Nurcholish Madjid, dalam Warisan Islam, mengatakan bahwa abad keemasan –terutama dalam hal keilmuan- Islam telah berakhir ketika meninggalnya Ibnu Khaldun. Setelah itu, Barat mengalami renaisans, dan dunia Islam mengalami stagnasi. Ditengah-tengah era itu, muncul satu tokoh yang masih merawat intelektual Islam khususnya dalam ilmu-ilmu spekulatif, yaitu Shadruddin Al-Shirazi, atau lebih dikenal dengan Mulla Shadra.
Mulla Shadra dapat mengembangkan keilmuan tasawuf dan filsafat Islam karena di kalangan Syiah, filsafat dan akidah cenderung lebih akur jika dibandingkan dengan tradisi keilmuan Sunni. Shadra lahir di Syiraz, Iran, pada tahun 1571 M. nama lengkapnya adalah Sadr Al-Din Muhammad ibn Ibrahim ibn Yahya Qawami Al-Syirazi. Kota Syiraz waktu itu dikenal sebagai pusat studi filsafat dan disiplin ilmu-ilmu Islam tradisional lainnya. Ia meninggal ketika pulang dari ibadah haji dengan berjalan kaki.
Pendidikan Shadra didukung oleh ayahnya yang merupakan seorang gubernur di Fars. Sehingga, ia mudah bertemu dan belajar dengan tokoh-tokoh terkemuka pada saat itu, yang antara lain adalah: Baha’ Al-Din Al-Amili, Mir Damad, dan Mir Abu Al-Qasim Findiriski. Shadra dikenal dengan konsep al-hikmah al-muta’aliyah. Al-hikmah al-muta’aliyah sering diterjemahkan dengan teosofi transendental. Salah satu magnum opusnya berjudul al-hikmah al-muta’aliyah fi al-asfar al’aqliyah al-arba’ah. Buku ini berisi empat perjalanan akal manusia.
Empat Perjalanan Manusia
Perjalanan manusia yang pertama adalah sair min al-khalqi ila al-haqq. Perjalanan dari dunia makhluk menuju Allah. Meninggalkan realitas, menembus tirai pembatas, menuju ke Yang Tak Terbatas. Di perjalanan pertama, yang harus diperhatikan adalah syariat. Syariat berupa salat, zakat, puasa, dan praktik-praktik peribadatan yang lain. Syariat inilah yang akan mengantarkan manusia menuju Allah. Tanpa memperhatikan syariat, manusia tidak dapat naik menuju Allah.
Perjalanan kedua adalah sair bi al-haqqi fii al-haqq. Perjalanan dengan Allah didalam Allah. Setelah berjalan menuju Allah, maka manusia akan sampai kepada-Nya. Ketika sudah sampai, manusia akan berjalan dengan Allah didalam dunia Allah. Hal ini dilakukan dengan menyelami samudra hakikat yang biasa dilakukan oleh para sufi. Biasanya dalam bentuk uzlah, kasyaf, riyadhoh, ittihad, dan lain-lain. Perjalanan ini adalah perjalanan yang tidak melibatkan muamalah dengan masyarakat. Karena seorang manusia tengah bertemu dengan Allah.
Setelah bersenang-senang dengan mengarungi dunia ketuhanan, saatnya manusia kembali kepada realitas. Perjalanan ketiga adalah sair min al-haqqi ilaa al-khalq. Perjalanan dari Allah menuju makhluk kembali. Perjalanan terakhir adalah sair fii al-khalqi bi al-haqq. Perjalanan didalam makhluk bersama Allah. Ia melihat dengan mata Allah, mendengar dengan telinga Allah, dan berjalan dengan kaki Allah. Ini merupakan perjalanan terakhir manusia dalam menuju ma’rifah. Ia mewarnai dunia dengan cinta ilahiah.
