Indonesia merupakan surga bagi riset-riset keagamaan. Sayangnya, belum banyak teori sosial keagamaan yang dihasilkan oleh ilmuwan Indonesia. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada nama besar seperti Ahmad Najib Burhani, Noorhaidi Hasan, Sukidi, Ulil Abshar Abdalla, Syafiq Hasyim, Wahyudi Akmaliah, dan ilmuwan muda lainnya, Indonesia lebih banyak menjadi objek riset ketimbang menjadi produsen pengetahuan. Hemat kami, ini menjadi salah satu tugas BRIN untuk menciptakan SDM unggul.
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Laksana Tri Handoko, dalam berbagai kesempatan menyampaikan bahwa riset itu intinya tiga: SDM unggul, infrastruktur laboratorium, dan dana riset. Kebutuhan dana riset persentasenya paling kecil hanya sekitar 10 %. Sementara kebutuhan infrastruktur laboratorium 20 % dan SDM unggul paling tinggi yakni 70 %. Tugas utama BRIN fokus pada penciptaan SDM riset yang unggul.
Berbagai skema BRIN diarahkan untuk menciptakan SDM unggul. Salah satunya bahwa semua riset di BRIN berbasis kompetisi, tidak ada kapling-kapling anggaran. Inilah di antara banyak kritik yang ditujukan ke BRIN, bahwa urusan dana di BRIN “ribet” karena memang sengaja dibuat “ribet”. Lebih dari itu, anggaran di BRIN tidak hanya untuk periset BRIN, tetapi untuk seluruh SDM riset termasuk periset di kampus, rumah sakit, lembaga pemerintah, NGO, dan lain-lain.
BRIN seolah sengaja mengurangi dana riset internal justru agar periset “berpikir” untuk mendapatkan dana dari luar. Kolaborasi menjadi mantra yang harus dilakukan oleh setiap SDM riset. Selain kolaborasi, kebijakan efisiensi juga menjadi keharusan. Standar keuangan yang diterapkan di BRIN “di bawah” standar peraturan menteri keuangan. Demikian juga, ada kebijakan pembatasan penggunaan hotel dan lebih memaksimalkan penggunakan mess yang dimiliki oleh BRIN.
Infrastruktur Riset
Selain SDM unggul, prasyarat riset yang baik adalah infrastruktur riset, terutama ketersediaan laboratorium. Ibarat petani yang mengharuskan punya cangkul, maka setiap periset wajib hukumnya punya laptop. Laptop dan laboratorium merupakan infrastruktur dasar yang harus ada agar dapat menghasilkan riset yang baik.
Riset bidang natural sciences, seperti kedokteran, antariksa, nuklir, dan lain-lain membutuhkan laboratorium khusus yang dilengkapi dengan segala peralatannya. Sementara riset bidang social sciences, sesungguhnya ada di masyarakat itu sendiri. Oleh karena, keterlibatan periset dengan masyarakat menjadi kunci untuk menghasilkan pengetahuan baru, baik untuk pengembangan teori maupun pengambilan kebijakan pemerintah.
Menjadikan Rumah Ibadah Sebagai Laboratorium Riset
Hemat kami, riset bidang agama, memiliki laboratorium yang banyak dan tersebar hampir ke seluruh pelosok tanah air yakni rumah ibadah. Rumah ibadah selain berfungsi untuk beribadah, hemat kami sekaligus bisa menjadi laboratorium riset. Bagaimana tidak? Di rumah ibadahlah segala aktivitas keagamaan berlangsung. Di rumah ibadah lah terdapat pelaksanaan ritual ibadah (salat, kebaktian, dll). Di rumah ibadahlah tempat berkumpulnya tokoh-tokoh agama. Oleh karena itu, observasi dan wawancara terbaik bagi periset bidang agama adalah di tempat ibadah.
Fungsi rumah ibadah, mestinya diperluas tidak sekadar ibadah yang bersifat ritual, tetapi juga pengembangan ilmu. Fungsi rumah ibadah perlu diperluas sebagai “majelis ilmu”. Rumah ibadah perlu berperan untuk meningkatkan kesalehan di satu sisi dan di sisi lain juga meningkatkan pengetahuan agama jamaahnya.
Cikal bakal rumah ibadah sebagai laboratorium bidang agama sesungguhnya sudah ada. Di banyak masjid misalnya, banyak diselenggarakan berbagai kajian agama seperti: kajian tafsir, hadis, akhlak, fikih, sirah, dan lain sebagainya. Sayang, pada umumnya tidak dilengkapi dengan kurikulum yang baik. Pengkajian agama di masjid lebih sebagai pengajian yang sporadis dari sisi tema. Kyai dan ustaz adalah kurikulum itu sendiri.
Hemat kami, periset bidang agama perlu melakukan engagement dengan jamaah. Memang tidak mudah, apalagi memisahkan peran periset yang mestinya “netral” dan “menjaga jarak” tetapi realitasnya menyatu dengan informan/responden. Tetapi itulah yang harus dilakukan.
Rumah ibadah bisa menjadi laboratorium riset bidang agama. Secara praktis, perlu kesadaran bahwa ketika periset datang ke rumah ibadah memiliki tujuan ganda, yakni ibadah di satu sisi dan melakukan pengumpulan data di sisi yang lain.
***
Mafhum bahwa dalam sejarah Islam pernah ada lembaga riset prestisius yang terintegrasi dengan masjid yakni Baitul Hikmah. Baitul Hikmah atau “rumah kebijaksanaan” merupakan pusat penelitian dan perpustakaan besar yang menerjemahkan teks-teks kuno dari Yunani. Baitul Hikmah menjadi barometer perkembangan iptek pada masanya. Perhatian akan perkembangan iptek dilakukan oleh Khalifah Harun Al-Rasyid dan dilanjutkan oleh Al-Ma’mun. Pada masanya sempat digelontorkan dana besar untuk membangun infrastruktur berupa laboratorium khusus untuk mengobservasi bintang.
Riset ilmu sosial sejatinya tidak membutuhkan laboratorium khusus, termasuk riset sosial agama. Rumah ibadah sangat mungkin berfungsi sebagai laboratorium riset bidang agama. Apalagi realitas jumlah rumah ibadah tersebar ke seluruh pelosok negeri. Oleh karena itu, mari jadikan setiap rumah ibadah; masjid, gereja, pura, wihara, klenteng, dan rumah ibadah lainnya sebagai laboratorium riset bidang agama.
Dalam rumah ibadah itulah periset bisa berjumpa, observasi, wawancara mendalam, dan melakukan kolaborasi dengan tokoh-tokoh agama guna menghasilkan riset yang bermanfaat untuk umat dan bangsa. Wallahu’alam.
Editor: Yahya FR