Articles
Related posts
Falsafah

Tawaran Al-Jabiri Atas Pembacaan Turats

4 Mins read
Abed al-Jabiri adalah salah satu pemikir Islam yang paling dikenal di era modern. “Naqd al-Aql al-Arabi” atau proyek pemikiran “Kritik Nalar Arab”…
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…

2 Comments

  • Avatar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds