Sejarah mencatat bahwa sekolah Muhammadiyah hadir sebagai solusi atas berbagai persoalan layanan pendidikan. Pertama, sekolah Muhammadiyah menjadi solusi atas persoalan kesulitan masyarakat dalam mengakses lembaga pendidikan. Pada saat pemerintah belum mampu menyediakan sekolah secara merata di seluruh wilayah, Muhammadiyah menjadi yang terdepan dalam melayani kebutuhan pendidikan masyarakat.
Dapat dikatakan bahwa di manapun ranting Muhammadiyah berdiri, di sana pula dapat dipastikan ada sekolah Muhammadiyah yang dididirkan. Masyarakat pun sangat terbantu dengan hadirnya sekolah Muhammadiyah itu.
Kedua, semenjak kelahirannya, sekolah Muhammadiyah menyediakan layanan pendidikan agama bagi umat yang saat itu masih kesulitan mengakses pengetahuan keagamaan. Layanan ini diberikan melalui perpaduan kurikulum pendidikan umum dan agama di sekolah-sekolah Muhammadiyah.
Pendidikan agama di sekolah ini kemudian menjadi rujukan bagi keberadaan pendidikan agama di sekolah-sekolah umum. Praktik layanan pendidikan agama yang dikembangkan sekolah Muhammadiyah ini juga menginspirasi perjuangan dalam memperoleh legalisasi konstitusi yang menjadikan pendidikan agama sebagai pelajaran yang wajib diajarkan di sekolah oleh pendidik yang seagama.
Ketiga, sekolah Muhammadiyah menjadi pelopor sekolah karakter. Jauh sebelum pemerintah menggalakkan pendidikan karakter di sekolah, Muhammadiyah sudah dikenal masyarakat sebagai sekolah yang berhasil membangun karakter berupa akhlak mulia. Keberhasilan sekolah Muhammadiyah dalam menginternalisasi akhlak mulia ke dalam perilaku peserta didiknya menjadi daya tarik masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan bagi anak-anak mereka.
Zaman dan Tantangan yang Berubah
Saat ini kisah sukses sekolah Muhammadiyah sebagai sekolah solusi dan sekolah aternatif tersebut mulai mengalami pergeseran. Lambat laun, pemerintah mulai mampu menyediakan layanan yang diberikan oleh Muhammadiyah, mulai dari pemerataan pendidikan, pendidikan agama, maupun pengembangan pendidikan karakter di sekolah.
Saat itulah mulai terjadi pergeseran eksistensi sekolah Muhamamdiyah dalam konstalasi pendidikan nasional. Tidak sedikit sekolah Muhammdiyah yang mulai ditinggalkan masyarakat karena layanan yang mereka butuhkan sudah mereka peroleh dari sekolah pemerintah.
Semenjak era peningkatan kualitas sekolah pemerintah, di tambah dengan semakin banyaknya sekolah swasta yang menawarkan pendidikan yang berkualitas, sekolah-sekolah Muhammadiyah mulai kedodoran. Memang ada beberapa sekolah Muhammadiyah yang tetap eksis dan tetap menjadi pilihan masyarakat karena konsistensinya dalam mengawal kualitas pendidikan. Tapi tidak sedikit sekolah Muhammadiyah yang semakin kehabisan murid.
Di tengah situasi persaingan yang semakin ketat, memang ada beberapa kisah sukses kebangkitan kembali sekolah-sekolah Muhammadiyah. Namun banyak juga sekolah Muhammadiyah yang keteteran, seolah hidup segan mati pun enggan.
Persoalan Sekolah Muhammadiyah
Situasi semakin rumit bagi sekolah Muhammadiyah pada saat pemerintah meningkatkan profesionalisme manajemen pendidikan. Misalnya program sertifikasi guru, penyaluran dan bantuan operasional sekolah (BOS), penerbitan Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK), pengelolaan Data Pokok Pendidikan (Dapodik), dan lain sebagainya. Profesionalisasi yang dikembangkan pemerintah ini menimbulkan beragam persoalan yang dialami oleh sekolah-sekolah Muhammadiyah.
Beberapa persoalan itu di antaranya, pertama, banyak sekolah Muhammadiyah yang jumlah muridnya minimalis sehingga guru-gurunya mengalami kesulitan dalam memenuhi jam belajar minimal untuk penerbitan NUPTK dan pencairan tunjangan profesi guru. Hal ini menyebabkan guru tidak maksimal dalam bekerja karena kesejahteraan dan jenjang karirnya tidak menentu. Akibatnya pengembangan kualitas pendidikan di sekolah Muhammadiyah menjadi terhambat.
Kedua, guru Pendidikan Kemuhammadiyah tidak bisa disertifikasi, demikian juga guru Bahasa Arab jenjang SD dan SMP. Bahkan di beberapa daerah Pendidikan Al-Islam dianggap tidak linear dengan mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti di sekolah umum.