Manusia pada tahap ini memiliki tugas untuk memperbaiki realitas kehidupan. Mengajarkan manusia tentang kebaikan, dan menceritakan pengalaman nikmatnya berenang di lautan ketuhanan. Ia melihat seluruh realitas kehidupan sebagai manifestasi dari cahaya Allah. Sehingga, ia tidak lagi tertarik dengan nafsu dunia.
al-Harakah al-Jauhariyah, Tasykiik al-Wujuud, dan Ashalat al-Wujuud
Selain Al-Asfar Al-Arba’ah, konsep penting yang dikonstruksi oleh Mulla Shadra dalam teosofi transendental adalah tentang al-harokah al-jauhariyah (gerak substansi). Bahwa gerakan tidak hanya pada tataran aksiden berupa kualitas, kuantitas, tempat, dan posisi. Namun, menurut Shadra, substansi juga bergerak. Seluruh substansi alam semesta bergerak menuju sumber. Hewan, tumbuhan, benda, dan alam semua bergerak. Gerakan ini adalah proses aktualisasi potensi. Upaya untuk memaksimalkan seluruh potensi yang dimiliki oleh substansi.
Gerakan ini senada dengan teorinya yang lain tentang tasykiik al-wujuud (gradasi wujud). Teori ini terinspirasi dari illuminasi Suhrawardi. Bahwa seluruh alam semesta adalah cerminan Tuhan. Bedanya, Shadra mengembangkan teori ini dengan wujud yang sifatnya gradasi. Bahwa seluruh cerminan Tuhan memiliki tingkat keterangan masing-masing. Seperti cahaya matahari, semakin ia dekat dengan matahari maka semakin panas. Sedangkan semakin jauh cahaya matahari semakin meredup.
Wujud semesta bersifat gradasi, menuju ke Tuhan, dan terus-menerus bergerak dalam rangka memaksimalkan potensi dan kembali ke Tuhan. Sehingga manusia akan merugi jika tidak ikut bergerak bersama substansi yang lain. Manusia harus mengerahkan seluruh potensi yang ia miliki sebagai manifestasi al-harakah al-jauhariyah, sekaligus dalam rangka menyelami al-asfar al-arba’ah.
Ashalat al-wujuud berbicara bahwa eksistensi mendahului esensi. Ia melawan pendapat umum dalam dunia sufisme waktu itu yang mayoritas mengatakan bahwa realitas yang sesungguhnya adalah esensi, dan eksistensi hanyalah gambaran mental dalam pikiran manusia.
Bagi Shadra, benda-benda di sekitar kita bukan hanya ilusi, melainkan benar-benar mempunyai eksistensi sama seperti eksistensi Tuhan. Eksistensi adalah realitas objektif diluar pikiran, sedangkan esensi adalah gambaran umum tentang realitas atau benda yang ada dalam pikiran sehingga hanya merupakan wujud mental dan tidak mengada. Eksistensi bersifat positif, pasti, tertentu, dan nyata. Sedangkan esensi bersifat samar, gelap, tidak tertentu, negatif, dan tidak nyata. Esensi tidak memiliki dirinya sendiri, dan apapun yang ada padanya adalah karena hubungannya dengan eksistensi. (Soleh, 2014: 224-226)
Pengaruh Filsafat Shadra
Mulla Shadra dinilai sebagai pemikir terbesar pasca Ibnu Rusyd karena telah berhasil menyintesiskan beberapa aliran besar dalam filsafat Islam. Ia melakukan Grand synthesis (sintesis besar) dengan berangkat dari aliran filsafat yang berkembang di masanya. Yaitu: (1) isyraqiyah yang digagas oleh Suhrawardi Al-Maqtul dan dilanjutkan oleh murid-muridnya, (2) masysya’i (peripatetik) Ibnu Sina dan murid-muridnya, (3) ‘irfani (gnosis) Ibnu Arabi, dan (4) kalam (teologi).
Grand synthesis ini kemudian melahirkan setidaknya 3 teori utama Mulla Shadra diluar teori-teori yang lain, meliputi ashalat al-wujuud dimana dengan teori ini Shadra dikenal sebagai seorang eksistensialis, tasykiik al-wujuud yang merupakan kelanjutan dari wahdat al-wujuud, dan al-harakah al-jauhariyah.