Maraknya kajian keislaman di Perguruan Tinggi, baik Perguruan Tinggi Keislaman ataupun Perguruan Tinggu Umum dalam bentuk program studi, menjadi sebuah pertanda bahwa kajian keislaman semakin subur. Suburnya kajian keislaman menjadi salah satu bukti minat masyarakat Indonesia untuk mengkaji Islam semakin tumbuh.
Peningkatan minat masyarakat terhadap kajian keislaman harus menjadi catatan penting bagi Perguruan Tinggi sebagai penyelenggara pendidikan tinggi, agar objek kajian keislaman terus dikembangkan. Pengembangan kajian keislaman menjadi signifikan, mengingat teks keislaman yang terbatas harus terus dikomunikasikan dengan konteks yang terus berkembang.
Tentu, pengembangan kajian keislaman harus tetap menjadikan teks keislaman sebagai dasar. Dengan kata lain, pengkaji Islam di Perguruan Tinggi harus mengukuhkan pengetahuan dan pemahaman teks keislaman secara baik. Sehingga, proses men-dialog-kan teks dengan konteks bisa menghasilkan ilmu pengetahuan yang lebih segar, berkembang, dan sesuai tuntutan zaman.
Mendalami Teks Keislaman
Para pengkaji Islam di Perguruan Tinggi—baik kajian keislaman dalam bentuk program studi murni ilmu keislaman seperti ilmu tafsir, hadist, fikih, dan lain sebagainya; ataupun ilmu keislaman terintegrasi, seperti ekonomi syariah, perbankan syariah, pendidikan islam, wajib mengetahui dan memiliki pemahaman terhadap teks dasar keislaman (ulum al-din). M. Amin Abdullah (2021: 25) menyebut ulum al-din sebagai dasar keilmuan Islam, terdiri dari ulum al-qur’an, tafsir, hadist, fikih, dan kalam.
Pendapat M. Amin Abdullah terkait ruang lingkup ulum al-din, bila coba lebih diperluas, yaitu: ilmu al-quran dan turunannya; ilmu hadist dan turunannya; ilmu fikih dan turunannya; ilmu kalam dan turunannya; dan ditambah lagi ilmu keislaman lain yang relevan. Apa yang disebutkan oleh M. Amin Abdullah, itulah teks keislaman sebagai ilmu dasar yang harus dipahami dan dimengerti oleh para pengkaji Islam.
Dengan adanya kemampuan memahami dasar-dasar keislaman yang baik, diharapkan akan memberikan dasar pijakan yang ajeg dalam melakukan kajian terhadap ilmu keislaman. Sehingga kajian yang dihasilkan—baik berbentuk artikel ilmiah, buku, dan lain sebagainya, tetap didasarkan terhadap teks keislaman yang ada.
Jangan sampai, para pengkaji Islam tidak memahami teks dasar keislaman seperti yang telah disebutkan. Karena, bila pengkaji Islam tidak memiliki pemahaman yang baik terhadap teks dasar keislaman, bisa dipastikan output dari kajian yang dihasilkan akan banyak menimbulkan bias.
Dengan demikian, pimpinan perguruan tinggi harus bisa melakukan kontrol terhadap setiap dosen, terkait pengetahuan dasar-dasar keislaman yang dimiliki oleh setiap dosen yang akan mengajar. Sehingga, proses kajian keislaman yang berlangsung secara formal di kelas ataupun non-formal di luar kelas, tidak keluar dari norma keilmuan islam yang telah dibangun oleh para pendahulu.
Mendialogkan Teks Keislaman
Pemahaman teks keislaman sebagai landasan dasar bagi kajian Islam di Perguruan Tinggi harus disinergikan dengan teks keilmuan sosial lain yang relevan. Karena, kajian keislaman tidak akan memberikan sumbangsih signifikan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, bila tidak ada sinergi dengan ilmu sosial lainnya.
Dialog teks keislaman dengan ilmu sosial lain yang relevan, bertujuan untuk menyegarkan dan mengembangkan ilmu keislaman. Sehingga keberadaan ilmu keislaman sejajar dan sama dengan keilmuan lain sebagai bagian dari ilmu pengetahuan yang ada di dunia ini.
Bahkan, adanya dialog, diharapkan teks keislaman memberikan sumbangsih signifikan untuk melahirkan ilmu ataupun teori baru dalam ranah pengembangan ilmu pengetahuan. Sehingga teks keislaman terus memberikan sokongan layaknya urat nadi yang menyebarkan kehidupan ke seluruh anggota tubuh manusia.