Lebih parahnya ada daerah yang tidak mengakui kurikulum Pendidikan Al-Islam di madrasah, padahal nomenklatur kurikulumnya sama. Masalah inilah yang menyebabkan Pendidikan Al-Islam, Kemuhammadiyahan, dan Bahasa Arab (Ismuba) yang menjadi ciri khas sekolah Muhammadiyah menjadi tidak optimal. Eksistensi Pendidikan Ismuba menjadi antara ada dan tiada.
Ketiga, kualitas guru sekolah Muhammadiyah semakin tertinggal dikarenakan program peningkatan kompetensi guru tidak menyentuh guru sekolah Muhammadiyah. Lebih khusus lagi guru Ismuba sebagai kurikulum lokal sekolah Muhammadiyah. Banyak guru sekolah Muhammadiyah yang masih berparadigma positivistik, padahal pendidikan sudah didorong ke arah pembelajaran konstruktivis.
Bahkan tidak sedikit guru yang masih memiliki mindset kurikulum berbasis konten, padahal sejak tahun 2004 atau 16 tahun lalu, pendidikan sudah berubah menjadi kurikulum berbasis kompetensi. Akibatnya pembelajaran tidak kompatibel dengan karakteristik peserta didik yang semakin dinamis.
Modernisasi Majelis Dikdasmen
Sayangnya tidak ada upaya sistematis yang dikembangkan sebagai solusi atas berbagai persoalan ini. Penyelesaian masalah hanya dilakukan secara lokal dan tidak terkoordinasi dengan baik. Akibatnya kemampuan untuk keluar dari masalah-masalah tersebut pun bersifat lokal sesuai dengan sumber daya yang dimiliki sekolah.
Sekolah Muhammadiyah yang memiliki sumber daya yang baik mampu keluar dari persoalan-persoalan tersebut dengan baik. Tapi sekolah-sekolah yang tidak memiliki sumber daya yang memadai semakin terpuruk dan memprihatinkan. SMP Muhammadiyah Butuh Purworejo yang tersandung kasus kekerasan tempo hari bisa dijadikan contoh sekolah yang tidak mampu keluar dari persoalan-persoalan tersebut.
Seharusnya ada upaya sistematis untuk mengeluarkan sekolah Muhammadiyah dari persoalan-persoalan tersebut. Dalam hal ini Majelis Dikdasmen harus memiliki formula yang terpusat dan tidak hanya menyerahkannya di tingkat sekolah. Persoalan sulitnya penerbitan NUPTK dan sertifikasi guru Ismuba misalnya, tidak mungkin bisa diselesaikan di tingkat lokal. Kecuali solusi jangka pendek yang bersifat sementara.
Misalnya dengan manipulasi administrasi yang sebenarnya bertentangan dengan prinsip dan nilai dasar administrasi modern sekaligus bertentangan juga dengan norma agama. Kenyataannya manipulasi inilah yang dijadikan senjata ampuh sekolah Muhammadiyah agar guru-gurunya tetap tercover dalam data dapodik dan program sertifikasi guru.
Persoalan ini bisa diatasi apabila Majelis Dikdasmen, mulai tingkat pusat sampai daerah dikelola secara profesional. Pemilihan personal majelis harus mempertimbangkan peluang seseorang yang bisa bekerja secara profesinal.
Tidak seperti tradisi yang selama ini dikembangkan, yang menempatkan orang-orang di majelis hanya karena pertimbangan ketokohan saja. Sementara operasional majelis hanya diserahkan kepada satu atau dua orang sekretaris eksekutif untuk mengerjakan administrasi pimpinan. Itu pun tidak semua daerah mampu mengangkat sekretaris eksekutif.
Majelis Dikdasmen di Masa Depan
Harus ada pemilahan antara pimpinan majelis dengan pelaksana majelis yang profesional. Di level pelaksana operasional ini perlu dibentuk divisi-divisi sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan dan pengembangan lembaga pendidikan. Setiap divisi memiliki staf sesuai kebutuhan. Divisi-divisi inilah yang bekerja dan mendapatkan gaji secara profesional, sementara pimpinan majelis bertindak sebagai pemegang kebijakan.
Divisi-divisi ini juga dapat dikembangkan sebagai jenjang karir bagi guru Muhammadiyah yang berprestasi. Dengan organisasi yang modern dan profesional, layanan yang diberikan kepada sekolah bisa terukur, sistematis, dan (dalam beberapa persoalan) sentralistis.
Mungkinkah Majelis Dikdasmen dikelola secara profesional seperti ini? Selevel Majelis Dikdasmen yang mengelola ribuan sekolah dengan manajemen profesional, ini adalah sebuah keniscayaan. Semoga saja ada pemikiran ke arah sana. Sudah tidak zamannya lagi sekolah dan guru yang modern serta profesional itu dikelola dengan manajemen pengajian.
Editor: Nabhan