Selain itu, menurut M. Amin Abdullah (2021: 29) bahwa tren ulum al-din (keilmuan agama) masa depan ialah keilmuan agama yang terintegrasi-terinterkoneksi dengan disiplin keilmuan lain. Keilmuan agama berinteraksi dan berdialog dengan sains, keilmuan sosial, dan humaniora.
Adanya interaksi-interkoneksi keilmuan islam dengan keilmuan umum lainnya, pragmatisme kajian keislaman akan lebih nampak manfaatnya. Karena, sudut pandang kajian tidak hanya diarahkan terhadap hal-hal yang bersifat normatif (melangit). Akan tetapi, bagaimana kajian keislaman lebih memperhatikan aspek-aspek praktik sehari-hari (membumi).
***
Terkait pandangan interaksi-interkoneksi, rasa-rasanya beberapa perguruan tinggi telah melakukannya. Hal tersebut, nampak dari keberadaan program studi interaksi-interkoneksi antara ilmu keislaman dengan ilmu umum. Beberapa program studi tersebut, misalnya ekonomi syariah, perbankan syariah, pendidikan agama islam, politik islam, filsafat islam, dan lain sebagainya.
Pertanyaannya adalah, apakah Perguruan Tinggi tersebut telah melaksanakan proses interaksi-interkoneksi teks keislaman dengan ilmu umum yang terkait di program studi bersangkutan? Bila kedua ilmu pengetahuan ataupun lebih, sama-sama diajarkan, tetapi tidak dilakukan dialog, berarti proses interaksi-interkoneksi belum berjalan dengan baik.
Dengan demikian, Perguruan Tinggi memiliki PR yang cukup berat untuk memastikan bahwa proses interaksi-interkoneksi berjalan dengan baik di setiap program studi bersangkutan. Sehingga keberadaan program studi keislaman terinteraksi-terinterkoneksi, menjadi penggerak dialog teks keislaman dengan ilmu umum lainnya.
Kajian Keislaman dan Keindonesiaan
Setelah proses dialog antara teks keislaman dengan teks ilmu pengetahuan lain dilakukan, selanjutnya ialah mendialogkan dengan nilai-nilai keindonesiaan. Dimana, seluruh program studi keislaman terinteraksi-terinterkoneksi, wajib hukumnya mendialogkan dengan nilai-nilai keindonesiaan.
Hal tersebut sebagai upaya agar teks dasar keislaman yang terbatas, tetap relevan dengan perkembangan zaman yang tak terbatas dan bahkan fenomenanya akan terus bertambah—khususnya terkait fenomena sosial yang ada di Indonesia dan masyarakat global pada umumnya. Sehingga keberadaan program studi keislaman terinteraksi-terinterkoneksi memberikan sumbangan signifikan untuk ikut menyokong kemajuan bangsa Indonesia.
Secara praktik, bentuk dialog dapat dilakukan dengan cara memasukkan nilai-nilai keindonesiaan terhadap seluruh mata kuliah yang diberikan kepada peserta didik. Dengan demikian, setiap program studi islam terinteraksi-terinterkoneksi, secara garis besar akan mendialogkan tiga hal, yaitu teks keislaman, ilmu pengetahuan umum sesuai core keilmuan di program studi, dan nilai-nilai keindonesiaan.
Tiga hal tersebut harus mampu didialogkan secara berkesinambungan oleh setiap dosen yang mengampuh mata kuliah. Kemudian, output dari dialog tersebut harus menghasilkan capaian pembelajaran mata kuliah (CPMK) yang mengarah terhadap capaian pembelajaran lulusan (CPL) untuk menyokong dan mendukung profil lulusan yang telah ditetapkan oleh masing-masing program studi.
Hasil dialog ketiga hal tersebut, menurut hemat penulis akan mampu melahirkan sarjana sesuai profil lulusan yang ditetapkan di setiap program studi. Sarjana yang dihasilkan, tentu bukan saja memiliki pemahaman keislaman dengan core keilmuan sesuai bidang studi. Akan tetapi, juga memiliki pemahaman yang kuat terkait dengan nilai-nilai keindonesiaa.
Selain itu, dialog ketiga hal tersebut—yaitu teks keislaman, core keilmuan di masing-masing program studi, dan nilai-nilai keindonesiaan harus masuk ke dalam program riset yang dihasilkan oleh setiap mahasiswa sebagai tugas akhir serta riset yang dilakukan oleh setiap dosen. Proses dialog seperti hal tersebut, akan menjadikan kajian keislaman di perguruan tinggi berkembang signifikan ke depannya.